Ludruk merupakan salah satu kesenian khas yang berasal dari Jawa Timur. Kesenian ini berbentuk pementasan drama yang menampilkan kegiatan sehari – hari masyarakat Jawa atau membawakan cerita tentang mitos jawa, percintaan dan lainnya.
Namun seiring berkembangnya zaman, keberadaan kesenian ludruk semakin pudar di mata masyarakat. Ia terancam punah. Hal ini menyebabkan kesenian yang seharusnya di lestarikan oleh masyarakat justru berangsur menghilang karena perkembangan zaman.
Ludruk merupakan karya budaya yang bukan sekedar media hiburan tetapi juga kesenian yang menjadi media untuk mencerdaskan masyarakat lewat cerita dan penuturan para pemainnya. Oleh karena itu, keberadaan ludruk harus diupayakan bersama
agar tetap lestari, hidup dan mampu tetap mencerahkan, mencerdaskan masyarakat.
Semula, jumlah grup kesenian jenis ini di Jawa Timur mencapai ratusan. Tapi kini, tinggal puluhan grup ludruk saja yang mampu bertahan. Di antaranya, grup ludruk asal Jember, Jatim yang pemainnya terdiri dari anak-anak. Dalam pergelaran di Jember yang antara lain diberitakan oleh www.liputanenam.com, baru-baru ini, ludruk anak-anak ini disambut gembira para penonton. Banyak pihak berharap berharap kemunculan grup tersebut menjadi tonggak kebangkitan kesenian ludruk.
Menurut penulis, beberapa faktor yang menyebabkan ludruk mulai hilang eksistensinya karena minat masyarakat untuk bermain dalam kesenian ludruk sangat kurang. Tampaknya kondisi itu berkait dengan semua pemeran di kesenian ini berjenis kelamin laki – laki. Seorang laki–laki dalam kesenian ini juga dapat memerankan tokoh sebagai perempuan.
Penyebab lain, cerita yang dibawakan pada pagelaran ludruk tidak se-menarik cerita dalam “sinetron”. Seluruh cerita yang dibawakan dalam pagelaran ludruk tidak lepas dari kehidupan masyarakat Jawa Timur. Mulai dari cerita asal muasal suatu kejadian, mitos yang ada di dalam masyarakat Jawa Timur, percintaan bahkan kegiatan sehari–hari masyarakat Jawa Timur juga yang diangkat dalam pagelaran ludruk.
Tampaknya anak muda Indonesia tidak menyukai hal – hal seperti itu. Mereka lebih memilih cerita yang lebih fresh, lebih baru seperti yang biasa ditayangkan media televisi dan sosial. Inilah juga bentuk dari perkembangan zaman dimana cukup hanya menyaksikan tontonan lewat telepon seluler tanpa harus melakukan pergelaran yang besar.
Yang terakhir durasi dalam pementasan ludruk lumayan lama dan menggunakan bahasa Jawa. Durasi ludruk, tak kurang dari 30 menit dalam satu pementasan memberikan kesan menggiring penonton agar terus mengikuti cerita dan memahami isi cerita yang dibawakan. Tentu hal itu tidak salah, namun durasi yang lama dapat membuat penonton bosan menontonnya.
Orang–orang tua Jawa Timur tidak memasalahkan itu, tetapi para pemuda di Jawa tidak menyukai hal – hal yang masih menggunakan bahasa daerah. Tentu ini merupakan masalah yang serius, karena bahasa daerah menunjukkan kekayaan budaya daerah tersebut. Hal ini lah yang menyebabkan hilangnya kesenian ludruk dari waktu ke waktu.
Mengingat kesenian ludruk punya jasa besar dalam memajukan bangsa dan memberi identitas budaya sebuah wilayah, marilah kita bersama menjaga kebudayaan milik kita yaitu kesenian ludruk agar di Jawa Timur. Penulis berharap selalu ada pergelaran yang diadakan untuk mengedukasi para pemuda terutama di Jawa Timur agar tidak menyepelekan tradisi yang menyampaikan pesan moral baik kepada penontonnya. Menjaga kesenian ini juga merupakan bentuk dari persatuan yang dilakukan masyarakat Jawa Timur agar kesenian ini terus ada dan tidak di akui oleh negara lain.
Satya Adzarnanda Afrizha, mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang
Comments are closed.