Hari Raya Lebaran identik dengan opor ayam, ketupat, nastar, juga silaturahmi dengan keluarga dan tetangga. Namun, bagaimana jika lebaran kali ini berbeda? Tidak ada ketupat atau opor ayam. Tidak ada suasana kehangatan kumpul bersama keluarga. Tidak ada sungkem untuk ayah, ibu, kakek, nenek, atau keluarga besar.
Begitu yang dirasakan Irsyad (23), mahasiswa Jurusan Arsitektur, Universitas Brawijaya. Ia memutuskan untuk tidak mudik lebaran kali ini. Ia mengaku ingin menuntaskan skripsinya terlebih dahulu baru hendak pulang. Mahasiswa asal Bandung ini baru saja melakukan sidang skripsi dan perlu melakukan beberapa revisi.
“Saya model yang kalau mesin udah nyala begitu diem butuh waktu lama buat nyala lagi, jadi kalau pulang semangat revisinya nanti hilang,” ujarnya.
Ini merupakan pertama kalinya Irsyad lebaran tanpa berkumpul bersama keluarga. “Mungkin bakal kangen menu makanan sehat tiap kumpul keluarga,” jawabnya ketika ditanya terkait hal yang dirindukannya.
Meski begitu, beberapa kegiatan alternatif telah disiapkan oleh mahasiswa semester 10 ini. Ia mengaku sudah memiliki acara undangan resepsi pernikahan teman dan berencana melakukan santap kuliner di Malang. “Tapi tetap paling utama revisi sama buat jurnal sih,” tuturnya.
Tak hanya Irsyad, lebaran tapi tak mudik juga dirasakan oleh Aldy (21). Mahasiswa UI, jurusan Teknik Kimia ini juga harus rela merayakan lebaran di Bontang, jauh dari keluarganya di Jakarta.
“Biaya bolak-balik mahal. Aku juga ga dapat cuti,” ujarnya. Mahasiswa semester enam memang diwajibkan untuk melakukan Kerja Praktik (KP), sebagai salah satu syarat kelulusan.
Mahasiswa berdarah Ambon ini menyatakan sudah mencari kesibukan selama tiga hari liburnya. “Udah ada rencana sih, hari pertama open house, hari kedua main ke rumah pengampu, hari ketiga siap-siap kerja aja,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengaku bahwa pada awalnya, ayahnya tak memberi restu ketika ia memutuskan untuk tidak pulang. “Tapi diurus sama nyokap. Nyokap yang bikin bokap mengerti,” katanya.
Bukan hanya Aldy dan Irsyad yang tidak bisa mudik karena terbentur tugas kuliah, Ajeng Tsania Putri, mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada tahun ini tidak mudik ke kampung halamannya di Magelang, Yogjakarta. Maklum, Ajeng adalah mahasiswi semester delapan atau angkatan tua. Dulu, saat masih semester awal, Ajeng masih bisa mudik, tapi kini ia harus berjuang menyelesaikan skripsinya yang harus dikumpulan bulan Juli.
“Rindu banget mudik ke kampung halaman. Tapi sekarang halamannya berbeda, yaitu perihal revisi skripsi sudah sampai halaman berapa ha-ha,” ujar Ajeng berkelakar, Selasa (12/6/2018).
Demi penelitian skripsinya, Ajeng pun rela tidak pulang. Apalagi, ia juga harus menunggu dosen pembimbingnya yang mudik duluan. Keputusan pemerintah yang menambah hari libur lebaran pun dinilai waktu yang tidak tepat untuk mahasiswa akhir.
“Repot saja bagi mahasiswa yang mengejar tenggat waktu skripsi di bulan Juli. Waktu revisi makin mepet,” ungkapnya.
Ia mengaku kepengin pulang kampung ketika melihat berita tentang arus mudik menjelang lebaran ini. Lalu lalang kendaraan bermotor dan mengularnya kemacetan di jalan menjadi salah satu euforia mudik yang ia rindukan.
Harus bekerja
Mudik memang menjadi sudah menjadi tradisi bagi para masyarakat. Tradisi yang dilakukan setahun sekali ini sudah sewajarnya dilakukan karena rindu dengan kampung halaman. Banyak dari mereka yang berbondong-bondong menuju ke daerah asal demi melepas kangen dengan orang tua.
Namun, kesibukan di ibukota bisa mengubah rencana mudik tersebut. Seperti halnya yang dialami oleh Muhammad Rifqy Ibnu Masy. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini terpaksa menunda mudik karena adanya sebuah pekerjaan. 29 Mei lalu, Rifqy mendapat sebuah ajakan dari seorang teman. Lewat pesan WhatsApp, temannya meneruskan sebuah pesan yang isinya bekerja di sebuah lembaga yang bergerak di bidang sosial, Dompet Dhuafa.
“Di sana saya menjadi relawan yang menjaga sebuah stand di Superindo Harapan Indah, Bekasi. Nah stand itu gunanya untuk wadah buat orang-orang yang mau membayar zakat, infaq, dan sadaqah. Ya kerjaan saya melayani mereka lewat stand itu,” ucapnya, Rabu (13/6/2018).
Terhitung sudah 16 hari Rifqy menjadi relawan di lembaga tersebut. Pekerjaan itu akan selesai ketika Kamis malam, yang juga bertepatan dengan malam Idul Fitri. Padahal, Rifqy sendiri berencana untuk pulang ke kampung halamannya di Brebes, Jawa Tengah.
“Ya mau gimana lagi, mudiknya mungkin Jumat sore, atau malamnya. Kebetulan Rektor UIN Jakarta kan open house, jadi saya makan ketupat dulu di sana sebelum pulang ke rumah,” katanya.
Jika Rifqy menunda mudik, maka hal berbeda dialami Ayu Naina Fatikha. Di tahun ini, Ayu memilih tidak mudik ke kampung halamannya yang ada di Tegal, Jawa Tengah. Alasannya, keluarganya sibuk dengan pekerjaan di ibu kota.
“Lebaran kali ini saya menjaga warung makan yang berada di wilayah Ciledug, Tangerang. Saya ditemani oleh Om. Kami berdua bagi-bagi tugas. Jadwal jaga om saya dari pagi hingga sore, sedangkan saya dari sore hingga sahur,” jelasnya.
Selain itu, Mahasiswi UIN Jakarta ini juga kerap kali berbelanja ketika hari menjelang pagi. Biasanya, pukul 4.30 ia sudah mengambil keranjang belanja dan menyiapkan sepeda motornya. Tiap membeli kebutuhan, Ayu menghabiskan biaya hingga Rp 700 ribu per harinya. Kegiatan ini terus dilakukan Ayu sembari mengisi liburan kuliah.
Penulis:
Christoforus Ristianto, Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang
Asry Sihombing, Mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang
Dicky Prastya, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Ketiganya sedang magang di Kompas Muda)