Jika berkunjung ke Desa Sekida yang terletak di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, kita akan sering mendengar nama-nama panggilan unik yang dimiliki oleh warga desanya. Sebut saja “Kodok”, “Kutoy”.
Atau, “Pak Rock”, “Kubis”, “Asuam”, “Jibong”, dan lain sebagainya. Nama buah, nama sayur hingga nama hewan menjadi julukan bagi masyarakat desa ini. Uniknya lagi, nama buah, sayur bahkan genre musik tadi seolah menjadi ‘nama kecil’ atau panggilan akrab. Julukan-julukan itu lebih dikenal di kalangan masyarakat desa tersebut dibanding nama asli mereka lho!
Secara geografis, Desa Sekida merupakan satu di antara desa yang berada di Kecamatan Jagoi Babang. Kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang terletak di jalur perbatasan Indonesia dan Malaysia. Desa Sekida memiliki tiga dusun, yakni Dusun Jagoi Sejaro, Dusun Jagoi Belida, dan Dusun Kindau. Mayoritas penghuni desa ini adalah masyarakat Suku Dayak Bidayuh Jagoi yang konon katanya memiliki nenek moyang yang sama dengan Suku Dayak Bidayuh Malaysia.
Kembali ke kisah tentang julukan unik yang dimiliki masyarakat desa ini, ternyata julukan tersebut bukan tanpa arti, melainkan memiliki kisah, filosofi atau sejarah tersendiri. Walau memang kadang arti dari julukan tersebut sama sekali tidak terkait dengan kehidupan orang tersebut.
Misalnya di Dusun Kindau, ada seorang bapak yang akrab dipanggil “Pak Rock”, padahal nama aslinya Mising. Usut punya usut, ternyata panggilan “Pak Rock” tersebut muncul setelah anak pertama Pak Mising lahir dan diberi nama Lela. Lela merupakan nama penyanyi bergenre rock asal Malaysia yang terkenal di kalangan masyarakat Dusun Kindau. Entah darimana kemudian warga di sana menjuluki Pak Mising menjadi “Pak Rock”.
Bahkan sampai sekarang, apabila kita berada di Dusun Kindau, masyarakat akan lebih tahu rumah “Pak Rock” daripada Pak Mising yang merupakan nama sesungguhnya warga tersebut.
Lain cerita dengan “Kutoy” yang memiliki nama asli Hani Fredi. Bocah lelaki itu sekarang duduk di kelas 6 sekolah dasar. Menurut Fredi, nama “Kutoy” diberikan oleh orang-orang sekitarnya karena kebiasaan dari ibunya yang memanggilnya imut atau dalam bahasa lain disebut cute, sehingga “Kutoy” dipercayai memiliki makna yang sama dengan cute.
Ada lagi kisah tentang “Asuam”. Dalam bahasa Dayak Bidayuh, “Asuam” berarti “asam”, sebutan bagi buah mangga. Julukan “Asuam” diberikan kepada sang anak karena konon katanya saat mengandung, sang ibu gemar memakan “asam” atau buah mangga. Ada juga cerita tentang nama “Keong” yang diberikan kepada gadis bernama asli Anastasia Angela. Ia dipanggil “Keong” karena semasa kecil gadis tersebut sering menangis dan berjalan lambat seperti keong, demikian menirut sang ibu.
Berbeda lagi dengan “Topan” dan “Kodok”, nama asli Topan adalah Hendrianus. Siswa kelas 6 sekolah dasar ini memiliki julukan unik sebagai “Topan” yang konon ceritanya karena ia dilahirkan saat Desa Sekida dan daerah di sekitarnya sedang sering terjadi bencana angin kencang yang mereka sebut sebagai angin topan. Sedangkan Kodok yang memiliki nama asli Tober dipanggil dengan julukan “Kodok” karena menurut tetangganya ia adalah anak yang senang melompat-lompat seperti kodok.
Sekilas terdengar lucu, namun julukan-julukan tersebut menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Suku Dayak Bidayuh Jagoi, Desa Sekida, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Di balik julukan tersebut, terdapat kisah atau makna tersendiri tersendiri bagi mereka yang memilikinya. Walau terdengar aneh, tetapi julukan tersebut menjadi bukan sekadar julukan, tanpa makna loh.
Fathur Hafizhi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, melaksanakan KKN-PPM UGM tahun 2019 di Desa Sekida Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat