TANGERANG, KOMPAS CORNER – Salah satu harapan Indonesia terhadap generasi mudanya adalah agar mereka dapat menjadi roda pembangunan ekonomi. Membangun ekonomi kreatif, salah satunya dengan cara menjadi wirausahawan.
Melalui acara Rhapsody yang telah memasuki tahun ke-4 ini, dengan tagline Awakening The Spirits, mahasiswa Prasetya Mulya unjuk kebolehan mereka dalam menciptakan sebuah usaha mulai dari Food and Beverage, Fashion, Beauty, Chemical, Kriya, hingga Servis.
Tidak hanya menjadi projek besar tahunan untuk memperkenalkan hasil karya siswa Prasetya Mulya dalam mata kuliah Analytical and Critical Thinking, rangkaian acara juga diisi dengan talkshow, workshop, dan kompetisi.
Acara yang diadakan dari 14-15 Juli 2018 di Lippo Mall Puri ini menghadirkan Aradea Respati selaku co-founder dan marketing director brand Voyej serta Direz selaku co-founder Darahkubiru dan Bluesville.
Melalui talkshow tersebut Direz dan Respati yang juga merupakan lulusan Prasetya Mulya menceritakan awal mula mereka dapat terjun ke dalam bidang yang mereka tekuni sekarang yaitu bisnis fashion.
Ketertarikan terhadap denim jeans dan mulai tingginya minat masyarakat lokal menginspirasi Direz membuat Bluesville. Clothing yang mengutamakan warna indigo (biru alami) ini terinspirasi dari warna dasar denim jeans. Produksi awal sebanyak 20 buah yang laku keras membuat ia berani mengembangkan bisnis tersebut.
Sedangkan Voyej, rintisan Aradea dan lima temannya dengan mengutamakan konsep originalitas, dan kreatifitas sebagai dasar Voyej dalam berkembang memproduksi barang berbahan dasar kulit Vegtan Leather. Menggunakan kulit sapi yang disamak dengan bahan-bahan alami, yang semakin lama dipakai semaki kuat warna yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan filosofi Voyej, yang identik dengan perjalanan kapal.
Berbeda produk dan brand, berebeda pula penanganannya. Kendati memiliki konsep yang sama untuk terus mengembangkan bisnis mereka, mempertahankan bisnis bahkan dalam kondisi krisis, mereka memiliki cara berbeda dalam menjalankannya.
Bisnis clohing Direz membuatnya terus terbuka dengan tren yang ada dengan tetap mempertahankan value-nya. Mengadakan diskusi setiap minggu berdasarkan data yang diperoleh terutama data keuangan menurutnya sanga penting, sehingga dapat diambil keputusan yang lebih baik ke depannya. Belajar dari pengalamannya saat salah menentukan kuantiti dan warna sehingga tidak mencapai profit yang seharusnya membuatnya belajar untuk lebih memperhatikan data.
Berbeda dengan Aradea yang produksinya terpengaruh oleh fluktuasi dolar dan impor. Mengaku produksinya pernah terhambat karena keterlambatan kedatangan bahan impor dan stok kulit yang dimilikinya sedikit membuatnya mengutamakan manajemen efisiensi produksi. Dengan planning yang tetap memperhatikan masa kini, terutama menyesuaikan budget dengan fluktuasi dolar.
Bicara bisnis pasti tidak luput dari konsumen. Keduanya setuju bahwa service excellence adalah yang utama. “Kalo ada konsumen yang banyak nanya, kapan barangnya sampe jangan dianggap cerewet. Karena konsumen tersebut sebenernya cuma pengin tahu perkembangan produk itu. Sering-sering aja update produk ke pembeli. Dengan begitu, customer juga akan merasa dihargai.” ungkap Direz.
Sedangkan Aradea memiliki cara lain dalam memuaskan konsumen, salah satunya dengan memberikan garansi lifetime dan after sale treatment.
Dipenghujung acara, Direz kembali menekankan bahwa, “Passion itu terlalu overrated. Ide itu enggak mahal, tapi eksekusinya.” Yang diiyakan oleh Aradea. Kemudian acara ditutup dengan penyerahan plakat kepada kedua narsumber oleh ketua acara.
Semoga talkshow tersebut dapat menginspirasi generasi muda untuk tidak takut dalam memulai bisnis.
PENULIS : KOMPAS CORNER / Adina Fayza Gayo
PENYUNTING : KOMPAS CORNER / Winda Paramita
DOKUMENTASI : Tim Dokumentasi CREATIFEST 2018