Gawean utama wong wedok iku masak, macak, lan manak. Merga iku, wilayahe dapur, sumur, lan kasur kanthi gawean: isah-isah, umbah-umbah, lan lumah-lumah
(Dikutip secara bebas dari Hersri, 1981 dalam Kencono dan Wardhana, 2013)
Dapur, sumur, dan kasur. Tiga kata yang mencakup tiga aktivitas yang dianggap menjadi tugas utama perempuan menurut kodratnya. Dalam istilah Bahasa Jawa, dikenal pula tiga sebutan dengan konteks yang serupa, yaitu masak, macak, manak, atau masak, dandan, dan melahirkan.
Realitas yang terbentuk di banyak kelompok masyarakat pada zaman dahulu, setidaknya sebelum gerakan-gerakan feminisme bermunculan, kerap menempatkan perempuan sebagai kaum kelas dua. Diamininya anggapan itu bahkan sempat diwujudkan dalam peraturan tertulis.
Amerika Serikat, negara yang digadang-gadang sebagai negara adidaya itu, ternyata baru mencantumkan hak pilih bagi perempuan pada tahun 1920, 144 tahun setelah merdeka. Tak jauh berbeda, kebanyakan negara di Barat ysng baru mencantumkan hak pilih perempuan dalam undang-undang pada penghujung abad 19 dan awal abad 20.
Seiring perkembangan zaman, lahir kesadaran yang mendorong munculnya gerakan dukungan pada keseteraan hak perempuan. Menurut Landes dalam penelitiannya Women and The Public Sphere: A Modern Perspective (1984), salah satu penyebab gerakan-gerakan feminisme muncul adalah meningkatnya politisasi perempuan pada abad ke-19 di Amerika dan Eropa. Di Indonesia sendiri salah satunya ditandai dengan R. A. Kartini.
Anak bangsawan Jepara ini adalah sosok pencetus emansipasi di Indonesia karena keberaniannya untuk menyuarakan pemberontakan terhadap patriarkisme di Jawa. Di masa sekarang, gerakan-gerakan itu tak lantas hilang. Dalam peringatan Hari Perempuan Internasional misalnya. Dikenal dengan Women’s March, para perempuan turun melakukan unjuk rasa ke jalan untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait kesetaraan hak perempuan.
Lama-kelamaan, anggapan perempuan sebagai kaum kelas dua amat jauh dari kata relevan. Kemajuan pemikiran membuat publik mendambakan kesetaraan bagi perempuan. Kesetaraan itu merambah ke berbagai aspek sosial, termasuk aspek pekerjaan-pekerjaan yang semula hanya diperuntukkan untuk laki-laki. Salah satunya dalam politik dan pemerintahan.
Firman Manan, ahli politik dari Universitas Padjadjaran memaparkan sejarah awal keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan di Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat, Indonesia tidak pernah membatasi keterlibatan perempuan dalam politik melalui serangkaian peraturan. Hanya saja, pada zaman dahulu, terdapat anggapan-anggapan yang membatasi perempuan untuk terlibat dalam politik.
“Fenomena politik yang terstruktur secara sosial yang membuat keterlibatan perempuan dalam politik tidak tinggi. Seakan-akan politik dan pemerintahan hanya jadi domain-nya laki-laki, sementara domain perempuan adalah urusan domestik,” ujarnya.
Lebih unggul
Di masa kini, Firman mengakui terdapat peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik maupun pemerintahan di Indonesia dari segi kuantitas. Bahkan, Firman menilai negara Indonesia lebih unggul ketimbang negara-negara lain.
“Di Indonesia sudah ada kebijakan yang mengafirmasi keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan. Misalnya, peraturan pengurus partai politik minimal 30 persen harus diisi perempuan, peraturan dalam pencalonan anggota legislatif harus ada 30 persen perempuan,” kata Firman yang diwawancarai 18 Mei 2019 lalu.
Masalah yang selama ini bermunculan terletak pada segi kualitas keterlibatan perempuan itu. Indonesia memang sudah menetapkan keterlibatan perempuan dalam peraturan perundangan. Namun, substansi dari keterlibatan itu sampai hari ini masih tak sesuai dengan yang seharusnya. Menurut Firman, salah satunya terwujud pada banyaknya pemimpin maupun kepala daerah perempuan yang terlibat kasus korupsi di Indonesia.
“Semangat memperbaiki politik dan pemerintahan semestinya mengemuka ketika bicara keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia. Tapi, kalau kita lihat dalam Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) satu-dua tahun terakhir, ada beberapa nama perempuan,” kata Firman.
Perkataan Firman terbukti oleh data yang dikeluarkan KPK dan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2017. Menurut data itu, sejak tahun 2007 sampai 2017, terdapat 78 orang pemimpin perempuan yang terlibat kasus korupsi, dimulai dari tersangka hingga terpidana. Hal itu menunjukkan keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan tidaklah selalu progresif meskipun dibukanya keran keterlibatan itu semula bertujuan baik.
“Politik sering kali dimaknai sebagai sesuatu yang keras, ada konflik di dalamnya. Itu terjadi karena gender bias selama ini bahwa yang dominan dalam politik itu laki-laki. Ketika masuk ke politik, perempuan hadir untuk menurunkan tensi politik karena identik dengan nurturing atau merawat seperti ibu,” jelas Firman.
Dalam penelitian yang sama, Landes (1984) menjelaskan lebih jauh mengenai gender bias yang Firman sebutkan. Potensi parisipasi perempuan dalam politik pada akhirnya kalah oleh anggapan yang dangkal mengenai kebajikan perempuan. Dampaknya, perempuan kerap didorong kembali untuk hanya masuk ke ruang pribadi. Contohnya, di abad ke-18, upaya-upaya perempuan untuk mencapai pencapaian politis yang sama dengan laki-laki selalu ditolak. Hal itu, menurut Landes, pada akhirnya menyebabkan terbentuk struktur gender antara realisasi diri dan pemalsuan diri serta kehidupan publik dan kehidupan pribadi perempuan.
Firman menilai adanya peraturan yang mengatur keterlibatan perempuan itu membutuhkan partisipasi aktif perempuan agar bisa mencapai tujuan yang dicita-citakan. “Undang-undang yang mengatur keterlibatan perempuan sebenarnya bagus dalam konteks affirmative action. Tapi, itu harus diiringi dengan kesiapan dari perempuan sendiri. aturan yang baik juga membutuhkan kesiapan supaya bisa beroperasi dengan baik. Percuma kalau tidak,” jelasnya.
Setelah ada sekian kepala daerah perempuan yang terlibat korupsi, image di mata publik jadi tidak baik. Itu yang akan jadi problem
Banyaknya jumlah kepala daerah maupun pemimpin perempuan yang beriringan dengan terus meningkatnya kasus korupsi yang melibatkan perempuan dinilai Firman membentuk penilaian yang buruk dari masyarakat terhadap para pemimpin perempuan.
Ia menyatakan, “Setelah ada sekian kepala daerah perempuan yang terlibat korupsi, image di mata publik jadi tidak baik. Itu yang akan jadi problem. Seharusnya citra perempuan dalam politik pemerintahan memberikan sumbangan yang baik.”
Terlibatnya kepala daerah maupun pemimpin perempuan dalam kasus korupsi bukanlah pemandangan yang langka kita saksikan. Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom misalnya. Ia terlibat kasus penyuapan terhadap Nunun Nurbaeti, pejabat perempuan lain yang juga terlibat kasus korupsi. Keterlibatan Nunun dalam korupsi ialah dalam kasus pemenangan Miranda Goeltom sendiri sebagai Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004.
