Menengok Ekosistem Musik Indonesia bersama Cre.Act.Tive

0
302

Himpunan Mahasiswa Manajemen Universitas Multimedia Nusantara (HIMMA UMN) membuka rangkaian acara tahunannya, Euforia 2019, dengan mengadakan Cre.Act.Tive, yaitu seminar dan temu wicara yang mengangkat tema “How to Survive at Creative Industry with Digital Technology”, pada Jum’at (15/3/2019) di Lecture Theatre, Gd. P.K. Ojong – Jakob Oetama, UMN.

Bekerja sama dengan salah satu situs crowdfunding musik Kolase.com, Cre.Act.Tive. mengundang drummer Elephant Kind Bayu Adisapoetra, CEO Kolase.com Raden Maulana, dan Label Manager Believe Digital for Indonesia Noor Kamil, untuk berbincang mengenai ekosistem musik Indonesia yang kini tumbuh berbarengan dengan kemajuan digital.

Menanggapi kehadiran teknologi digital di tengah industri musik Indonesia, ketiga narasumber sepakat bahwa hal tersebut membuat segala proses dalam dunia permusikan menjadi lebih efektif dan efisien. Khususnya Bayu, yang bermain di dalam band independen, merasa bahwa Elephant Kind tumbuh di era yang tepat. Bantuan tenaga digital membuat bandnya lebih mudah ditemui khalayak, terlepas tidak berada di bawah naungan label apapun.

Bayu Adisapoetra dalam Cre.Act.Tive pada Jum’at (15/03/2019) di Lecture Theatre, Gd. P.K. Ojong – Jakob Oetama, UMN. Foto: Kompas Corner UMN / Julando Omar

“Kita besar di era digital, kita tidak melakukan cara konvensional. Karena menurut kita, sekarang dengan adanya digital, discovery orang terhadap satu band itu lebih mudah. Lo sekarang liat Spotify, albumnya Elephant Kind yang baru sudah rilis. Mungkin kalau sepuluh tahun yang lalu pada nanya, ‘Bang, link download-nya di mana?’” jelas Bayu.

Teknologi digital memang dirasa menguntungkan dalam industri kreatif, khususnya industri musik terkait distribusi dan promosi konten. Namun, hal itu tidak menutup peluang bagi pelaku musik untuk terbebas dari masalah di industri kreatif. Menurut Raden, masalah yang masih sering ditemui di kalangan pelaku musik adalah tidak cukupnya dana untuk berkarya.

Raden Maulana sebagai narasumber dalam seminar dan temu wicara Cre.Act.Tive. pada Jum’at (15/03/2019) di Lecture Theatre, Gd. P.K. Ojong – Jakob Oetama, UMN. Foto: Kompas Corner UMN / Julando Omar

Solusi yang ia tawarkan untuk masalah berkaitan dengan teknologi digital adalah kolaborasi. “Kalau kita lihat dari band tersendiri, saat ini baiknya adalah, ikrar sebuah sesuatu, apapun bentuknya itu harus berkolaborasi. Contohnya, integrasi vertikal promotor konser, musisi, perusahaan musik itu bergabung dengan platform technical innovation, yang di mana mereka juga bisa menjadikan sebagai label services,” papar Raden mengenai salah satu bentuk kolaborasi yang bisa dilakukan.

Kemudahan penikmat musik untuk menemukan banyak band-band baru dengan kualitasnya masing-masing, menurut Bayu adalah salah satu pendorong agar setiap band memiliki daya tariknya tersendiri.

“Di era digital, dengan semuanya semakin mudah, downside-nya itu adalah semakin banyak pilihan. Dalam arti kata semakin banyak pengguna tahu, semakin banyak akses untuk mendapatkan band yang mereka suka, dan pada akhirnya band-band harus punya cara sendiri untuk stands out dibandingkan band-band yang ada,” sambung Bayu lagi.

Noor Kamil sebagai narasumber dalam seminar dan temu wicara Cre.Act.Tive. pada Jum’at (15/03/2019) di Lecture Theatre, Gd. P.K. Ojong – Jakob Oetama, UMN. Foto: Kompas Corner UMN / Julando Omar

Hal lain yang tak luput dari bahasan adalah seberapa berpengaruh kemajuan digital terhadap jumlah pemasukan kepada pelaku musik, yang menurut Noor Kamil belum memuaskan. Namun, dalam pandangannya, worth seorang musisi atau suatu band jangan melulu dilihat dari pemasukan semata.

“Untuk beberapa musisi sudah mendapatkan hasil yang sangat luar biasa sih dari digital itu sendiri. Tapi harusnya jangan dilihat dari revenue saja. Karena itu kan juga akses untuk orang mendengarkan, si discovery itu. Dari situ kan EO mendengarkan, fans-fans tambah banyak dari situ, dan itu akhirnya berhubungan juga dengan jadwal manggung,” kata Noor Kamil.

Salah satu tips yang disampaikan kepada audiens yang berminat untuk menjajal peruntungannya di industri kreatif pada era digital jug disampaikan oleh Noor Kamil. “Content is the king and distribution is the queen (konten adalah raja dan distribusi adalah ratu), dan (termasuk) itu adalah konsistensi rilis konten,” tutup Noor Kamil.

PENULIS: Kompas Corner UMN / Meiska Irena Pramudhita

FOTOGRAFER: Kompas Corner UMN / Julando Omar