Pagi itu, ketika matahari baru muncul dari ufuk timur, terdengar hentakan-hentakan riang anak-anak di depan sebuah rumah petak yang terletak di daerah Caringin, Bandung. Anak-anak tersebut berbalut seragam dan menggendong tas ransel, berjalan beriringan dari gerbang sampai masuk ke dalam rumah.
Senyum lebar senantiasa terukir di wajah mereka, tanda bersemangat untuk memulai hari. Mereka datang untuk menimba ilmu, dan rumah petak tersebut adalah sebuah sekolah. Sekolah luar biasa atau SLB.
Sesampainya di dalam kelas, mereka langsung berbenah peralatan sekolah yang mereka bawa lalu beranjak untuk memakai perlengkapan salat. Setiap harinya, pembelajaran dimulai dengan salat Dhuha bersama-sama, diimami oleh salah satu dari mereka. Walaupun begitu, mereka tetap dibimbing oleh guru-guru yang ada di sekolah tersebut. Setelah selesai salat, anak-anak tersebut berkumpul membentuk lingkaran di tengah-tengah kelas. Seorang lelaki paruh baya beranjak untuk duduk di tengah lingkaran tersebut.
“Hukum berpuasa di bulan Ramadhan itu adalah wajib. Selain menahan untuk tidak minum dan makan, kita juga harus menahan agar tidak marah-marah, menahan untuk tidak bergosip. Ayo di sini siapa yang tahu apa lagi yang membatalkan puasa?” kata Tatang yang memimpin diskusi tentang pentingnya berpuasa di bulan Ramadhan. Lelaki tersebut guru sekaligus pendiri dan pemilik SLB tersebut.
Tatang sama seperti murid-muridnya, ia merupakan penyandang disabilitas. Ia tunanetra sejak ia duduk di bangku SMP. Sejak lahir ia sudah memiliki gangguan penglihatan, sampai ketika dokter memutuskan untuk mengoperasi matanya agar dapat memakai kacamata. Operasi tersebut mengalami kegagalan dan akhirnya menyebabkan matanya buta total. Namun hal tersebut bukan hal yang asing di keluarganya, sebab dari tujuh bersaudara, ada empat saudara yang tunanetra termasuk dirinya dengan penyebab yang berbeda-beda.
Selama satu tahun ia mengalami keterpurukan karena kondisi mendadak tersebut. Kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SLB sampai ke tingkat SMA di daerah Pajajaran, Kota Bandung. Namun pendidikannya tidak sampai situ saja. Ia lolos tes UNMPTN, tes masuk perguruan tinggi negeri pada waktu itu ke Universitas Padjadjaran atau yang lebih dikenal dengan Unpad.
Alumnus Unpad
Suatu hal yang luar biasa pada saat itu jika seorang penyandang disabilitas dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, bahkan sampai sekarang masih seperti itu. Mahasiswa disabilitas di perguruan tinggi masih sangat sedikit, belum ada peraturan dari Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi RI mengenai kuota mahasiswa disabilitas di perguruan tinggi. Ditambah lagi dengan fasilitas penunjang disabilitas di kampus masih sangat minim bahkan sampai saat ini, khususnya kampus-kampus yang ada di Bandung.
Tatang merupakan alumni Unpad dari jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Ia lulus tahun 1998 dengan nilai skripsi A. Skripsinya mengambil tema folklore atau dongeng rakyat, lebih tepatnya adalah Sangkuriang.
“Saya diberi pilihan pada waktu itu, skripsinya tentang Sangkuriang karena saya menggunakan literatur pada waktu itu, dan itu salah satu skripsi yang sekarang diabadikan oleh Unpad, khususnya Fisip, dalam bentuk mata kuliah tentang folklore, karena pada waktu itu folklore belum ada mata kuliahnya,” tutur Tatang menceritakan salah satu pencapaian besar dalam hidupnya.
