Nostalgia Suka-Duka Sang Pandu

    0
    1046

    Selama Lebih dari, gerakan kepanduan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Meski pamornya tengah menurun, gerakan yang populer di tanah air dengan sebutan Pramuka ini setia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, yang tek lekang dimakan waktu.

    Chicka Wina Putri (40), Apoteker, hampir menangis ketika tenda yang ia dan teman-temannya dirikan dengan susah payah dirubuhkan oleh angin kencang dari putaran baling-baling helikopter. Rasa kesal dan malu berkecamuk di dadanya.

    “Waktu itu, saya masih SMP dan sedang ikut Jambore Nasional. Sudah capek-capek mendirikan tenda paling cepat dibandingkan regu lainnya, eh, tiba-tiba mendarat helikopter yang membawa Bapak Harmoko, Menteri Penerangan saat itu, di lapangan dekat tenda kami,” ujarnya.

    Tapi, perasaan keal dan malu itu sirna ketika Menteri Penerangan jaman Orde Baru, Harmoko  Harmoko menghampiri Chicka dan teman-teman untuk membantu mereka mendirikan tenda itu kembali. Kejadian 23 tahun lalu itu masih terekam baik dalam memorinya dan menjadi kenangan indah masa kecil yang tak terlupakan.

    Chicka bukan satu-satunya orang di Indonesia yang memiliki kenangan indah dengan Pramuka semasa sekolah. Dari beberapa survei yang dilakukan tentang Pramuka terhadap 100 responden, sebanyak 63,44% telah mengenal Pramuka sejak di bangku SD. Bahkan, 6,45% diantaranya masih aktif mengikuti Pramuka hingga kini.

    Gerakan kepanduan di Indonesia yang merupakan akronim dari Praja Muda Karana itu baru resmi berdiri pada 14 Agustus 1961. Namun kepramukaan di tanah air telah dikenal jauh sebelumnya.

    Dimulai dari hadirnya cabang organisasi kepanduan Belanda, Nederlandsche Padvinders Organisatie, di Hindia-Belanda pada tahun 1912, kegiatan kepanduan di Indonesia terus berkembang, baik yang bernapaskan kebangsaan maupun agama.

    Kegiatan kepanduan ini vakum pada masa pendudukan Jepang. Tapi, setelah Indonesia merdeka, kegiatan kepramukaan kembali bangkit dengan terbentuknya Pandu Rakyat Indonesia di akhir tahun 1945.

    Gerakan kepanduan sebetulnya dimulai di Inggris dengan terbitnya buku Scouting for Boys karya Robert Baden-Powell pada tahun 1908. Buku tersebut berisi pengalamnnya membina 21 pemuda lokal yang terlibat dalam tindak kriminal.

    Keberhasilan Baden-Powell mengajari mereka berbagai keterampilan untuk bertahan hidup di alam bebas, juga menanamkan sikap ksatria dan patriotisme, membuat gerakan kepanduan menyebar luas.

    Nama Pramuka sendiri berarti “orang muda yang suka berkarya”. Memang, kegiatan-kegiatan gerakan yang berlambang tunas kelapa ini mendorong kreativitas dan kemandirian anggotanya lewat beragam keterampilan.

    Ternyata kegiatan dan keterampilan kepanduan inilah yang menarik 58,7% responden untuk ikut Pramuka. Padahal, sebanyak 36,96% awalnya mengikuti Pramuka hanya karena Pramuka menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolahnya.

    Inez Maria (31), Wiraswasta, contohnya. Sewaktu SD, ia mengikuti Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib. Siapa sangka, ia jatuh hati dan kembali mengikuti ektrakurikuler ini di SMP dan SMA. “Yang saya suka bukan hanya kegiatan berkemahnya saja, tapi juga saya jadi bisa mengenal sandi-sandi morse, semafor, tali-temali, serta dasa darma dan tri satya Pramuka,” papar wanita yang sempat lanjut hingga Penegak ini.

    Belajar sambil bermain

    Lalu, apa, sih, gunanya belajar sandi morse, semafor, atau bahkan tali-temali? Toh, kita belum tentu membutuhkan keterampilan ini saat dewasa. Mungkin Anda yang dulu ikut Pramuka pun pernah memiliki pemikiran ini. Namun, menurut pengakuan Inez, Pramuka sangat berperan dalam pembangunan karakternya.

    “Aktivitas seperti berkemah dan mendaki gunung menempa kemandirian dan leadership saya. Sementara itu, pengalaman tersesat saat berjalan jauh di alam bebas, hingga minum air sungai karena kehausan dan kepanasan, mengajari saya untuk mencintai lingkungan,” ujar wanita yang meraih banyak penghargaan dari kegiatan kepramukaan semasa sekolah ini.

    Yohana Mutiara (34), Staf Administrasi, juga mengungkapkan hal serupa. Tantangan menguasai sandi morse, semafor, dan tali-temali mengajarinya kegigihan dan ketekunan.
    Dulu ia tak menyadari hal itu. Karena, di mata Yohana kecil, Pramuka mengasyikkan karena memberinya kesempatan untuk belajar sambil bermain dan berinteraksi dengan alam. “Waktu SD, misalnya, saya pernah pergi berkemah di gunung, bahkan harus menembus kegelapan di tengah hujan dan melewati kuburan saat jerit malam,” kisahnya.

    Kenangan lain dari menjelajahi alam yang tak ia lupakan adalah gatal-gatal akibat mandi di sumber air di dekat lokasi berkemah. Gatal-gatal itu baru hilang setelah ia mandi dengan air kembang tujuh rupa. Entah kenapa.

    Keseruan belajar sambil bermain inilah yang membuat Mega Tissa (31), Jurnalis, diminta untuk mengaktifkan kembali ekstrakurikuler Pramuka di SD Negeri 1 Lokal Jauh, Indraloka 2, Tulang Bawang Barat, Lampung, ketika ia bertugas sebagai Pengajar Muda di sana beberapa tahun silam. Padahal, sewaktu sekolah dulu, ia sama sekali tidak pernah ikut ekstrakurikuler Pramuka.

    Berbekal pelatihan Pramuka yang didapatnya saat pelatihan intensif oleh Indonesia Mengajar dan buku saku Pramuka, tentunya, ia menjadi pembina Pramuka dadakan.

    “Enggak, sangka, mereka antusias sekali! Setelah mereka menguasai keterampilan mendirikan tenda, saya ajak mereka mengikuti jambore antarsekolah. Meski tenda buatan regu kami sempat dicemooh karena jelek, murid-murid saya berhasil menjuarai berbagai lomba kecakapan,” ujarnya, bangga.

    Peran Pramuka dalam membangun karakter anak inilah yang mendorong mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanagkan Revitalisasi Gerakan Pramuka pada tahun 2006 lalu. Menurutnya, pendidikan kepramukaan berperan besar dalam mencetak generasi muda yang unggul, berkarakter, berilmu, berbudi pekerti, dan mencintai alam.

    “Jadikan kepramukaan sebagai tempat belajar berorganisasi, bergotong-royong, memupuk persaudaraan, dan membina kerukunan antarsesama,” demikian SBY berpesan.