Malam itu tidak seperti malam biasanya. Alunan takbir berkumandang sahut menyahut di udara. Wajah malam Ranah Minang, tepatnya di daerah Gasang, Maninjau, Sumatera Barat menampakkan rona kebahagiaan menyambut hari kemenangan yang esok hari akan segera tiba.
Tabuhan tambua dan tansa yang menjadi kesenian ciri khas daerah Maninjau ini menambah semarak kegiatan malam itu. Jika biasanya tambua tansa dimainkan secara berkelompok di lapangan, kali ini dimainkan di atas rakik-rakik yang berlayar di perairan Danau Maninjau.
Rakik, atau biasa disebut dengan rakit, ialah kendaraan apung yang dibuat dari beberapa buluh yang diikat berjajar untuk mengangkut barang atau orang di air. Namun rakik kali ini tidak seperti rakik pada umumnya, kali ini lebih istimewa, karena dihiasi puluhan lampu togok yang disusun berjajar secara bertingkat melingkari rakik dengan menyisakan sebagian badan dari rakik untuk tempat pemain tambua tansa menabuh ria.
Tidak hanya itu, rakik juga dihiasi berbagai bentuk obyek yang dihiasi lampu warna- warni. Seperti bentuk Jam Gadang sebagai ikon Kota Bukittinggi, dan bentuk Masjid Gasang sebagai identitas rakik daerah gasang.
Langit malam itu begitu bersahabat, pantulan sinar lampu warna warni dan nyala lampu togok yang menghiasi rakik di permukaan danau terlihat megah. Riak danau menari mengiringi rakik yang mulai menjauh ke tengah danau. Tambua tansa telah dihoyak (ditabuh) di atas rakik, sorak bersahutan dari pemuda yang menikmati alunan tabuhan tansa membuat suasana semakin meriah. Tidak berselang lama, puluhan badia batuang (meriam bambu) yang berhasil memekakkan telinga secara bergantian menembak ke arah danau.
Rakik merupakan salah satu budaya masyarakat Maninjau yang diadakan setiap tahun pada malam hari untuk menyambut hari kemenangan. Tahun ini ada empat rakik yang akan berlayar menghiasi perairan Danau Maninjau. Di antaranya yaitu Rakik Sarasah Badarun, dari daerah Gasang, Rakik Bancah, Rakik Barkam, dan Rakik Kubu Baru.
Setiap rakik memiliki satu tongkang, yaitu kumpulan badia batuang yang diletakkan di atas rakik khusus tongkang untuk saling memerangi satu sama lain. Namun dengan syarat, tongkang hanya boleh menembaki antar tongkang saja, seperti bermain kucing-kucingan. Pada awalnya rakik hanya menunjukkan pesonanya di daerah masing-masing, barulah di hari berikutnya semua rakik akan bertemu dan secara bergantian memperlihatkan setiap sisi rakik kepada penonton bak sebuah peragaan busana.
“Rakik ini merupakan hasil karya dari pemuda masing-masing jorong (kelurahan). Pembuatannya dimulai dari awal puasa,” tutur Beni, sebagai salah satu pengurus dalam pembuatan rakik.
Malam semakin larut, hoyak tambua tansa semakin meriah. Secara bergantian beberapa warga ikut antusias menaiki rakik dan bersorak ria sembari menjauh ke tengah danau lagi. Acara ini biasanya berlangsung hingga pukul 4 dini hari. Sahut meyaut pemuda yang menikmati alunan tambua tansa sesekali tenggelam terkalahkan oleh suara ledakan badia batuang.
Selain sebagai budaya menyambut hari kemenangan, adanya rakik ini juga dijadikan sebagai ajang pertunjukan kepada masyarakat daerah yang pulang dari perantauan, atau sebagai hiburan bagi masyarakat yang rindu akan kampung halaman.
Suci Wulandari Putri, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran