Candrawala: Cairnya Arena Eksperimentasi Sinema Indonesia

0
283

 

Dengan kehadiran teknologi canggih seperti telepon pintar dan ruang media sosial, kita berada di sebuah arena produksi audiovisual yang meluas; menjadi tidak hanya sekadar merekam dan ditonton, tapi juga mempertontonkan diri. Dalam generasi digital ini pula, subjek pembuat konten audiovisual tidak hanya bertujuan untuk sekadar menangkap realitas lewat medium kamera, tapi juga ada dorongan untuk berbagi dan hendak menyampaikan sesuatu. Katakanlah, seperti halnya ada ruang Instagram Story atau Snapchat, menjadi ruang bagi kita untuk berbagi kehidupan sehari-hari. Hal ini pula yang akhirnya juga meluas dalam konsep pembuatan sinema Indonesia, yang membawa gestur dan wacana teknologis kekinian ini, menjadikan aktivitas merekam, ditonton, dan mempertontonkan diri menjadi seolah tanpa sekat dan benar-benar terhubung.

Gestur teknologis kekinian dalam sinema Indonesia ini diperdalam dan disajikan dalam sebuah program kuratorial Candrawala: A Local Landscape of Now yang menjadi bagian dari ARKIPEL homoludens: 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival yang diselenggarakan di GoetheHaus, Goethe Institut Indonesien, Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa, 13 Agustus 2018, pukul 19.00 WIB. Adapun program Candrawala telah ketiga kalinya dilaksanakan di ARKIPEL , yaitu sejak ARKIPEL social/kapital.

Dalam kuratorial Candrawala ini, Anggraeni Widhiasih dan Dhuha Ramadhani selaku kurator telah memilih enam film buatan sutradara Indonesia, dari total 48 total film yang diseleksi. Hal yang cukup menarik adalah, lima dari enam film yang terpilih ini dibuat oleh para mahasiswa jurusan perfilman. Adapun judul film yang diputar dalam program Candrawala ini adalah Kakak Mau Beli Tisu? karya Batara A. Pekerti dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ); lalu terdapat tiga judul film garapan mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara  (UMN) yakni Ojek Lusi karya Winner Wijaya, Lahir di Darat, Besar di Laut karya Steven Vicky Sumbodo,dan Rimba Kini karya Wisnu Dewa Broto; film kelima berjudul What’s Wrong with My Film karya Roberto Rosendy dari Institut Seni Budaya Indonesia Bandung (ISBI); dan film keenam berjudul Kasihan karya Muhammad Reza adalah garapan bersama komunitas film yang diikutinya.

Film Kakak Mau Beli Tisu? Yang berdurasi 14 menit ini merupakan sebuah film yang tidak disangka akan menjadi sebuah film horor. Mengisahkan sekumpulan anak-anak penjual tisu yang mengejar seorang perempuan untuk membeli tisu mereka, film ini menyuguhkan cerita yang surealis tentang kemiskinan yang mencekam. Didahului dengan saling iri karena seorang tisu yang dijual salah seorang anak dibeli oleh seorang perempuan, maka anak-anak lain juga memaksa  agar tisunya juga dibeli, merongrong dan meneror tanpa henti dalam kemiskinan yang menghimpit mereka. Tapi kemudian, tak jelas apakah pengalaman itu nyata atau hanya halusinasi si perempuan.

Film Ojek Lusi berdurasi 18 menit menguyuhkan potret lain dari para korban Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, yang rumah dan kampung mereka harus terendam lumpur tanpa ada solusi yang jelas dari Pemerintah. Winner selaku sutradara secara gamblang hendak menunjukkan bagaimana warga korban Lusi (Lumpur Sidoarjo) memiliki kehidupan yang normal seperti warga biasa. Mereka tidak meratap dan mereka berusaha mencari nafkah secara unik dari fenomena semburan lumpur, seperti menjual DVD bajakan rekaman semburan lumpur dan ngojek untuk mengantarkan wisatawan berkeliling di hamparan luas area semburan lumpur.

