Liburan ke luar kota atau luar negeri memang menyenangkan. Namun, menjelajah kota tempat tinggal kita juga tak kalah asyik, lho. Seperti halnya aku, yang mengisi hari Minggu-ku dengan menjelajahi Kampung Kauman, Yogyakarta. Nama kampung “Kauman” dapat ditemukan di beberapa kota lain, seperti Solo, Semarang, Pekalongan, dan beberapa lainnya. Kampung Kauman Yogyakarta terletak berdekatan dengan masjid. Hal ini juga berlaku di kota lainnya.
Kauman berasal dari kata “kaum” dan “iman” yang bermakna bahwa para penduduk merupakan sekelompok orang beriman dan memahami agama Islam.
Dulu, lingkungan sekitar Masjid Gedhe Kauman merupakan lahan kosong nan luas. Lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono yang saat itu menjabat sebagai raja pertama Kesultanan Yogyakarta membangun desa dan mengamanahkan masyarakat desa tersebut untuk merawat masjid yang terletak tepat di timur kampungnya. Masjid Gedhe Kauman sendiri dibangun pada tahun 1773 sebagai salah satu elemen catur gatra (tata kelola wilayah keraton).
Kampung yang didominasi oleh gaya arsitektur Portugis ini menyimpan segudang cerita bersejarah mengenai masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru. Dulu, pemukiman ini dikenal sebagai salah satu kampung industri batik di Kota Yogyakarta. Hampir tiap rumah memiliki tanda dalam bahasa Belanda “batik handel”, yang artinya “pedagang batik”.
Batik handel bermakna sebagai perajin batik. Hampir setiap keluarga memproduksi batik pada masa itu. Selain membatik, menjadi abdi dalem (aparat sipil yang bekerja untuk Sultan) juga merupakan mata pencaharian yang mendominasi Kampung Kauman.
Sayang, terjadinya krisis ekonomi dunia yang berlangsung sebelum kemerdekaan Indonesia menyebabkan punahnya tradisi turun temurun tersebut. Bahkan, motif yang diciptakan oleh warga Kauman sudah tak berjejak saat ini. Kemusnahan tersebut disebabkan oleh para generasi penerus yang saat itu merasa perlu mencari penghasilan dari pekerjaan alternatif, seperti pengendara becak, dan lain sebagainya.
Mereka merasa bahwa penghasilan membatik pada saat itu tidak menutup biaya untuk kebutuhan hidup. Re-generasi sudah tak sempat terlintas di pikiran akibat keadaan yang sulit. Selain itu, depresi ekonomi saat itu juga mengakibatkan masyarakat menjual hampir seluruh asetnya, termasuk batik yang merupakan peninggalan generasi sebelumnya
Tak hanya sebagai industri batik, K.H. Ahmad Dahlan juga mengukir sejarah mengenai Muhammadiyah di kampung kelahirannya. Hingga remaja, ia menjajaki Kampung Kauman. Di sinilah Ahmad Dahlan menciptakan organisasi besar Islam tersebut. Daerah ini juga sempat ditinggali oleh beberapa tokoh Muhammadiyah, seperti Amien Rais hingga mantan presiden Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid dan Soeharto.
Saat mengunjungi permukiman bersejarah ini, kita tidak diperkenankan menyalakan mesin kendaraan. Para penduduk biasanya mendorong sepeda motornya hingga mencapai daerah luar Kampung Kauman. Selain untuk menghormati para pengguna jalan, menyalakan mesin kendaraan juga dapat mengganggu ketenangan.
Rachmy Austin Wahyuningtyas
Comments are closed.