Milisifilem: Sebuah Eksplorasi Metode Pembelajaran Film

0
423

Suasana GoetheHaus, Goethe-Institut Indonesien, Jakarta, petang itu cukup ramai. Beberapa pengunjung tampak berlalu lalang sambil sesekali melihat-lihat poster-poster film yang akan ditayangkan oleh— 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2018. Hari itu, Sabtu, 11 Agustus 2018, pada pukul 19.00, akan dilaksanakan pemutaran 5 film dari Proyek Hitam-Putih Milisifilem. Milisifilem merupakan sebuah program baru yang diinisiasi oleh Forum Lenteng, yang diharapkan mampu menjadi ruang belajar tentang filem dengan metode eksperimentasi visual. Setelah beberapa saat, gong tanda acara akan dimulai pun dibunyikan. Para pengunjung mulai memenuhi ruangan. Jumlah penonton saat itu cukup ramai, sekitar 58 orang.

Hafiz Rancajale, Direktur Artistik ARKIPEL sekaligus fasilitator dari program Milisifilem, membuka acara malam itu. Bersama Anggraeni Widhiasih sebagai pengalihbahasa, ia menyatakan bahwa acara malam itu bersifat monumental karena menjadi acara publik perdana bagi Milisifilem. Kegelisahan akan adanya kekurangan dalam proses dan metode pengenalan film kepada generasi milenial yang seharusnya dimulai dari hal dasar menjadi faktor lahirnya program Milisifilem. Bersama dengan Otty Widasari, ia pun menjadi fasilitator dalam mengajarkan sekaligus menuntun Milisifilem Angkatan Pertama, hingga akhirnya dapat memproduksi film secara utuh. Milisifilem Angkatan Pertama ditempa selama satu tahun lamanya di Forum Lenteng tanpa adanya pungutan biaya apapun. Para partisipan membayar hanya dengan waktunya untuk membuat karya. Dengan jumlah partisipan sebanyak 15 orang, mereka kemudian terbagi ke dalam 5 kelompok. Selain itu, Hafiz menegaskan bahwa tidak ada batasan tentang genre untuk setiap film yang diproduksi oleh anggota Milisifilem yang akan ditampilkan malam itu. Yang menjadi benang merah di antara kelima film adalah warna hitam dan putih. Maka dari itu pula, proyek Milisifilem Angkatan Pertama ini diberi tajuk “Proyek Hitam-Putih”.

Film pertama yang diputar adalah Into The Dark. Film garapan Dhuha Ramadhani, Maria Christina dan Luthfan Nur Rochman itu bercerita tentang proses penculikan seorang aktivis dan petani muda yang terlibat dalam konflik agraria. Setelah itu,ditayangkanlah film Cut karya Dhanurendra Pandji, Robby Ocktavian dan Theresia Farah Umaratih yang menggambarkan kisah manis antara seorang projeksionis film bioskop dan pacarnya. Karib, film ketiga yang berasal dari Afrian Purnama, Anggraeni Widhiasih dan Yuki Aditya, berkisah tentang kehidupan dua orang sahabat yang ditinggal mati sahabat mereka. Ada tawaran visual baru dari film yang keempat. Film karya Dini Adanurani, Mia Aulia dan Wahyu Budiman Dasta yang berjudul Aksi Reaksi ini menampilkan gambar bergerak dengan teknik kolase dan ilustrasi  yang banyak menampilkan cuplikan film-film jadul dari Warkop DKI dalam bentuk yang sudah berbeda. Entitas tokoh yang berguling menjadi karakter utama di dalam film ini. Terakhir, Pagi yang Sungsang, garapan Manshur Zikri, Pingkan Polla dan Prashasti Wilujeng Putri, berusaha mengeksplorasi kehidupan di pasar pada pagi hari, dengan menitikberatkan pada interaksi antara pedagang pasar, petugas kebersihan dan mesin-mesin (seperti traktor sampah dan gerobak sampah) yang ada di sana. Film ini pun menjadi penutup dari acara hari itu.