Steven Sumbodo selaku sutradara film Lahir di Darat, Besar di Laut berdurasi 17 menit membuat sebuah eksperimentasi produksi sinemanya melalui narasi. Dalam film ini, kita sebagai penonton akan dipandu dengan narasi spontan dari anak nelayan yang menujukkan hal-hal unik yang ditemui di kapal nelayan milik ayahnya, seperti memperkenalkan kru kapal, hingga menjelaskan aktivitas penangkapan ikan, menjadikan si anak nelayan ini seolah-olah bicara dengan penonton dengan ungkapan-ungkapan polosnya. Selain itu, film ini juga memberikan ruang kepada kapten Kapal yang awalnya ditonton, akhirnya mempertontonkan diri dengan menjadi narator tunggal berbagi cerita seluk-beluk bisnisnya yang sedang sepi, bercerita tentang kru kapalnya, dan hal-hal lain yang menyuarakan tentang dirinya.

Film Kasihan yang berdurasi 7 menit memiliki nuansa film era 1970-an sampai 2000-an dengan dubbing suara yang unik. Mengambil tema soal kondisi perekonomian yang penuh kesenjangan, Reza selaku sutradara membungkus peliknya relasi ekonomi di perkotaan dengan lagu-lagu musikal ala film jadul. Eksperimentasi sinema tampak dari sinkronisasi gerakan bibir aktor dan dubbing yang seringkali tidak pas, potongan-potongan gambar yang terlihat kaku, yang menjadi sebuah hal yang unik dan menyenangkan untuk ditonton, sambil bernostalgia mendengarkan kolase audio dari film lawas.

Film What’s Wrong with My Film yang berdurasi 6,5 menit secara tidak langsung menyentil dan menyindir Lembaga Sensor Indonesia yang kerap membuat sensor yang sebenarnya tidak diperlukan. Roberto dengan usilnya membuat adegan pertengkaran ala film koboy, di mana ada kata-kata kasar yang disensor dan menjadikannya tidak bersuara, gambar rokok diblur serta adegan ciuman dipotong dengan kakunya. Roberto hendak menunjukkan betapa film menjadi tidak begitu menyenangkan untuk ditonton, atau bahkan ada pesan yang tidak bisa disampaikan dengan jelas, karena ada terlalu banyak sensor yang sebenarnya tidak perlu. Pada adegan penutup, tiga pemuda yang menonton film koboy itu pun terlihat bingung dan heran dengan film yang mereka tonton.

Film terakhir, berjudul Rimba Kini, menguyuhkan aktivitas dua anak Suku Anak Dalam, Jambi, bernama Baasung dan Besangot yang sedang menakik getah karet dari pohon. Dalam film ini, terdapat aktivitas bergilir antara Wisnu dan Besangot dalam pengambilan gambar, di mana Besangot juga mendapatkan kesempatan untuk memegang kamera, untuk mengambil gambar Wisnu yang sedang mencoba menakik getah karet. Alat produksi sinema berupa kamera kecil yang praktis seperti ini, terlihat dapat menjadikan eksperimentasi sinema meluas. Perpidahan kamera dari tangan Wisnu ke tangan, menjadikan Wisnu yang awalnya merekam untuk kemudian menjadi tontonan. Begitu pula yang terjadi pada Besangot ketika kamera kembali pada tangan Wisnu.

Menanggapi enam film yang dikurasinya bersama Dhuha, Anggraeni menyampaikan bahwa ranah eksprimentasi sinema Indonesia dapat pula dibaca pada kejelian sutradara merespon lokasi dan interaksi saat pembuat film untuk kemudian menjadi bagian dalam film yang dibuatnya. Perihal seperti memasukkan perpindahan kamera antara pembuat film dan subjek narasinya ataupun penyertaan narasi spontan dari anak kecil menjadi narator dalam film kemudian dapat dibaca sebagai sebuah eksplorasi yang memungkinkan adanya potensi berbicara balik, baik dari subjek yang direkam atau dari penonton. Dalam kerangka Candrawala, hal ini pun agaknya dapat dibaca sebagai aspek yang menjadikan eksplorasi artistik sinema semakin luas dan beragam.