Sementara di ranah kepala daerah, setelah kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut dan dinasti politiknya, baru-baru ini Bupati Talaud Sri Wahyumi Manalip terjerat kasus penyalahgunaan APBD dan gratifikasi.
Firman melanjutkan, stigma negatif mengenai pemimpin perempuan akhirnya muncul karena masyarakat menilai keterlibatan perempuan dalam politik tidak memberikan perbedaan signifikan. Perilaku yang melekat pada pemimpin tetaplah koruptif dan tidak kompeten.
Perempuan yang identik dengan sifat keibuannya, seperti kata Firman, ternyata memang mempunyai kaitan dengan perilaku koruptif. Rivas (2012) dalam penelitiannya yang berjudul An Experiment on Corruption and Gender mengungkapkan, kecenderungan korupsi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal itu disebabkan karena perempuan lebih berorientasi pada hubungan (relationship-oriented), lebih beretika, lebih peduli pada kebaikan bersama, dan lebih mudah mengorbankan keuntungan pribadi untuk kesejahteraan bersama bila dibandingkan dengan laki-laki.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Goetzs (2007) dalam Political Cleaners: How Women are The New Anti-Corruption Force memaparkan bahwa kecenderungan korupsi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki disebabkan karena perempuan kurang memiliki akses atas jabatan-jabatan publik. Menurutnya, jabatan publik didominasi kaum laki-laki yang memiliki jaringan yang lebih kuat. Penelitian itu menunjukkan keterlibatan perempuan dalam politik yang seiring waktu terus meningkat secara kuantitas memperbesar kemungkinan perempuan untuk melakukan korupsi.
Sementara itu, dengan bawaan-bawaan psikologis perempuan yang membuat kecenderungan korupsinya lebih rendah daripada laki-laki, lantas mengapa banyak perempuan yang melakukan korupsi? Firman menjawabnya dengan satu kunci permasalahan, yaitu: sistem politik. Masih banyak celah dalam sistem politik yang bisa dimanfaatkan orang untuk melakukan korupsi.
“Kalau ada karaker dasar bahwa perempuan potensi korupsinya lebih rendah, masalahnya dari sisi sistem. Misalnya, orang mau berkarir di politik dan pemerintahan sekarang butuh biaya yang relatif tinggi. Itu permasalahan sistem yang membuat siapapun yang masuk ke politik punya potensi terjerumus dalam perilaku korupsi,” jelas Firman.
Terdapat beberapa hal yang menurut Firman menjadi penyebab pemimpin perempuan melakukan korupsi. “Proses rekrutmen, kaderisasi, dan seleksi pimpinan-pimpinan publik tidak dilakukan dengan sangat baik. Bukan spesifik kasus perempuan, laki-laki juga. Ini problematika di semua kasus, baik kader-kader parpol maupun di pemerintahan,” katanya menambahkan.
Firman mengatakan terdapat banyak perempuan yang terlibat dalam politik maupun pemerintahan bukan karena kualitas personal, tapi karena hubungan keluarga dengan elite politik tertentu. Lambat laun, pola-pola tersebut membentuk fenomena dinasti politik, ketika pemimpin perempuan terpilih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat lain, baik di periode ini maupun periode lalu. Berangkat dari beberapa hasil riset, Firman menjelaskan contoh dinasti politik dalam kepemimpinan perempuan.
“Misalnya bu Atty (Atty Suharti, Wali Kota Cimahi Periode 2012-2017) dari Cimahi yang melanjutkan pak Itoc (Itoc Tochija, Wali Kota Cimahi Tahun 2001-2012),” kata Firman.
Kaum perempuan dalam politik dan pemerintahan perlu menyadari bahwa di pundak mereka terdapat sebuah tanggung jawab besar
Menurut Firman, tidak ada yang salah dari dinasti politik, namun, yang membuat dinasti politik menjadi buruk adalah ketika orang-orang masuk ke politik dan pemerintahan hanya berdasarkan hubungan keluarga. Bukan atas pertimbangan kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki.
“Misalnya, ketika kepala daerah masa jabatannya sudah selesai dua periode dan berusaha tetap mempertahankan kekuasaannya. Karena secara aturan sudah tidak bisa, dia menyiapkan istri maupun anaknya yang perempuan,” urainya. Ia kemudian melanjutkan, mereka dipaksakan untuk melanjutkan kekuasaan karena tidak punya kompetensi maupun kualifikasi untuk meneruskan kekuasaan. Kemudian mereka menjabat, muncul perilaku koruptif.
Menurut Firman, rendahnya kompetensi para pemimpin perempuan yang terpilih karena dinasti politik sekaligus sistem perekrutan yang buruk menjadikan mereka rentan melakukan korupsi. Hal itu muncul karena ketidakmampuan mereka untuk mengelola sebuah pemerintahan. Atas dasar ketidakpahaman, perempuan dalam politik dan pemerintahan kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.
“Bila dilihat lebih jauh, dinasti politik mempunyai sebuah pola, yaitu penguasaan ekonomi oleh kelompok tertentu. Kemudian, perempuan yang masuk ke dalam jejaring kekerabatan terlibat dalam proses itu,” tukasnya.
Gaya hidup juga turut menjadi penyebab munculnya korupsi yang dilakukan pemimpin perempuan. “Pemimpin-pemimpin koruptif itu karena gaya hidupnya yang berlebihan. Salah satu kriteria moralitas pejabat publik itu seharusnya punya gaya hidup yang sederhana,” kata Firman.
Korupsi adalah permasalahan universal yang tidak bisa dipisahkan berdasarkan gender. Baik laki-laki maupun perempuan sama berpotensi untuk terlibat di dalamnya. Sistem politik sebagai sumber permasalahan korupsi, seperti yang Firman katakan bukanlah satu-satunya faktor.
Carey dan Haryadi dalam buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia menyatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan lagi sebatas permasalahan moralitas politisi dan elite negara. Kenyataan bahwa korupsi telah banyak terjadi di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda yang berlanjut diterapkan oleh raja-raja di Jawa, membuat korupsi telah menjelma menjadi sebuah budaya.
Ketika korupsi merajalela pada abad ke-18, Inggris melakukan revolusi mental yang beriringan dengan kemunculan filsafat moral. Butuh waktu hingga seratus tahun lamanya hingga negara itu bisa bangkit dari lubang hitam yang tercipta akibat korupsi. Bukan berarti negara kita tak bisa mencapai kesuksesan yang sama. Ketika perbaikan sistem sudah diwacanakan di mana-mana tanpa hasil yang signifikan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah revolusi mental, mengembalikan ingatan dan kepercayaan akan tujuan awal lahirnya politik: kesejahteraan bersama. Bukan kesejahteraan kelompok, golongan, maupun kesejahteraan elite saja.
Kaum perempuan dalam politik dan pemerintahan perlu menyadari bahwa di pundak mereka terdapat sebuah tanggung jawab besar. Diamanahi cita-cita bangsa yang sejahtera adalah persoalan besar yang tak mudah untuk dilaksanakan.
Kesetaraan gender yang perlahan-lahan direalisasikan mengisyaratkan bahwa tiada lagi istilah siapa yang lebih kuat dan lebih dominan. Politisi perempuan maupun laki-laki mempunyai muatan tanggung jawab yang sama besarnya untuk memajukan negara ini.
“Saya sepakat bahwa perempuan harus lebih banyak dilibatkan dalam politik dan pemerintahan. Tapi memang perlu ada penguatan kapasitas. Jadi, orang-orang yang hadir bukan hanya karena faktor keturunan, tapi karena secara kualitas personal dia layak untuk masuk maupun jadi pucuk pemerintahan,” kata Firman menutup pembicaraan.
Selma Kirana Haryadi, mahasiswi Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran