Kita adalah rintik itu sendiri, yang senantiasa jatuh dengan tabah dalam kepasrahan, sunyi ketika ramai, begitu riuh dalam kesepian.
Menyimpan cerita-cerita kecil pada ranting, ilalang, dan daun-daun kering, yang suatu saat nanti dapat berubah menjadi asing.
Kita tak pernah takut jatuh berkali-kali,meski tersungkur jauh ke dalam sunyi. Kita tak pernah ragu ‘tuk bangkit kembali.
Merajut benang-benang harapan pada setiap kegagalan dan kekalahan. Mencari sisa-sisa keindahan pada setiap jengkal kehampaan.
Kita adalah rinai itu sendiri, yang sejatinya diciptakan untuk melengkapi kekosongan suasana, pada ruang yang terlelap atau jemu yang menetap.
Memberi setitik nyawa pada raga yang mati, atau memberi arti pada luka yang lara, mengalir butirannya menuju palung yang paling dalam, hati misalnya.
Kita mampu merawat yang lain, namun belum sanggup menyayangi diri, rela untuk jatuh, patah, bahkan sudi menelan pahitnya luka hanya karena persoalan hati.
Mengadu pada naifnya senja, mawar yang usang, atau pada klisenya lagu-lagu pengantar kerinduan, yang membawa raga menuju ke tepian.
Sudahlah, lupakan sejenak
Hujan belum berakhir kawan, rintik masih berdesik, pula berbisik, rinai belum meringkai, pula mengusai.
Masih banyak yang perlu kasih sayang hujan, dan kita—perlu membagikannya.
Bima DSaputra