Akhir-akhir ini banyak beredar kabar di masyarakat tentang jumlah utang Indonesia yang makin besar sehingga mengancam keberadaan negara. Muncul rumor, hutang yang terus naik akan membuat negara kita bangkrut. Setelah itu mulailah orang berpendapat, mengapa kita enggak mencetak uang sendiri saja daripada utang ke lembaga lain di luar negeri ?
Benarkah menambah uang pemerintah dengan cara mencetak uang menjadi solusi terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia ? Atau jangan-jangan malah memunculkan masalah lain ? Mau tahu jawabannya ? Yuk, kita simak penjelasannya.
Sebelum membahas masalah utang luar negeri indonesia, apakah kalian mengetahui perbedaan utang dan defisit anggaran? Ketika pemerintah mengeluarkan uang lebih banyak daripada mengumpulkan penerimaan (uang) maka itu disebut defisit anggaran, yang harus didanai dengan meminjam dari sektor swasta, sedangkan utang negara yaitu akumulasi dari defisit anggaran.
Akhir-akhir ini banyak informasi yang menyatakan bahwa utang luar negeri indonesia sudah menumpuk bahkan menggunung. Data terbaru mengenai utang luar negeri Indonesia pada akhir April 2019 tercatat sebesar 389,3 miliar dollar AS yang terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 189,7 miliar dollar AS, serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar 199,6 miliar dolar AS.
Menurut laporan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia edisi Juni 2019 yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia tersebut tumbuh 8,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 7,9% (yoy). Hal ini terjadi karena transaksi penarikan neto ULN dan pengaruh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sehingga utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dollar AS. ULN Indonesia pada akhir April 2019 tersebut termasuk terkendali dan memiliki struktur yang sehat.
Mengapa berutang?
Utang bukanlah barang yang haram jika dikelola dengan prudent dan pemenuhannya digunakan demi kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan membiayai pembangunan demi mengejar ketertinggalan dari negara lain. Pemerintah juga telah memikirkan sumber dana untuk melunasi utang dan telah menerapkan batasan-batasan dalam melakukan kebijakan utang.
Menurut UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dalam penjelasan pasal 12 ayat 3, defisit APBN dibatasi sebesar tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) dan pinjaman pemerintah dibatasi sebesar 60 persen dari PDB. Utang Indonesia tergolong masih stabil karena masih kurang dari rasio yang ditentukan oleh undang-undang tersebut.
Utang merupakan divert tax atau pajak yang tertunda. Maksudnya, pembangunan yang dilakukan dengan pembiayaan akan meningkatkan jumlah investasi baru dan meningkatkan baik daya saing maupun daya beli. Pada akhirnya akan menghasilkan penambahan penerimaan perpajakan dimasa mendatang yang dapat digunakan untuk membayar kembali utang yang dilakukan saat ini.
Indonesia diproyeksikan akan menjadi salah satu dari tujuh negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, tentu saja ini didorong oleh faktor bonus demografi. Namun Hal ini akan berhasil apabila ditunjang dengan persiapan dan investasi sumber daya manusia (SDM) serta pembangunan infrastruktur.
Maka untuk mendanai terciptanya kegiatan tersebut pemerintah melakukan utang. Menurut perhitungan ekonomis, sharing manfaat yang dilakukan pemerintah saat ini jauh lebih besar dibandingkan beban yang ditanggungnya.
Dampak dari pencetakan uang terus menerus adalah hiperinflasi yang mencapai 600 persen. Pada 13 Desember 1965, pemerintah melakukan pemotongan uang dari Rp 1.000 rupiah hanya menjadi Rp 1
Pasti kita semua pernah berpikir mengapa pemerintah tidak mencetak uang lebih banyak saja untuk membayar utang-utangnya dan juga memberikan uang tersebut kepada masyarakat supaya masyarakat lebih sejahtera ? Ternyata mencetak uang berlebih bukanlah solusi yang tepat.
Mencetak uang yang berlebihan akan menyebabkan inflasi. Inflasi adalah proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Jadi harga barang dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia. Jika jumlah barang lebih banyak dari jumlah uang yang beredar maka harga cenderung akan turun. Sedangkan, jika jumlah uang yang beredar lebih banyak daripada jumlah barang yang tersedia maka harga cenderung akan naik atau biasa disebut dengan inflasi
Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, menegaskan bahwa mencetak uang dua kali lipat dari yang beredar saat ini untuk membiayai pembangunan dibandingkan dengan menambah utang bukan merupakan solusi yang tepat. Walaupun sebenarnya Bank Indonesia bisa melakukan hal tersebut.
“Inflasi itu adalah isu, supaya ekonomi maju, cetak saja uang yang banyak, tapi itu bukan solusi yang simpel,” kata Sri Mulyani saat memberikan Kuliah Umum di kampus Universitas Indonesia Depok beberapa waktu lalu. Ia juga menjelaskan, orang miskin nanti yang akan terkena imbas lebih buruk atas terjadinya inflasi tersebut
“Biasanya makan tiga kali sehari, sekarang tidak bisa, karena inflasinya naik. Harganya naik, makanya kalau inflasi tinggi pasti jumlah orang miskin bertambah,” jelas Sri Mulyani.
Nah, tapi apakah Indonesia pernah mencetak uang berlebih untuk membiayai hutangnya ? Jawabannya, pernah. Ketika tahun 1960-an perekonomian indonesia hancur karena inflasi dan hutang. Sementara ekspor mengalami penurunan dan pendapatan dari sektor pajak juga belum dapat terlaksana dengan optimal. Puncak inflasi berada diatas 100 persen (year-on-year) pada tahun 1962-1965 karena pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek megah.
Dampak dari pencetakan uang terus menerus ini adalah hiperinflasi yang mencapai 600 persen. Tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan uang dari Rp 1000 rupiah menjadi Rp 1. Kebijakan ini memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejap.
Dana simpanan para nasabah perbankan juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik membumbung tinggi maka terjadilah hiperinflasi
Bukan solusi
Jadi utang itu baik jika dikelola dengan prudent. Utang merupakan divert tax. Pembangunan yang dilakukan dengan berhutang, akan menimbulkan penambahan penerimaan pajak dimasa depan yang dapat digunakan untuk membayar kembali utang yang dilakukan saat ini.
Mencetak uang berlebih bukan merupakan solusi yang baik karena menyebabkan inflasi, dimana harga naik secara umum. Meskipun semua orang terkena dampak inflasi, orang miskin akan terkena imbas lebih dari inflasi tinggi lantaran alokasi anggaran untuk makanannya menjadi berkurang karena inflasinya naik, harganya naik. Maka bila terjadi Inflasi tinggi angka kemiskinan menjadi bertambah. “Cetak uang itu it’s good, karena bisa gerakin ekonomi, tapi inflasi naik. Jadi itu sesuatu yang real, itu yang harus dipilih policy maker,” kata Sri Mulyani.
Dewanda Daffa Tegar Satriya, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN