Pelajar Kota Tomohon Belajar Tari Maengket dan Kabasaran

0
970

Pemandangan berbeda terjadi pada pertengahan Juli lalu di Sekolah Dasar GMIM V Tomohon, Sulawesi Utara. Tidak semua siswa di sekolah itu melaksanakan kegiatan belajar di kelas. Ternyata hal itu merupakan arahan dari kepala sekolah kepada para siswa-siswi yang tergabung dalam grup kesenian tari Maengket untuk mematangkan penampilannya. Mereka berkesempatan mengikuti perayaan suatu kolom gereja dan mengikuti kompetisi tari Maengket se kota Tomohon.

Dua belas pasang penari laki-laki dan perempuan, seorang pemimpin atau kapel, dan lima pemain alat musik tradisional Minahasa berlatih menampilkan tari Maengket di bawah arahan Felix Lalawi.

Menurut Felix, tari Maengket merupakan garapan baru hasil adaptasi dari tari Ma’zani. Tari Maengket memiliki gerakan yang lebih kompleks dan memiliki sistem pergantian formasi penari. Namun, serupa dengan tari Ma’zani, tari Maengket juga terdiri dari beberapa babak.

Rasa syukur 

Babak pertama atau Maowei Kamberu  bercerita tentang pengucapan rasa syukur atas kelimpahan hasil panen. Babak kedua atau Marambak yang menggambarkan kebahagiaan “naik rumah”. Istilah naik rumah merujuk pada pengertian memiliki atau mendirikan rumah baru, karena rumah panggung atau rumah adat Minahasa memiliki ketinggian lebih dari 100 sentimeter dari permukaan tanah

Babak terakhir atau Lalaya’en menceritakan kisah pergaulan muda-mudi. Namun, untuk  siswa tingkat sekolah dasar materi tentang babak terakhir itu tak diajarkan, sehingga mereka tak disertakan dalam bagian Lalaya’en tadi. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan, usia anak sekolah dasar belum perlu menarikan babak tersebut.

Kostum dan aksesoris yang digunakan pada tari Maengket cukup sederhana namun tetap elok. Penari pria cukup mengenakan baju adat Minahasa beserta ikat kepala dan sabuk di pinggang. Sedangkan, penari wanita mengenakan kebaya dan kain batik. Untuk hiasan di kepala, mereka menggunakan konde pingkan di bagian belakang sebelah kiri dan kanan serta dilengkapi dengan aksesoris imitasi berbentuk bunga mawar.

“Sapu tangan berwarna merah dan putih itu sejatinya merupakan simbol nasionalisme orang Minahasa sebagai bagian dari Indonesia”, ujar Felix.

Satu hal yang tak boleh dilewatkan adalah keberadaan sapu tangan yang diikat di jari kelingking kanan setiap penari. Penari pria menggunakan sapu tangan merah dan penari wanita menggunakan sapu tangan putih.

Khusus bagi pemimpin atau kapel, sapu tangan merah diikatkan di jari kelingking sebelah kanan dan putih di sebelah kiri. “Sapu tangan berwarna merah dan putih itu sejatinya merupakan simbol nasionalisme orang Minahasa sebagai bagian dari Indonesia”, ujar Felix.

Selain tari Maengket, siswa-siswi SD GMIM V juga menunjukkan kebolehannya menarikan tari Kabasaran untuk kami, para mahasiswa KKN-PPM Unit Lahendong. Tari Kabasaran merupakan tari yang menceritakan semangat prajurit yang hendak berperang. Gerak-gerik langkah penari nampak makin menarik dengan adanya properti berupa tombak dan perisai. Di era sekarang, tari Kabasaran merupakan tari yang kerapkali ditampilkan untuk menyambut tamu dari luar daerah.

Tari Maengket dan Kabasaran memiliki nasib yang beruntung. Keduanya mendapat perhatian dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tomohon sehingga dapat masuk dan diajarkan di sekolah-sekolah seluruh Kota Tomohon. Inisiatif pemerintah karena telah melakukan hal tersebut patut diapresiasi dengan semangat para pendidik agar semakin gigih dalam menanamkan kecintaan generasi muda untuk terus melestarian kesenian daerah.

Kautsaro Annisa