Tahun ini, ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival hadir lagi, kali ini mengusung tema bromocorah. Malam pembukaan ARKIPEL diadakan di GoetheHaus, Goethe-Institut Jakarta pada hari Senin, 20 Agustus 2019 yang lalu. Sejak pukul 19.00, para pengunjung mulai memadati GoetheHaus, mengantri tak sabar untuk melihat ada apa di balik pintu auditorium yang ditempel tulisan “DILARANG MASUK – ARKIPEL 2019” itu.
Seremoni dibuka dengan penampilan dari 69 Performance Club berjudul The Partisan. Karya ini, sebagai rangkaian dari proyek yang masih terus berlanjut, dirancang oleh Otty Widasari dengan Kelompok Teater. Penampilan ini bermain-main dengan nyanyian riang “Kopral Jono” dan gerakan-gerakan seragam para kelompok bersepatu bot. Para penampil menggunakan kilat dari kamera ponsel mereka untuk menciptakan efek-efek cahaya, diamplifikasi oleh efek gaung yang dihasilkan oleh manipulasi audio; serta rekaman live-streaming via Youtube dan proyeksinya di panggung yang berlangsung secara simultan. Kombinasi aspek-aspek tersebut menghasilkan efek khas bromocorah: ketidakterdugaan.
Penampilan tersebut diikuti oleh sambutan dari Direktur Festival, Yuki Aditya. Menurut penjabarannya, tahun ini terpilih 28 film dalam seksi Kompetisi Internasional yang terseleksi dari 1.232 film. Total terdapat 83 negara yang mengirim karyanya dalam jangka waktu 3 bulan. ARKIPEL juga akan menghadirkan program pemutaran lainnya seperti Program Kuratorial, Presentasi Khusus, Penayangan Khusus, dan Candrawala yang semuanya akan dilakukan di GoetheHaus. Selain itu, ada pula pameran Kultursinema #6 di Museum Nasional yang akan diadakan hingga 25 Agustus 2019 lalu. Program ini menampilkan arsip-arsip produksi instansi pemerintah Perum PFN pada periode 1950-an-1970an lewat seri film berita bertajuk Gelora Indonesia. Selanjutnya, ia memperkenalkan para panitia inti yang terlibat dalam organisasi ARKIPEL 2019.
Hafiz sebagai ketua Forum Lenteng turut menyambut para penonton dengan hangat. Menurutnya, festival tahun ini kecil dan bermakna. Mengenai tema tahun ini, bromocorah, ia berkomentar bahwa tema tersebut cukup menantang untuk direalisasikan, namun juga personal.
Selanjutnya, film-film pembuka pun ditayangkan, antara lain Chinafrika.mobile karya Daniel Kotter dari Jerman; Steine (Stones) karya Jorn Staeger dari Jerman pula; Adegan Yang Hilang dari Petrus karya Arief Budiman dari Indonesia; dan akhirnya Chairs karya Avner Pinchover dari Israel. Sebagaimana dikemukakan Anggraeni Widhiasih sebagai perwakilan dari tim selektor, keempat film ini mampu mewakili konsep bromocorah yang membingkai keseluruhan festival tahun ini. Film-film tersebut mencoba menawarkan kemungkinan dalam membingkai realitas dengan cara-cara di luar kesepakatan sinema yang mapan. Adanya celah pengetahuan yang berasal dari teknologi mutakhir justru menciptakan bahasa sinema yang luwes dan spekulatif, yang mampu menerjemahkan gejala-gejala global terkini.
Seremoni usai sekitar pukul 20.30 WIB. Para tamu membanjir keluar dari teater, sebagian dari mereka memenuhi area foyer untuk melihat-lihat film produksi Milisifilem yang diproyeksikan di ruangan tersebut. Sebagian besar tamu-tamu memenuhi ruang terbuka GoetheHaus, di mana para penonton, panitia, pelaku komunitas, seniman, pembuat film, dan orang-orang lainnya membaur dan berbincang; sesekali berdansa dengan gembira diiringi musik dari DJ Theo Nugraha dan DJ Bodas Rancajale.
Peter Samson, pembuat film dokumenter The Love of Statues yang lolos kompetisi internasional tahun ini, berkomentar bahwa mengawali malam pembukaan dengan penampilan performans adalah gagasan yang di luar kebiasaan. Menurutnya, penampilan tersebut meningkatkan antusiasme penonton, dan membuat suasana jadi terkesan tidak formal. Salah satu film yang berkesan baginya adalah Chinafrika.mobile, yang mengangkat isu eksploitasi ekonomi mulai dari pekerja tambang sampai pemulung sampah elektronik. Sentuhan pertamanya dengan film ARKIPEL membuatnya tak sabar menonton film-film lainnya, mengingat ia akan hadir di festival ini hingga hari terakhir.
Bagi Roberto Rosendy dan Sribuana Mantinu, sineas-sineas muda dari ISBI Bandung, festival ini sudah tak asing lagi. Roberto adalah finalis program Candrawala tahun lalu dengan film What’s Wrong with My Film?, sementara Tinu adalah alumni Akademi ARKIPEL yang diadakan Januari lalu. Film-film yang ditayangkan cukup menarik bagi mereka: Roberto mengaku terkesan dengan film Chairs karena menggambarkan kehidupan nyatanya, di mana ia sering sekali dibanting oleh kehidupan. Sebaliknya, Tinu menggarisbawahi film Adegan Yang Hilang Dari Petrus, yang dianggapnya memfilmkan konsep dari sebuah film melalui shot list dan narasi, sementara pentonton bebas membayangkan peristiwa yang terjadi di sana. Keduanya amat menanti program Candrawala, karena ingin tahu bagaimana bentuk-bentuk film Indonesia yang dikurasi di dalamnya.
Penulis: Dini Adanurani