Para pelaku usaha di sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) bisa tersenyum sumringah karena Presiden Jokowi telah meluncurkan kebijakan baru terkait UMKM di sektor perpajakan yaitu Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018. PP nomor 23 tahun 2018 ini menggantikan Peraturan Pemerintah sebelumnya yaitu PP nomor 46 tahun 2013.
PP nomor 23 tahun 2018 ini berlaku mulai 1 Juli 2018. Peraturan tersebut mengatur pengenaan PPh final UMKM yang sebelumnya 1 persen dari penghasilan menjadi 0,5 persen dari penghasilan bruto.
Sedangkan untuk batasan penghasilan bruto masih sama yaitu Rp 4,8 Miliar. Kebijakan baru itu tentu disambut baik oleh para pelaku UMKM karena pajak yang harus mereka bayarkan menjadi lebih sedikit dan tentu saja memperbesar keuntungan mereka. Lantas apakah kebijakan ini juga menguntungkan pemerintah?
Tentu saja kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi pemerintah. Dengan adanya penurunan tarif PPh Final UMKM tentu menyebabkan (potential loss) penurunan dalam penerimaan negara yang diperkirakan akan menggerus penerimaan negara sekitar Rp 1,5 triliun.
Namun, menurut penulis, efek tersebut tidak begitu signifikan terasa karena jumlah penerimaan yang hilang tersebut tidaklah besar hanya sekitar satu persen dari total penerimaan pajak.
Dalam jangka pendek mungkin terdapat loss potential, tetapi dalam jangka akan menguntungkan pemerintah seperti meningkatkan kepatuhan perpajakan sehingga basis data perpajakan DJP (Direktorat Jenderal Pajak) semakin kuat terlebih penguatan basis ini akan digunakan dalam program pertukaran data internasional untuk kepentingan perpajakan atau yang dikenal dengan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Setelah basis data diperkuat dan sistem IT Direktorat Jenderal Pajak makin baik maka akan membuat kinerja petugas pajak lebih efektif dan efisien.
Lapangan kerja
Lagipula, dengan adanya penurunan tarif diharapkan masyarakat berbondong-bondong untuk terjun ke dalam UMKM sehingga tidak hanya mengurangi pengangguran, tetapi juga bisa menciptakan lapangan kerja. Perlu diketahui sejak tahun 2013-2017 kontribusi UMKM dalam pembayaran pajak selalu meningkat.
Pada 2013, ada 220 ribu UMKM wajib pajak (WP) yang melakukan pembayaran dan penerima negara sebesar Rp 428 miliar. Kemudian, pada tahun 2014 kembali meningkat menjadi 532 ribu WP dengan penerimaan negara sebesar Rp 2,2 triliun.
Pada 2015, menjadi 780 ribu WP dan penerimaan negara sebesar Rp 3,5 triliun. Selanjutnya, pada 2016 sebanyak 1,45 juta WP dengan penerimaan negara Rp 4,3 triliun. Kemudian pada tahun 2017 ada 1,5 juta WP dan penerimaan negara sebesar Rp 5,8 triliun. Dengan demikian diharapkan semakin banyak lagi pelaku UMKM yang turut serta dalam pembangunan negeri ini.
Dan dengan penurunan tarif dan kemudahan wajib pajak dalam membayar pajak maka diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sehingga mengurangi tax gap. Tax gap merupakan selisih antara jumlah potensi pajak yang dapat dipungut (taxes owed) dengan jumlah realisasi penerimaan pajak (taxes paid). Tax gap menunjukkan potensi penerimaan yang belum berhasil direalisasikan oleh otoritas pajak suatu negara dalam hal ini DJP.
Tujuan menghitung tax gap dimaksudkan agar otoritas pajak mengetahui apakah sudah optimal atau belum pengumpulan pajak dalam kata lain jika kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak sudah baik maka semakin kecil tax gapnya.
Multi efek
Terakhir, dengan adanya kebijakan ini maka diharapkan akan munculnya multiplier efect dalam perekonomian Indonesia. Dengan adanya penurunan tarif maka jumlah penghasilan setelah pajak (net income) tentu menjadi lebih besar. Kelebihan atas penghasilan yang diterima atau didapatkan tentu akan meningkatkan konsumsi atau tabungan (saving) masyarakat.
Apabila masyarakat lebih condong untuk menggunakan kelebihan pendapatan mereka untuk konsumsi maka akan meningkatkan penerimaan pajak juga di sektor lainnya. Sebagai contoh apabila masyarakat lebih condong membelanjakan uangnya untuk konsumsi maka akan meningkatkan pendapatan negara atas pajak pertambahan nilai (PPN).
Namun, apabila masyarakat lebih condong untuk menginvestasikan kelebihan pendapatan mereka ke dalam tabungan atau investasi maka tentu bank akan menurunkan suku bunga. Suku bunga yang rendah akan membuat masyarakat berani untuk meminjam uang di bank untuk usaha seperti kredit usaha rakyat (KUR).
Sebagai warga negara yang baik, sudah sepatutnya kita mendukung dan turut serta dalam memajukan perekonomian negara tercinta ini, salah satunya dengan membayar pajak. Pajak yang dibayarkan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara dan pembangunan ekonomi di daerah.
Moh. Iqbal Fakhrur Rosyid, mahasiswa DIII Akuntansi Alih Program, Politeknik Keuangan Negara STAN