Humanifesta : Peran Seni Dalam Meningkatkan Nasionalisme

0
1383

Tepat pada 28 Oktober 2018, Plaza PPAG Universtias Katolik Parahyangan Bandung dipenuhi orang yang hendak merayakan Sumpah Pemuda dalam acara “Humanifesta”. Sejak sore hingga malam hari itu kebetulan hujan turun.

Titik lokasi pun semakin ramai karena banyak orang berteduh di bawah tenda yang disediakan. Walaupun angin berhembus kencang dan membuat raga terasa dingin, namun nuansa panggung dan tata cahaya yang didominasi oleh warna cokelat-putih membuat suasana hati tetap hangat. Acara tersebut diisi oleh berbagai macam penampilan seni, dari mulai pembacaan puisi, tarian dan nyanyian tradisional, hingga musik kontemporer.

Sumpah pemuda kali ini sangatlah berkesan terutama di hati hadirin. Mereka diajak untuk merealisasikan persatuan Indonesia sebagai perwujudan semangat nasionalisme dengan cara yang lebih menarik dan mudah diterima, yakni dengan seni.

Puisi yang dibacakan Kang Acep Zamzam Noor, menyadarkan kita bahwa dewasa ini bangsa Indonesia dihadapkan oleh realita keberagaman yang justru menjadi alasan untuk perpecahan. Fenomena tersebut terasa semakin konyol karena terjadi di Indonesia dimana keberagaman adalah identitas bangsa yang seharusnya tidak dikhianati.

menyakitkan karena upaya memecah belah itu  dipakai untuk memuaskan keegoisan segelintir partai politik yang belum tentu memikirkan rakyat

Saat awal Sumpah Pemuda dipekikkan dari Sabang hingga Merauke, kita semua sudah sepakat untuk memiliki tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu, yakni Indonesia. Oleh sebab itu,  apabila hingga kini upaya memecah belah bangsa karena perbedaan ras, agama, dan ideologi politik masih berlangsung, dapat dikatakan bangsa ini terluka. Semakin menyakitkan karena upaya memecah belah itu  dipakai untuk memuaskan keegoisan segelintir partai politik yang belum tentu memikirkan rakyat sepenuhnya.

Jika sejarah dan nilai-nilai idealistis yang diciptakan oleh bapak bangsa tidak cukup untuk membuat masyarakat Indonesia bersatu, maka disinilah kita membutuhkan cara baru untuk menjaga persatuan di dalam keberagaman tersebut. Humanifesta telah menyadarkan betapa seni dapat menjadi sarana baru untuk menyatukan kita semua.

Hal ini tercermin dari setiap performa yang disuguhkan, baik yang bersifat tradisional hingga kontemporer mampu membuat kita tetap tenggelam di dalam keceriaannya. Setiap nada, gerakan, kata-kata indah nan bijak, desain panggung serta kostum-kostum dengan warna yang memanjakan mata telah berhasil membuat kita lupa mengenai perbedaan yang dimiliki.  Buktinya, di penghujung pertunjukkan seluruh penonton bernyanyi, menari, dan terbawa asik bersama-sama tidak peduli tarian atau nyanyian tersebut dari daerah mana, genre/alirannya, bahasanya, jabatan/status/profesi kita, ataupun faktor pembeda lain yang sebenarnya tidak penting untuk dipermasalahkan.

Seni ialah pendobrak setiap batas-batas yang dibuat oleh manusia. Seni menjadi pengingat bahwa di dalam keberagaman, kita kaya dan tanpanya kita bukan Indonesia.

Dengan demikian, terbukti sudah keindahan serta kekuatan seni yang dikemas secara matang mampu menyentuh batin dan sanubari manusia sehingga berhasil menyatu-padukan kita. Walaupun sebenarnya seni mengandung keunikan masing-masing yang beragam, tetapi ketika ditampilkan selalu menghasilkan satu rasa di hati masyarakat, yakni rasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena memiliki warisan budaya dan aliran seni yang kaya.

Seni ialah pendobrak setiap batas-batas yang dibuat oleh manusia. Seni menjadi pengingat bahwa di dalam keberagaman, kita kaya dan tanpanya kita bukan Indonesia. Seni mampu memerangi musuh utama bangsa ini yakni perpecahan dan oleh karenanya luka bangsa dipulihkan. Jadi sekarang, jika memang rakyat Indonesia memilih untuk berpecah sebagai bangsa, apakah kita sanggup untuk kehilangan keberagaman nusantara yang merupakan kekayaan dan kebanggaan kita selama ini? Menurut saya, kita sepakat untuk berkata tidak.

Lidwina Putri