Gemuruh Hoaks di Era Digital

0
385

     Di zaman yang kian ramai dengan laju informasi ini, kaum millenials sudah mulai meninggalkan budaya membaca. Yang dimaksud dari budaya membaca disini adalah “membaca kembali informasi yang diterima”. Dilansir dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sepanjang tahun 2016-2017 ada  300.000 situs hoaks dan 800.000 akun provokasi dan adu domba yang diblokir karena ujaran kebenciannya.

     Dalam kurun waktu 1 tahun, peningkatan kasus ujaran kebencian yang ditangani POLRI pun meningkat tajam. Jika pada tahun 2016 terdapat sebanyak 1829 kasus yang ditangani, tahun 2017 terjadi peningkatan signifikan menjadi 3325 kasus. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat Indonesia memiliki minat membaca yang sangat rendah.

 Indonesia menempati urutan ke-56 dari 60 negara dalam hal minat baca

 

Mengutip dari kompas.id dalam artikelnya yang berjudul “Menjadi Bangsa Pembaca” oleh Agus Rifai, Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyebutkan bahwa bangsa Indonesia menempati urutan ke-56 dari 60 negara dalam hal minat baca. Studi terkait minat baca yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 juga masih menempatkan Indonesia di urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Demikian pula hasil survei yang dilakukan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang menyebutkan bahwa tingkat minat baca bangsa Indonesia menempati posisi kedua terendah dari 61 negara yang disurvei.

Hal ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap penyebaran hoaks. Dalam artikel kompas.id “Giatkan Verifikasi untuk Menangkal Hoaks“, survei yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyebutkan, mayoritas respondennya menerima konten hoaks sekali dalam sehari. Sebanyak 92,4 persen konten hoaks disebarkan melalui media sosial. Bentuk konten hoaks yang mendominasi berupa tulisan. Sebanyak 83,2 persen responden memeriksa terlebih dahulu kebenaran berita yang didapatkan, dan sejumlah 44,3 persen responden memilih media massa sebagai sumber verifikasi. Jika hanya 83,2% saja yang memeriksa kebenaran dari hoaks, maka hal ini semakin mengkhawatirkan mengingat sisa dari responden tersebut masih termasuk dalam jumlah yang besar.

     Mengaitkan hoaks dengan Pilpres 2019, hoaks akan sangat berbahaya bagi kebenaran informasi tentang Pilpres. Jika sampai hoaks menyentuh Pilpres 2019, banyak pihak akan dirugikan dan banyak kesempatan akan disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks. Akan sangat disayangkan apabila pesta demokrasi rakyat Indonesia dinodai dengan gemuruh hoaks di seluruh penjuru negeri.

     Masyarakat Indonesia kedepannya harus bisa melakukan verifikasi informasi, tidak hanya “kadang-kadang”, tetapi periksalah “setiap” informasi yang kita terima. Satu saja kabar hoaks yang kita sebarkan dapat merugikan banyak pihak kedepannya. Selain itu, pemerintah juga perlu menggiatkan literasi media kepada seluruh masyarakat. Kalangan masyarakat dengan literasi media rendah tentu saja sangat rentan terhadap penyebaran hoaks. Mereka bahkan tidak akan mengerti apa, ke mana, dan bagaimana memverifikasi hoaks.

     Meskipun demikian, banyak juga aksi melawan hoaks yang dilakukan masyarakat. Slogan-slogan seperti “Say no to Hoax” dan “Jangan Percaya Hoaks” mulai terdengar dimana-mana. Semoga kedepannya, kampanye ini tidak hanya sekadar kampanye “sekali lewat”, tetapi penangkalan hoaks dapat dimaknai dan dipraktekkan dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Penulis      : KOMPASCORNER/Winda Paramita

Ilustrator  : KOMPASCORNER/Ericha Surya

Editor        : KOMPASCORNER/Verren Christy