Setelah lulus, lalu kembali ke daerah rumahnya di Caringin, Bandung, ia mendapati sebuah kenyataan bahwa masih banyak anak penyandang disabilitas di daerahnya yang belum bersekolah. Hal tersebut karena belum tersedianya SLB di daerah tersebut pada waktu itu.
Jika ingin bersekolah, mereka harus pergi ke daerah yang jaraknya jauh dari Caringin, seperti daerah Cicendo atau Pajajaran. Karena keadaan finansial yang kurang, banyak dari mereka yang tidak mampu bersekolah. Berangkat dari keadaan tersebut, muncul rasa simpati dan empati di hati Tatang untuk bergerak menolong mereka.
“Jadi saya mencari cara bagaimana saya bisa meraih mereka supaya sekolah, karena saya sendiri tunanetra jadi ikut merasakan bahwa yang namanya anak punya kekurangan itu tentu saja harus ditopang oleh ilmu untuk menunjang hidupnya dan masa depannya,” terangnya.
Akhirnya, ia dan kakaknya sepakat mendirikan yayasan untuk membuat sebuah SLB pada tahun 2003. SLB tersebut bernama SLB ABCD Ceria. ABCD adalah istilah untuk menandakan jenis-jenis SLB, yaitu A untuk murid tunanetra, B untuk anak tunarungu, C untuk anak yang memiliki kemampuan intelegensi di bawah rata-rata dan keterbelakangan mental atau biasa disebut dengan tunagrahita, dan D untuk anak tunadaksa. SLB ini setingkat jenjang SMA, dibangun dengan banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi oleh Tatang.
Kendala pertama yang ia hadapi adalah ia tidak memiliki tempat untuk mendirikan SLB tersebut. Jalan keluar satu-satunya adalah menggunakan rumahnya yang sedang ia tempati untuk dijadikan sekolah.
Tantangan terbesar yang dilalui Tatang adalah pihak warga merusak jalan yang ia perbaiki untuk memudahkan akses murid disabilitas
Sepetak rumah tersebut terdiri dari dua lantai. Sebuah kamar berukuran 3×3 meter di lantai dua dijadikan satu-satunya ruang kelas di SLB itu. Ruang guru dan kantor ada di lantai satu. SLB tersebut juga memiliki perpustakaan sederhana di lantai dua, di samping ruang kelas. Dalam perpustakaan tersebut tidak hanya memuat buku-buku teks biasa, tapi ada juga buku dengan huruf braille bagi murid tunanetra.
Setelah itu, kendala muncul dari warga yang ada di sekitar SLB. Warga tidak mudah menerima keberadaan SLB, sebuah hal yang sangat baru ada di daerah mereka pada waktu itu. Tantangan terbesar yang dilalui Tatang adalah pihak warga merusak jalan yang ia perbaiki untuk memudahkan akses murid disabilitas. “Jalan yang sudah saya perbaiki sekarang hancur oleh tetangga-tetangga RW 12, karena alasan keamanan katanya. Daerah dari sana (awal gang) sampai ke sini itu banyak pencuri jadi tidak aman akhirnya dihancurkan jalannya. Padahal itu bagi anak SLB itu sangat berguna, tetapi sekarang hancur.”
Selanjutnya dari pihak orangtua anak disabilitas. Setelah mendirikan SLB, tentunya Tatang beserta kakaknya harus melakukan sosialisasi ke warga daerahnya. Sosialisasi tersebut sebagai usaha untuk mempersuasi orangtua anak disabilitas yang belum menyekolahkan anaknya. Tatang dan kakaknya datang ke tiap rumah-rumah orangtua tersebut. Namun, kadang yang didapat Tatang hanyalah usiran dan cacian dari mereka, karena tidak semuanya paham bahwa anaknya bisa dan sudah seharusnya disekolahkan.
“Saya dan kakak saya bolak-balik untuk memberikan nasihat supaya anak mereka disekolahkan, itu tidak satu kali dan tidak mudah. Kadang saya sendiri diusir, kadang dianggap orang yang minta-minta, padahal kita ingin memberi nasihat kepada orangtua yang belum paham tentang bagaimana supaya anak ini bisa sekolah,” keluhnya.
