Tanaman kopi dipercaya berasal dari benua Afrika, kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Saat ini kopi ditanam meluas di Amerika Latin, Asia-Pasifik dan Afrika. Pohon kopi bisa tumbuh baik di daerah yang iklimnya tropis dan subtropis, meliputi dataran tinggi maupun dataran rendah.
Di Indonesia, tanaman kopi dibawa dan diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada tahun 1896. Mereka awal mula memperkenalkan jenis kopi arabika. Pada perkembangannya, terjadi serangan penyakit karat daun HV yang menyebabkan kematian massal pada jenis tanaman kopi arabika ini.
Kemudian, pemerintahan kolonial Belanda memperkenalkan jenis tanaman kopi liberika dan robusta. Karena jenis tanaman kopi ini kebal terhadap serangan penyakit karat daun.
Adapun nama-nama kopi yang tersebar di Nusantara dari dahulu kala hingga saat ini adalah, kopi gayo (Aceh), kopi Toraja (Sulawesi Selatan), kopi kintamani (Bali), kopi Flores (Nusa Tenggara Timur), Kopi Jawa (Jawa), dan Kopi wamena (Papua).
Namun, di Indonesia juga terkenal dengan beberapa jenis tanaman kopi seperti arabika, robusta, dan liberika. Seperti di daerah Wamena, Papua disana hanya bisa tumbuh jenis tanaman kopi arabika saja, karena di daerah ini termasuk wilayah beriklim tropis dengan dataran tinggi. Justru sebaliknya di daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur jenis tanaman robusta saja yang bisa tumbuh, karena di daerah ini beriklim subtropis dengan wilayah dataran rendah.
Penjualan jenis kopi ini pun rendah, sehingga membuat petani kopi malas menanam kopi jenis liberika.
Kopi arabika merupakan jenis kopi yang paling disukai, karena rasanya dinilai oleh sebagian orang paling baik. Jenis kopi ini hanya bisa tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut seperti di daerah pegunungan Jayawijaya, Papua. Arabika akan tumbuh dengan maksimal pada suhu 16-20 derajat celcius.
Robusta lebih toleran terhadap ketinggian lahan budidaya. Jenis kopi ini bisa tumbuh baik pada ketinggian 400-600 mdpl dengan suhu 21-24 derajat celcius. Budidaya jenis tanaman kopi ini sangat cocok dilakukan pada wilayah yang beriklim subtropis dengan dataran rendah. Kelebihan dari jenis tanaman kopi robusta ini kebal terhadap penyakit karat daun (HV).
Sementara itu, tanaman kopi liberika justru merupakan jenis tanaman kopi yang berbeda dengan jenis kopi arabika dan robusta. Liberika tumbuh baik di wiliyah subtropis dengan wilayah penanaman lebih rendah dari jenis kopi robusta. Jenis kopi ini paling tahan pada penyakit HV dibanding jenis tanaman kopi lainnya. Namun, mutu liberika tidak sama seperti arabika dan robusta, karena ukuran buahnya tidak merata, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Penjualan jenis kopi ini pun rendah sehingga membuat para petani kopi malas menanam kopi jenis liberika.
Pada 19-22 Juli 2018 lalu, Harian Kompas mempersembahkan Festival Kopi Nusantara “Cerita Negeri Kopi” di Bentara Budaya Jakarta. Rangkaian acara festival meliputi pameran foto liputan Jelajah Kopi Nusantara, stan para petani kopi dari berbagai daerah, bazar kopi dan alat pembuat minuman kopi, diskusi tentang kopi, kelas roasting series bersama Uncle Jhon, kompetisi manual brewing dan cup taster, serta musik.
Diantara para petani kopi yang hadir di festival itu ada Petrus (41), petani kopi dari Jayawijaya, Papua. Ia mengatakan kekurangan persediaan kopi untuk dibawa ke Festival Jelajah Kopi Nusantara ini. “Saya terkendala membawa banyak kopi kesini, karena keterbatasan berat bagasi pesawat,” ujarnya pada penyelenggaraan Festival Jelajah Kopi Nusantara hari pertama di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Yang terlihat di stan milik petani asal Wamena, Papua ini adalah jenis tanaman kopi arabika. “Disana tidak ada jenis tanaman kopi robusta. Robusta tidak bisa tumbuh disana, yang bisa tumbuh dengan baik di Wamena hanya jenis tanaman kopi arabika saja,” kata Petrus.
Jenis tanaman kopi arabika yang dibawa ke ajang Festival Jelajah Kopi Nusantara, ditanam pada ketinggian 1600-1800 Meter di atas permukaan laut. Lokasi tempat menanam jenis kopi arabika ini terletak di wilayah pegunungan Jayawijaya, Papua.
Untuk soal harga, ia mengakui ini masih harga yang sama dengan di Papua. Kopi arabika bubuk di jual dengan harga 80.000 Rupiah dalam kemasan 200 gram, arabika sudah di sangrai dijual 150.000 Rupiah/500 gram, dan arabika biji seharga 200.000 Rupiah/kilogram.
Kopi organik
Kopi jenis arabika yang di ikut sertakan dalam Festival Jelajah Kopi Nusantara olehnya adalah jenis tanaman kopi organik. “Sejak tahun 1956 bibit kopi jenis arabika ini dibawa oleh orang-orang Amerika, dan mulai dikembangkan di daerah pegunungan Jayawijaya,” ungkapnya.
Ia juga mengakui perkebunan kopi yang dikelolanya merupakan peninggalan dari orang tuanya. “Saya adalah generasi kedua yang mengurusi lahan perkebunan ini dan dibantu oleh saudara-saudara saya,” tutur Petrus.
Prosesnya pun masih menggunakan cara tradisional, mulai dari panen lalu pengupasan. Setelah biji kopi di kupas akan ada penyimpanan di dalam gudang khusus, hingga pada waktunya proses pengeringan sampai selesai disangrai.
Di festival itu hadir juga Anggi (45), petani kopi dari Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ia memperkenalkan tanaman kopi jenis robusta di Festival Jelajah Kopi Nusantara. “Kami semua petani kopi yang ada di dataran rendah Sumba dibimbing selama 3 tahun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hingga bisa jadi seperti ini,” ungkapnya pada Kamis lalu.
Beragam harga ia tawarkan dalam berbagai kemasan. Mulai dari kemasan 350 gram dengan harga Rp 80.000 dan Rp 60.00/250 gram. Ada jenis kopi Lanang yang harganya Rp 125.000 /kg.
Dari sisi harga, jenis kopi arabika lebih mahal daripada robusta. Itu karena para penggemar kopi menghargai robusta lebih rendah dari arabika. Karena harganya murah, para petani seringkali mengelola biji kopi robusta dengan proses pengeringan dengan biaya lebih murah.
Sedangkan kopi arabika dikelola dengan proses basah, meski demikian memerlukan biaya dan waktu yang cukup lama, sehingga hingga mutu biji kopi yang dihasilkan jauh lebih baik. Kopi arabika sangat digemari oleh sebagian pecinta kopi di Indonesia maupun dunia. Namun, kembali lagi kepada selera para pecinta kopi masing-masing yang menikmatinya.
Alan Efriadi, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma Palembang