Air untuk Warga Desa Harenoro, Nias Selatan

    0
    567

    “Ya’ahowu…..” Begitulah sapaan mereka saat pertama kali bertemu dengan kami, kata yang berarti “selamat” ini menjadi sudah biasa diucapakan oleh masyarakat Nias.

    Desa Harenoro merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Lahusa, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Desa Harenoro terletak diantara perbukitan di Kecamatan Lahusa. Perlu waktu 5 jam lebih berjalan kaki dari kecamatan Lahusa menuju Dusun 3 dan 4 Desa Harenoro, tempat kami mengabdi di ujung barat Indonesia. Desa Harenoro terdiri atas 9 dusun, dan dusun 3 dan 4 merupakan kawasan terdapat dengan lebih dari 30 kepala keluarga (KK) berada didalamnya.

    Kisah kami dimulai dari 9 Juni 2017. Saat itu, kami yang berjumlah 29 orang angkat kaki dari Jogja menuju Jakarta dengan bus. Perjalanan yang harus ditempuh saat Ramadhan dengan bus berlangsung selama 12 jam, sesampainya di Jakarta, kami langsung menuju bandara. Tak terasa kami sudah terbang dari Jakarta menuju Medan.

    Di Medan, angin malam serta menemani kami untuk menginap di bandara. Kami harus bermalam di Kuala Namu karena kami terbang dari Medan menuju Nias besok paginya. Pagi pun tiba, semua memasuki pesawat, pengalaman naik pesawat mungkin takkan terlupakan bagi beberapa diantara kami, karena banyak diantara kami yang belum pernah naik pesawat sebelumnya.

    Sebelum berangkat KKN ke Nias,, para mahasiswa berfoto bersama.                                 Foto : Dok. PPM KKN UGM

    Sesampainya di Nias, pintu masuk dan pintu keluar bandara yang menjadi satu, serta tak tampak keramaian orang di dalam bandara karena memang pukul 10.00 WIB merupakan penerbangan yang terakhir, kebetulan kami adalah rombongan terakhir. Suasana sepi dan tentram menjadi ucapan selamat datang kami terima. Asyik mengobrol sembari menunggu berangkat ke Harenoro saya bercengkrama dengan warga sekitar.

    Ini adalah kali pertama saya berkunjung ke tanah Nias. Dari semua orang yang saya temui tak ada diantara mereka yang pernah mendengar “Harenoro”. Wah pasti terpencil sekali tempat ini, sempat pikir saya di dalam hati.

    Menginap beberapa hari di Kabupaten dan Kecamatan hingga akhirnya tanggal 13 Juni 2017 kami menuju Harenoro

    Menginap beberapa hari di Kabupaten dan Kecamatan hingga akhirnya tanggal 13 Juni 2017 kami menuju Harenoro, sebuah desa yang tak kami kenal sebelumnya, bahkan di google maps saja tak bisa menemukan Harenoro.

    Perasaan lelah menghinggapi kami semua setibanya tiba di Harenoro. Hal itu perjalanan menuju desa tersebut tidak mudah. Dari bawah kami harus menaiki perbukitan sejauh 7 kilometer yang kami  tempuh dengan kaki yang belum terlatih selama 5 jam. Bahkan, tak sedikit diantara kami yang harus mengikhlaskan puasanya.

    Perasaan lelah itu sedikit terbayarkan saat kami berjalan mendekati desa Harenoro, segerombolan anak dengan semangatnya berteriak “Dada…..dada…..” kepada kami secara terus-menerus. Saat tiba di Desa Harenoro, suasana tampak ramai, warga dengan senang hati dan wajah ceria menyambut kedatangan mahasiswa KKN.

    Hari demi hari kami lalui di desa yang takkan pernah kami bayangkan kami akan tinggal disini selama 52 hari. Tiga hari pertama, tak banyak yang merasa akan tetap bertahan di desa ini. Tak sedikit ancaman dari teman-teman akan meninggalkan unit KKN ini, ada juga yang berusaha untuk menghubungi pihak Universitas agar dicarikan lokasi baru yang lebih layak. Bahkan ada juga yang sudah menyiapkan uang buat beli tiket agar segera dipulangkan ke Jogja.

    Hari demi hari terus kami lalui hingga yang awalnya merasa bosan menjadi sedikit kerasan. Salah satu program besar kami adalah pengadaan bak pengampungan air hujan. Di Desa Harenoro tidak ada sumur untuk mengambil air, yang ada hanya sumber mata air yang harus dilalui selama 15 menit turun kebawah. Tak jarang, saya dan teman-teman terpeleset hendak mandi.

    Selain mendapatkan air dari sumber mata air, warga juga mendapatkan pasokan air dengan cara menampung air hujan. Hujan adalah sebuah keberkahan di Harenoro, meskipun tak semua rumah memiliki bak untuk menampung air hujan.

    saya sempat tak mandi selama 10 hari. Hingga akhirnya hujan turun yang memecahkan rekor tak mandi saya selama 10 hari.

    Saat musim kering serta padat dengan program kerja, saya sempat tak mandi selama 10 hari. Hingga akhirnya hujan turun yang memecahkan rekor tak mandi saya selama 10 hari. Sebagai kenang-kenangan serta oleh-oleh dari kami ke Desa Harenoro, kami mengadakan program donasi untuk pembangunan bak penampungan air hujan melalui kitabisa.com/lahusakita.

    Seluruh uang donasi yang terkumpul sebesar Rp 2.165.304 seluruhnya kami salurkan untuk membeli peralatan-peralatan untuk membangun bak penampungan air hujan di Desa Harenoro.

    Kini, anak-anak di Desa Harenoro tak perlu lagi turun kebawah selama 15 menit lamanya hanya untuk mandi. Dengan adanya bak ini, warga tidak perlu berat-berat membawa cucian serta piring kotornya yang berat untuk dicuci. Senyum dan tawa terlihat di wajah mereka seketika setelah bak ini selesai dibuat, tetapi senyum dan tawa itu berubah menjadi air mata saat tahu besok adalah hari terakhir kami di Harenoro.

    Sekarang, setahun telah berlalu semenjak saya meninggalkan tempat yang mengajarkan saya apa artinya hidup. Yakni, hidup tanpa sinyal dan memanjat pohon untuk mendapatkannya.Hidup tanpa mandi 10 hari, hidup hanya dengan listrik dari jam 7 hingga 10 malam, hingga bertahan hidup untuk buang air besar di hutan.

    Habibi Bahari