Kendala dana
Lalu kendala yang lain, yang tidak kalah signifikan efeknya, adalah masalah pendanaan. Salah satu keunikan dari SLB ini adalah sekitar 70 persen dari murid yang ada berasal dari keluarga yang tidak mampu. Hal tersebut tentu memengaruhi dana masuk SLB ini. Tatang tidak mau memberatkan orangtua.
Akhirnya SLB ini tidak terlalu berkembang dibanding sekolah lain yang ada di daerahnya. Salah satunya jika dibandingkan dengan Taman Kanak-kanak yang ada di dekat SLB tersebut, yang sudah memiliki bangunan yang lebih bagus dan besar padahal baru dibangun jauh setelah SLB ada. Tatang berkata, sekolah umum biasanya tidak memiliki masalah dalam hal iuran atau SPP. Berbeda dengan SLB-nya, ia harus memikirkan apakah orangtua muridnya mampu atau tidak dan harus memakluminya.
Kendala pendanaan akhirnya mau tidak mau harus dibebankan kepada Tatang sendiri, termasuk perawatan bangunan dan biaya pembangunan asrama yang masih dalam pemrosesan. Ia berkata, dirinya bukan orang yang mampu. Namun hal tersebut tidak menghentikannya untuk berjuang menolong sesama, apalagi dirinya pun merasakan hal yang sama dengan murid-muridnya, rasanya menjadi penyandang disabilitas yang juga butuh pendidikan yang layak.
“Saya ingin membantu mereka, karena kalau kita memudahkan orang lain Insya Allah, Allah akan memudahkan kesulitan kita. Toh membantu orang lain tidak harus orang yang berduit, tidak harus orang kaya. Kita pun orang yang tidak mampu, kita bisa membantu orang lain. Saya membantu mereka dengan mendirikan sekolah ini. Kalau tidak dibantu oleh saya, oleh siapa lagi?” ujar Tatang.
Saat ini, SLB ini memiliki 40 murid. Ada tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Kebanyakan dari mereka merupakan tunagrahita dan yang paling sedikit tunanetra. SLB ini sudah diampu oleh 13 guru, terdiri dari lima ASN dan delapan honorer. Berstatus sekolah swasta, namun murid yang sudah berada di tingkat akhir juga tetap melaksanakan Ujian Nasional layaknya murid di sekolah umum lainnya.
Tatang juga menyampaikan harapannya atas sekolah yang dibangunnya ini, “Harapan saya besar sekali, saya ingin SLB ini besar, punya tanah ya minimal 2000 meter persegi, karena memang idealnya seperti itu. Contohnya, kelas itu harus minimal 5×5 meter, kalo sekarang kan hanya kamar yang diubah menjadi kelas yang hanya seluas 3×3 meter. Kemudian kalau sudah punya tanah yang tadi saya harapkan, saya ingin punya lapangan upacara, punya laboratorium, punya aula, tempat untuk ruang musik, yang ideal lah pokoknya. Saya ingin seperti itu.”
Tidak hanya itu, sekarang Tatang sedang dalam tahap membangun asrama untuk muridnya yang kurang mampu, “Saya sekarang sedang membangun asrama, walaupun kecil-kecilan di lantai dua. Mudah-mudahan asrama ini selesai, mudah-mudahan bisa tuntas dan ini sangat penting karena banyak anak-anak yang orangtuanya kurang mampu yang ingin anaknya diasramakan,” pungkasnya.
Hari itu, Jumat, 10 Mei 2019. Selama bulan puasa, kelas terakhir selesai lebih awal. Sekitar pukul 11.00 WIB, murid-murid berhamburan keluar dari gedung sekolah, menghampiri orangtuanya masing-masing yang sudah menunggu di pelataran sekolah. Berbagai pasang muka orangtua menyajikan senyuman, seraya mengamit tangan anaknya, berjalan pulang.
Fariza Rizky Ananda, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung