Menyoal Harga Tiket Pesawat Domestik yang (Masih) Mahal

0
291

Harga tiket pesawat domestik sejak akhir tahun 2018 mengalami kenaikan yang cukup drastis, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan mengenai batasan tarif, akan tetapi sampai saat ini belum mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut bukan hanya keluhan dari masyarakat saja, tetapi beberapa industri juga terkena imbas akibat melonjaknya harga tiket pesawat.

Kondisi tersebut memiliki efek domino terhadap berbagai sektor, mulai dari industri hulu dan hilir, termasuk pariwisata, hotel, agen perjalanan, kuliner, dan para pedagang kecil di sekitar daerah wisata yang dapat meyebabkan rendahnya daya beli masyarakat.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penumpang domestik angkutan udara pada triwulan I secara kumulatif mengalami penurunan sebesar 17,6 persen. Jumlah penumpang angkutan udara per Maret mengalami penurunan pada dua tahun terakhir. Tahun 2019 berjumlah 6,03 juta, sedangkan tahun 2018 dan 2017 sebanyak 7,73 juta dan 6,93 juta penumpang.

Sementara untuk jumlah penumpang internasional angkutan udara sebesar 1,55 juta mengalami peningkatan baik secara kumulatif maupun per periode bulan yang sama dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena melonjaknya harga tiket pesawat domestik yang cukup banyak.

Menjadi ironi  

Polemik yang terjadi mengenai harga tiket pesawat domestik yang melambung tinggi menyebabkan menurunnya penumpang domestik, berbanding terbalik dengan jumlah penumpang pesawat internasional yang mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena harga tiket pesawat domestik lebih mahal dibandingkan dengan penerbangan internasional ditambah lagi maskapai “murah” sudah tidak memberlakukan bagasi gratis.

Melihat harga tiket pesawat domestik di situs penjual tiket pesawat secara daring, harga tiket pesawat dari Jakarta ke Banda Aceh antara Rp 1,6 juta sampai dengan Rp 2,6 juta, sedangkan di hari yang sama harga tiket pesawat dari Jakarta ke Kuala Lumpur hanya Rp 400 ribuan saja. Dari Kualu Lumpur ke Banda Aceh, harga tiket sekitar Rp 300 ribuan sehingga dari Jakarta ke Banda Aceh melalui Kuala Lumpur harga tiket jadi lebih murah dikisaran antara Rp 800 ribuan sampai dengan satu jutaan.

Transit ke negara tetangga menjadi solusi bagi masyarakat demi menghemat uang sekitar Rp 700 ribuan sampai dengan satu juta rupiah

Transit ke negara tetangga menjadi solusi bagi masyarakat demi menghemat uang sekitar Rp 700 ribuan sampai dengan satu juta rupiah. Mengutip keterangan Kepala Seksi Lalu Lintas Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Kelas I Banda Aceh, Muhammad Hatta kepada media, fakta itu sebanding dengan kenaikan permohononan paspor di Banda Aceh dengan alasan untuk transit. Kondisi ini memang ironis, penumpang dalam negeri hanya untuk berpergian ke Jakarta dari Banda Aceh atau sebaliknya dan ke kota lainnya di Indonesia membutuhkan paspor.

Mahalnya harga tiket pesawat domestik mengakibatkan target pariwisata-pariwisata gagal memenuhi target. Padahal, sektor pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan keuangan negara. Tiket domestik pesawat yang melambung berdampak pada menurunnya wisatawan Nusantara, terutama “milenial”, yang lebih memilih berwisata ke luar negeri. Padahal, Indonesia tahun ini dinobatkan sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia oleh Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019 dan mengungguli 130 destinasi dari seluruh dunia. Namun, ironisnya wisatawan lokal mengalami stagnansi sejak awal tahun.

Penyebab harga mahal

Paska operasional dan keuangan Sriwijaya dan NAM Air diambil alih oleh Garuda Indonesia dan kasus Air Asia dengan sebuah situs penjual tiket pesawat daring, persaingan harga tiket pesawat sudah tidak terlihat lagi. Praktis, di Indonesia memunculkan dua raksasa penerbangan yaitu Lion Group (Lion, Batik, dan Wings) dan Garuda Group (Garuda, Citilink, Sriwijaya, dan NAM).

Kondisi tersebut mendorong Lion dan Garuda untuk berkompromi dalam menentukan harga tiket pesawat yang akan menciptakan sistem tidak sehat berupa kartel. Munculnya duopoli di bidang penerbangan mengakibatkan maskapai semena-mena dalam menentukan harga.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi di triwulan I sebesar 2,48 persen. Salah satu penyebab yang signifikan yaitu tarif angkutan udara. Hal ini tentu sangat riskan mengingat penentu harga tiket adalah stakeholders dalam negeri sendiri yaitu maskapai penerbangan dan juga pemerintah selaku regulator.

Mengingat tiket pesawat sudah menjadi konsumsi sekunder bahkan primer bagi sebagian masyarakat di Indonesia, maka Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menerbitkan dua aturan terbaru terkait dengan tarif tiket pesawat. Kedua aturan tersebut yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 tahun 2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 2019.

Aturan tersebut menentukan tarif batas bawah tiket pesawat menjadi 35 persen (sebelumnya 30 persen) dari tarif batas atas. Regulasi ini diharapkan dapat meningkatkan persaingan yang sehat, akan tetapi kebijakan ini dinilai tidak efektif. Karena maskapai akan memainkan harga tiketnya pada batas atasnya sehingga harga tiket paling murah yang ditawarkan malah naik akibat dari praktik kartel.

Solusi Tepat

Pemerintah menargetkan tarif pesawat mengalami penurunan sebelum lebaran, padahal jika mengikuti sistem pasar dengan naiknya demand akan berdampak pada kenaikan harga tiket. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memastikan akan menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat yang diharapkan dapat mengatasi masalah mahalnya tiket pesawat. Keputusan tersebut berdasarkan hasil rapat dengan Menteri Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri BUMN Rini Soemarno dan perwakilan dari Garuda Indonesia.

Menurut Menhub penetapan kebijakan tarif batas atas dilakukan dengan menghitung Harga Pokok (HPP). Apabila menilik lebih jauh lagi mengenai rincian yang menjadi biaya operasional angkutan udara diantaranya faktor pengadaan pesawat, on time performance, harga avtur, nilai tukar dollar AS, lisensi rute, ongkos take off dan mendarat tiap bandara, pemeliharaan, navigasi, dan sejenisnya. Pemerintah memiliki kewenangan dalam menentukan tarif dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat.

memperbaiki fasilitas bandara malahan menaikkan biaya operasional yang berdampak naiknya harga tiket pesawat domestik

Dengan memperhatikan hal tersebut untuk menurunkan harga tiket pesawat domestik pemerintah seharusnya mampu menekan biaya operasional dari perusahaan sehingga menurunkan HPP. Namun, kondisi yang terjadi di lapangan yakni memperbaiki fasilitas  bandara malahan menaikkan biaya operasional yang berdampak naiknya harga tiket pesawat domestik. Dengan kebijakan ini diharapkan dapat menekan harga tiket pesawat secara efektif tanpa mematikan kelangsungan bisnis maskapai perusahaan.

Peran pemerintah dalam menetukan tarif sebenarnya sudah cukup efektif, terlihat dari harga tiket Jakarta-Yogyakarta untuk kelas ekonomi sewaktu lebaran semahal-mahalnya “hanya” Rp 1,5 jutaan. Padahal jika mengikuti demand di pasar harga yang ditawarkan bisa diatas Rp 2 jutaan.

Kebijakan penetapan tarif seharusnya bisa ditekan secara efektif dengan memperhatikan beban penerbangan yang menjadi HPP sehingga tidak mematikan kelangsungan bisnis maskapai perusahaan. Hal itu terjadi karena penetapan batas atas tanpa mempertimbangkan biaya operasionalnya ditakutkan malah membuat maskapai perusahaan semakin merugi. Bahkan ada joke “If you want to be a millionare, be a billionare first and then buy an airline company”.

Penekanan biaya operasional maskapai dapat dikurangi dengan insentif terhadap biaya PPN sebesar 10 persen, seperti yang dilakukan di luar negeri. Selain itu, kesepakatan regulasi antara pihak pengelola bandara dengan maskapai mengenai tarif parkir di bandara bisa dipertimbangkan kembali. Hal ini dikarenakan pesawat reguler rata-rata mengudara selam 8 jam per hari, sedangkan maskapai yang menjual harga tiket murah, dibawah harga pasaran (Air Asia), menekan biaya operasional bandara dengan mengudara 12 jam per hari yang berarti beban penerbangan dari parkir bandara dapat dikurangi.

Penggunaan satu tipe pesawat juga dapat mengurangi biaya operasional sehingga pilot, pramugari, pramugara, dan mekanik hanya membutuhkan satu jenis pelatihan saja. Dengan melihat dan mempertimbangkan berbagai faktor maka perlu kerjasama dari semua pihak, mulai dari kementerian terutama menhub, pihak bandara, dan maskapai juga harus turut andil dalam menurunkan tarif sehingga dapat menyesuaikan harga tiket pesawat domestik dengan daya beli masyarakat agar maskapai tidak merugi dan dapat dijangkau masyarakat.

Muhyafiddin Islam, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara  STAN