Seluruh tim Milisifilem Angkatan Pertama maju ke atas panggung setelah seluruh film selesai diputar. Sesi pertanyaan pun dibuka. Pertanyaan pertama datang dari Dian yang menunjukkan ketertarikannya terhadap proses produksi dan interaksi yang terjadi di dalam film Pagi yang Sungsang. Manshur Zikri, salah satu realisator film, menjelaskan bahwa proses produksi film telah lama dimulai sejak sebelum proses pengambilan gambar dilakukan. Dalam proses belajar di Milisifilem, mereka secara aktif mulai melakukan pendekatan dan berinteraksi dengan entitas yang ada di pasar (Pasar Minggu) dan mencoba memvisualisasikan keadaan sekitarnya tanpa kamera sama sekali secara intens mulai pagi hingga malam. Mereka justru menggunakan metode sketsa secara manual dengan kertas, bolpen maupun charcoal. Zikri menambahkan bahwa meskipun telah akrab dengan orang-orang di pasar, mereka tetap secara formal mengurus perizinan di pasar untuk melakukan pengambilan gambar.

Helen Petts, yang juga duduk di kursi penonton, kemudian ikut bertanya soal bagaimana proses pengambilan gambar dilakukan jika film dilakukan secara kolektif. Anggraeni menjelaskan bahwa hal tersebut bergantung pada kesepakatan tiap tim, di mana terkadang mereka secara bergantian melakukan proses pengambilan gambar. Tak hanya proses pengambilan gambar, segala proses produksi film termasuk proses pengeditan gambar pun diakui juga dilakukan secara mandiri oleh tim, namun tetap bersama-sama. Sehingga sulit membedakan siapa yang melakukan apa karena pada dasarnya semua dikerjakan bersama. Robby menambahkan bahwa dengan adanya proses belajar visual yang dilakukan di Milisifilem sebelumnya, maka ekspresi visual yang dimiliki oleh satu sama lain tidak jauh berbeda. Hal ini menurutnya mempermudah penyatuan gagasan visual. Zikri lalu berkata bahwa jika ditarik lebih jauh lagi, kultur bekerja secara kolektif memang telah diterapkan sejak lama oleh Forum Lenteng sejak tahun 2008, misalnya dalam produksi video AKUMASSA di mana program pemberdayaan komunitas dilakukan melalui media komunikasi dan dilakukan secara kolektif.

Panji dari Infoscreening sebagai penanya ketiga menyinggung soal keputusan menggunakan nama asli di dalam film Cut dan keterkaitan antar karakter dengan pengalaman asli realisator. Upaya mencari sesuatu yang dekat dan lekat dengan kehidupan nyata diakui Dhanurendra, salah satu realisator film, sebagai dasar pemilihan ide untuk filmnya. Dhanurendra, yang rupanya memang berprofesi sebagai projeksionis film, merasa tak terlalu perlu untuk mengubah nama karakter. Penanya terakhir, Viren, menyinggung soal kurangnya konteks (misalnya dalam bentuk wawancara) dengan orang-orang sekitar pasar dalam film Pagi yang Sungsang. Prashasti, sebagai salah satu realisator film tersebut, menjawab bahwa kontes film ini justru muncul ketika melihat ‘dialog’ antara berbagai mesin kemodernan di lokasi dan bagaimana kemodernan itu gagal. Pingkan, yang juga realisator film tersebut, menambahkan bahwa pada dasarnya penonton bebas dalam mengintrepretasikan karyanya tersebut. Ia dan timnya percaya dengan kekuatan visual yang ditampilkan dalam film, sehingga merasa belum perlu untuk menambahkan narasi teks atau wawancara ke dalam film.

Imam, pengunjung setia festival film yang juga mendatangi acara malam itu, mengatakan bahwa ia merasa sangat terhibur dengan film-film yang ditawarkan oleh Milisifilem malam itu. Secara teknis dan isi cerita, ia mengaku cukup takjub dengan hasil-hasil produksi film untuk ukuran film perdana. Ia, secara khusus, menyukai dan merasa sangat familiar dengan film Pagi yang Sungsang. Sebagai warga di sekitar pasar yang menjadi lokasi objek dalam film, ia dapat memahami proses interaksi yang terjadi antara manusia dan mesin. Ia pun berharap ke depannya Milisifilem dapat secara konsisten melakukan tradisi pengajaran film yang inovatif dan menghadirkan film-film baru yang lebih ciamik.