Utang RI, Untung atau Buntung?

0
297

Belum lama ini, tepatnya 2 April 2019 bertempat di gedung Kementerian Keuangan RI, pemerintah baru mengeluarkan Surat Berharga Negara (SBN) yang baru dengan nama “SBR006”. Obligasi tersebut merupakan salah satu instrumen pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka menutupi selisih antara kebutuhan belanja negara yang tidak bisa ditutupi secara menyeluruh dengan penerimaan negara saat ini yang berasal dari pajak maupun bukan pajak.

Berdasarkan data tahun sebelumnya, penerimaan negara hanya memenuhi 83 persen dari kebutuhan belanja. Maka untuk menutupi kekurangan itu pemerintah harus mencari sumber dana lain yaitu berupa utang. Namun apakah utang tersebut benar-benar dibutuhkan?

Seperti diketahui fokus pemerintahan saat ini adalah dalam pembangunan infrastruktur demi terjadinya pemerataan kesejahteraan. Untuk memenuhi target tersebut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Per Februari 2019, total utang Indonesia berada di angka 4.556,26 triliun rupiah. Utang tersebut terdiri dari Rp 790,47 triliun pinjaman luar negeri, Rp 7,13 triliun pinjaman dalam negeri, dan sisanya sebesar Rp 3.775,79 triliun berasal dari Surat Berharga Negara (sumber: Kementerian Keuangan).

Memang bukan jumlah yang sedikit apabila kita melihat mentah-mentah data tersebut. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto, angka tersebut sudah mencapai 30,33 persen dari total produk domestik bruto. Utang tersebut mayoritas digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur yang sedang berjalan. Bagaimana analisis terhadap rasio tersebut?

utang adalah hal yang wajar dalam sebuah pemerintahan, maka sampai saat ini Indoneisa masih berada dalam posisi yang aman

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas pembiayaan adalah maksimal sebesar 60 persen dari produk domestik bruto. Angka 60 persen itu bukanlah angka yang semerta-merta yang dimunculkan dalam undang-undang.

Namun angka tersebut merupakan adopsi dari Maastricht Treaty, perjanjian yang ditandatangani para anggota negara Eropa dalam rangka pembentukan Uni Eropa yang ditandatangani pada 7 Februari 1992.

Perjanjian tersebut mengatur mengenai tingkat inflasi, pengelolaan keuangan pemerintah (defisit tahunan dan utang APBN KITA (Kinerja dan Fakta), nilai tukar serta tingkat suku bunga jangka panjang. Jika mengacu pada hal tersebut, maka posisi utang Indonesia sampai saat ini adalah masih aman.

Ditambah lagi jika melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,17 persen di tahun 2018 (data BPS) menjadi angin segar bagi perekonomian saat ini jika dibandingkan dengan pertumbuhan di tahun 2017 (yoy) sebesar 5,07 persen. Dengan melihat bahwa utang adalah hal yang wajar dalam sebuah pemerintahan, maka sampai saat ini Indoneisa masih berada dalam posisi yang aman.

Ditambah dengan keadaan ekonomi global yang sedang tidak menentu, “perang” ekonomi antara Amerika Serikat dan China juga menjadi salah satu faktor yang menguatkan Indonesia masih berada didalam posisi aman. Oleh karena itu posisi utang Indonesia saat ini didominasi oleh utang dalam negeri berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih minim resiko daripada harus meminjam ke luar negeri.

Rasio Utang Rendah

Dan apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia menjadi negara yang rendah rasio utangnya dengan hanya 30,33 persen dari PDB (prodok domestik bruto). Sebut saja negara tetangga Malaysia yang mempunyai rasio utang 51 persen dari PDB dan Singapura sebesar 110 persen dari PDB.

Pemerintah sekarang juga sedang menerapkan strategi front loading yang mengintensifkan penerbitan SBN pada periode awal untuk meminimalisasi ketidakpastian ekonomi yang akan terjadi di masa mendatang.

Dengan kondisi yang seperti ini, Indonesia masih diuntungkan apabila utang tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan yan bersifat produktif yang akan semakin membuat Indonesia maju ke depannya. Ditambah dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia menjadi salah satu poin penting di dalam pembangungan ekonomi ke depannya.

Bonus demografi tersebut dapat menjadi poin plus apabila ditangani dan dikelola dengan baik dan benar. Sedikit apresiasi rasanya juga kita perlu berikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani yang baru saja dinobatkan menjadi menteri keuangan terbaik se-Asia Pasifik untuk tiga tahun berturut-turut. Semoga dengan pengelolaan keuangan yang sudah baik ini dapat diteruskan dan semakin baik.

Fikri Asyrof Dhia Ulhaq, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN