Siang itu tungku api membara besar dan asap mengepul tinggi. Puluhan ikan segar berjejer rapi di atas tungku, memancarkan aroma yang gurih dan menggoda. Di samping tungku, dua ember besar berisi ikan menunggu untuk diasap di atas bara api.
Berbagai desa di daerah pesisir pantai di Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memiliki berbagai olahan ikan yang khas dan menggugah selera, tak terkecuali Desa Timu. Ikan asar garam merupakan salah satu olahan ikan khas Tomia yang diproduksi di Desa Timu.
Siti Ami dan Muhammad Gole, dua diantara beberapa pembuat ikan asar garam, membagikan sedikit cerita mengenai profesi yang telah mereka tekuni lebih dari sepuluh tahun tersebut. “Kami biasanya pakai ikan tongkol dan ikan layan karena dagingnya paling enak untuk diasap. Kalau dimasak dengan cara yang benar, ikan asar garam ini bisa bertahan sampai sembilan bulan tanpa bahan pengawet,” ungkap Siti Ami sambil membolak-balikkan ikan yang berada di atas bara api. “Kuncinya ada di pemilihan ikan, pembersihan ikan, dan proses pembakaran. Jika bagus cara masaknya, pasti gurih dan tahan lama,” tambah Gole.
Proses pembuatan ikan asar garam ini ternyata tidak terlalu rumit namun diperlukan keuletan dan kesabaran untuk menghasilkan ikan asar garam yang gurih. Pertama, ikan segar dicuci dan dibelah tengah. Setelah dibelah, ikan harus dibersihkan untuk membilas darah yang ada di daging ikan.
“Kalau kami biasanya mencuci sampai empat kali di ember besar agar darahnya benar-benar bersih lalu dicek satu-satu kalau masih ada darah yang nempel,” tambah Gole sambil membersihkan darah ikan yang tersisa menggunakan pisau.
Kemudian, ikan yang sudah dibersihkan dicelupkan di air garam dan dijemur sebentar. Setelah dijemur, ikan-ikan tersebut siap dipanggang di atas bara api. Proses pemanggangan ini pun perlu trik khusus, yakni api harus ditunggu sampai tingkat tertentu hingga menjadi bara api agar kulit ikan tidak hitam. “Terlihat mudah to, tapi perlu percobaan berkali-kali untuk mendapat rasa asin yang enak dan hasil pengasapan yang baik,” tutur Siti Ami sambil tertawa.
Dalam sehari, pasangan suami-istri ini mampu menjual 150-200 ekor ikan asar garam. Kelezatan ikan asar garam ini tidak hanya diakui oleh lidah warga lokal saja tetapi sudah diakui juga oleh turis mancanegara. “Kemarin ini ada turis dari Thailand beli asar garam sampai Rp 300.000, dibawa pulang ke negaranya karena ketagihan katanya,” cerita Gole.
Ikan asar garam merupakan olahan ikan yang prospektif untuk dikembangkan. Hal ini kemudian mendorong Siti Ami dan Gole menginisiasi adanya pasar malam di Desa Timu beberapa tahun lalu. Tujuan pendirian pasar malam itu untuk memberdayakan ibu-ibu yang membuat ikan asar garam dan mendorong mereka untuk memproduksinya secara rutin.
Usaha mereka membuahkan hasil, tidak hanya berhasil menciptakan pasar malam di Desa Timu tetapi mereka juga mendorong terciptanya pasar malam di kecamatan, yakni Pasar Malam Usuku.
“Kami harap ikan asar garam bisa tambah-tambah penghasilan masyarakat di sini sekaligus mengenalkan ikan khas Tomia ini ke banyak orang,” tutup Siti Ami sambil memamerkan hasil ikan asar garamnya.
Teks dan Foto: Maura Finessa Winayo, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan magangers Kompas Muda Harian Kompas