Beberapa masalah intoleransi belakangan ini sering mencuat di Indonesia baik pada religi, etnis, maupun ras. Adanya intoleransi ini dapat mengakibatkan noda pada keberagaman dan merusak demokrasi Tanah Air. Jika kita telaah lebih dalam, makna kata toleransi yaitu suatu sikap yang saling menghargai dan menghormati suatu perbedaan antar kelompok maupun individu dalam masyarakat.
Timbulnya sikap toleransi ini menghindari terjadinya diskriminasi. Sikap toleransi ini semakin penting ditengah berkecamuknya sikap intoleransi seperti diskriminasi dan aksi kekerasan terhadap suatu golongan.
Dalam upacara Unan–unan, toleransi tidak hanya berlaku untuk agama saja tetapi juga berlaku pada jenis etnis
Cerminan sikap toleransi dapat kita lihat pada masyarakat adat Tengger tepatnya di Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Desa yang terdiri dari berbagai pemeluk agama seperti Islam, Kristen dan Hindu lantas tidak menjadikan desa ini menjadi sumber perselisihan. Toleransi terbangun dari berbagai aspek diantaranya yang akan dibahas saat ini melalui upacara adat Unan-unan yang masih rutin dilaksanakan setiap lima tahun sekali oleh warga desa setempat.
Salah satu contoh simbol toleransi yang terjadi pada masyarakat Tengger yaitu adanya pancawarna dalam umbul-umbul yang melambangkan lima agama yang berada di Indonesia. Simbol tersebut menjadi bukti konkret adanya toleransi beragama dalam masyarakat Tengger khususnya di Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo.
Istilah kata Unan-Unan berasal dari kata Bahasa Jawa kuno yaitu una yang berarti kurang. Sehingga Unan-Unan sendiri memiliki makna yaitu mengurangi. Maksud dari mengurangi disini adalah mengurangi perhitungan bulan dalam satu tahun pada waktu jatuh tahun panjang (tahun Landhung).
Dalam upacara Unan–unan toleransi tidak hanya berlaku untuk agama saja tetapi juga berlaku pada etnis. Hal tersebut dibuktikan pada saat Upacara Unan-Unan, tamu yang diundang bukan hanya berasal dari masyarakat setempat melainkan berasal dari beberapa suku. Salah satu tamu yang berasal dari luar adalah Suku Dayak.
Secara umum Upacara Unan–unan merupakan kegiatan ritual untuk mengadakan penyucian bersih desa, yaitu membebaskan desa dari gangguan makhluk halus (bhutakala) atau sebagai tolak bala. Lebih luas lagi upacara ini bukan hanya untuk membebaskan desa tersebut saja, tetapi untuk seluruh makhluk di muka bumi ini.
Disamping itu Upacara Unan–Unan pun digunakan untuk permohonan penyucian terhindar dari segala penyakit dan penderitaan, serta terbebas dari segala malapetaka. Selain bagi orang – orang yang masih hidup, upacara ini juga untuk arwah nenek moyang atau leluhur. Upacara ini selain fungsinya sebagai penyucian juga merupakan bentuk perawatan bumi, sedekah bumi dan sebagai upacara penolak bumi.
Bagi masyarakat Tengger, daun pisang memiliki makna filosofis melambangkan suatu keikhlasan yang luar biasa
Sehari sebelum acara puncak Upacara Unan-Unan dilakukan kegiatan yang dinamakan pangersyian dan medodo. Pangersyian dan mendodo dipimpin oleh dukun bertujuan membersihkan jagat agung jagat alit makro kosmos mikro kosmos (manusia dan semesta) dan juga skala niskala (segala fisik dan psikis). Dalam proses ini para sesepuh dan para tokoh desa ikut dalam ritual tersebut. Pada sore hari kerabat dukun dan tokoh pemuda menyiiapkan sesajen berupa kerbau untuk dibawa ke pura saat upacara hari-H Upacara Unan–unan.
Kerbau di percaya masyarakat Tengger sebagai lambang kemakmuran. Mereka mempercayai bahwa kerbau sebagai tekhnologi yang diciptakan oleh para leluhur sebagai penyeimbang energi alam. Bagian dari kerbau yang digunakan untuk sesajen antara lain kulit, kepala, ekor, dan sebagian kecil daging kerbau tersebut. Sisa dari daging yang lainnya diberikan kepada warga.
Rangkaian bunga merupakan salah satu sesajen lain yang harus disiapkan. Fungsi dari rangkaian bunga tersebut untuk memuculkan energi positif bagi masyarakat Tengger. Jumlah rangkaian bunga sebanyak 44 pasang. Diantaranya adalah bunga kenikir, bunga tanah layu (edelweiss) dan daun putian. Selain kerbau dan rangkaian bunga sesajen lainnya yaitu kelapa tanduk yang berfungsi seagai hiasan untuk mengharapkan suatu keindahan. Selanjutnya di dalam sesajen tersebut ada daun pisang. Bagi masyarakat Tengger, daun pisang memiliki makna filosofis melambangkan suatu keikhlasan yang luar biasa.
Sesajen lainnya yaitu dupa untuk memunculkan energi harum pada sesajen. Peletakan sebuah dupa dilakukan oleh pemangku yang membacakan mantra sebagai syarat utama. Dalam Upacara Unan–unan selain memasang umbul-umbul di setiap rumah juga dipasang janur atau masyarakat sekitar biasa menyebutnya dengan penjor.
Pada Upacara Unan–Unan ini ritual berlangsung megah dan melibatkan banyak massa. Kegiatan ini terselenggara dari uang yang dikeluarkan bersama dengan berpatungan sebesar Rp 500.000 per kepala keluarga. Seluruh masyarakat Desa Ngadisari turut dilibatkan, tidak hanya pemangku–pemangku adat saja. Kepanitiaan pada upacara adat ini tidak terdapat kriteria. Kesamaan agama dan etnis tidak menjadi patokan dalam berkontribusi pada upacara ini.
Tidak semua orang bisa ikut pada kepanitian karena ada beberapa panitia yang ditunjuk langsung oleh dukun dengan pertimbangan yaitu mampu dan sukses dalam menangani upacara ini menurut Dukun Pandita. Selebihnya selama proses upacara adat Unan–Unan ini semua masyarakat saling bergotong-royong untuk melaksanakan kegiatan ini.
Upacara Unan–Unan terbuka untuk umum. Orang–orang yang bukan dari Tengger atau pendatang bisa mengikuti upacara adat ini, tetapi tidak bisa bergabung menjadi anggota panitia. Jika kita membicarakan Tengger sebagai contoh dari toleransi antar masyarakat nya maka memang benar adanya, contoh kecilnya dari Upacara Adat Unan–unan tersebut yang mencerminkan sebuah toleransi.
Contoh lain adalah masyarakat Desa Wontoro, desa yang dekat dengan Desa Ngadisari adalah mayoritas islam. Dalam perayaan hari ritual seperti Idul Fitri, masyarakat Desa Ngadisari akan berkunjung untuk bersilaturahim walaupun bukan penganut agama islam. Selain itu, di wilayah ini tidak membedakan kuburan berdasarkan agama. Baik islam maupun hindu dimakamkan di tempat yang sama.
Kiwigapawa Huria, mahasiswa Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran Bandung
Comments are closed.