Pers merupakan pilar berdirinya kepemimpinan dan hierarki suatu negara. Kebebasan pers merupakan salah satu tolok ukur dalam menilai sebuah negara yang demokratis. Dengan melihat tingkat kebebasan persnya, kita bisa tahu apakah demokrasi benar-benar dilaksanakan dalam suatu negara dan bukan hanya terpampang dalam ideologi semata.
Melihat sejarahnya, pers di Indonesia lahir tentu bukan tanpa perjuangan. Pers di Indonesia mulai terbentuk semenjak masa pra-kemerdekaan, di mana Indonesia masih di bawah kepemimpinan kolonial Jepang. Pada zaman itu, pers atau media massa hanya dijadikan sebagai alat propaganda. Kata ‘bebas’ bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan masa-masa ini.
Singkat cerita, pers di Indonesia baru menemui titik terang pada akhir masa kepemimpinan Orde Baru. Pada akhir masa kepemimpinan Orde Baru tersebut, Presiden Indonesia ketiga B. J. Habibie mengeluarkan sebuah Undang-Undang yang merupakan batu loncatan bagi perkembangan Pers di Indonesia. Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pers pun tidak lagi harus bergerak ‘dibawah tanah’ dan resmi diakui sebagai bagian dalam hierarki negara.
Pers saat ini
Lalu, apakah kini pers sudah benar-benar bebas? Freedom house, sebuah organisasi pengawas independen yang didedikasikan untuk perluasan kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia, mencatat beberapa hal tentang Pers di Indonesia. Dilansir dari laman resmi Freedom house; https://freedomhouse.org/report/freedom-press/2017/indonesia;“Struktur media di Indonesia itu sangat dinamis dan beragam, kendati demikian, posisi editorial seringkali bersesuaian dengan kepentingan pemiliknya.”
Mengapa Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila masih terbelenggu oleh hierarki media dan rantai kekuasaan? Kalimat tersebut sesungguhnya merupakan fakta ironi yang sebenarnya masih terjadi di lingkup editorial media massa. Selain hal-hal tersebut, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) juga mencatat kenaikan dalam insiden kekerasan yang dilaporkan terhadap pers di tahun 2016.
Mengutip kembali dari Freedom house “Media cetak dan elektronik Indonesia umumnya bebas dari campur tangan pemerintah. Namun, pemilik outlet cetak dan siaran langsung yang berpengaruh secara politis sering kali mempengaruhi pola jangkauan.”
Freedom House juga tidak luput mencatat bahwa “Sementara Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 mengumumkan pelonggaran pembatasan kehadiran wartawan asing di provinsi Papua dan Papua Barat, akses masih belum otomatis, tanpa hambatan, atau dapat diberikan dengan cepat.” Kementrian Luar Negeri sempat menolak memberikan visa kepada wartawan asing yang mencoba untuk membuat film dokumenter tentang pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua.
Kebebasan pers semakin dipertanyakan saat keluarnya UU MD III (MPR-DPR-DPRD-DPD) mengenai pasal penghinaan dan pencemaran nama baik parlemen. Hal ini kemudian akan membatasi ruang demokrasi bagi pers dan bahkan masyarakat Indonesia untuk mengkritik pemerintahan. Padahal dalam UUD 1945 pasal 28 F jelas-jelas terpampang “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kebebasan pers bukan hanya kewajiban pengamat politik dan pemerintah. Kaum muda sebagai generasi penerus bangsa harus turut menyuarakan aspirasi mengenai kebebasan pers. Aspirasi dan kritik memang diperlukan untuk tetap mengawasi pemerintah agar tetap berjalan sesuai dengan kewajibannya. Tanpa kritik dan pengawasan dari rakyat, sebuah bangsa tidak akan bersatu dalam mengembangkan negara dan pemerintahnya. Rakyat, Pers, dan Pemerintah merupakan tiga sisi segitiga yang harus berjalan bersama untuk membangun negri ini mencapai puncak kesuksesannya. Ketiganya ada untuk menyokong satu dan lainnya dan tidak akan dapat berdiri sendiri.
Penulis : KOMPASCORNER/Winda Paramita
Ilustrasi : KOMPASCORNER/Ericha Surya