Kendel, kreatif, pinter. Itulah motto yang diusung Sanggar Belajar Bersama (S2B). Motto itu pula yang jadi semangat S2B untuk tetap menggeliat di tengah kesederhanaan. Tak hanya ingin menjadikan anak-anak pintar secara akademik, S2B bertekad membimbing tunas-tunas muda calon generasi penerus bangsa menjadi pribadi yang kendel (berani) sekaligus kreatif.
Meski sederhana, S2B tak begitu saja bisa berdiri hingga kini. Adalah Niswatun Hasanah, seorang warga di Jl Pahlawan, Balearjosari, Malang yang melihat peluang ini. Berawal dari anak-anak usia SD di kampungnya yang harus menyeberang ke kampung lain untuk bisa les gratis dan mendapatkan bimbingan mengerjakan tugas sekolah. Padahal, rumah yang berada di kawasan jalan protokol Malang- Pasuruan dengan kendaraan yang padat menjadi hal yang cukup rawan bagi anak-anak untuk pergi ke kampung seberang.
Pada 2015, Anis, begitu ia biasa disapa, lantas berinisiatif membuat wadah agar anak-anak di kampungnya bisa belajar bersama. Tekad itu disampaikan pada beberapa orang yang dinilai bisa mewujudkan mimpi itu. Terlebih, di kampungnya banyak warga yang berprofesi sebagai guru dan membuka les untuk anak-anak sekolah. Awalnya, Anis meminta seorang mahasiswa yang tak lain anak dari majikannya untuk menjadi mentor belajar anak-anak.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mahasiswa UB itu pun siap menjadi mentor belajar. Lalu, Anis mencari tempat untuk anak-anak belajar. Seseorang akhirnya bersedia rumahnya dijadikan tempat belajar bersama. Namun, mendekati hari H belajar bersama diadakan, si empunya rumah mendadak membatalkan karena urusan keluarga.
Anis pun harus mencari lagi. Ia pun menemui beberapa orang. Kemudian, dia beryemu dengan salah satu guru SMAN 1 Pandaan, Wanta Jati Nugraha, seorang guru SMAN 1 Pandaan yang terketuk hatinya.
“Sanggar ini tidak akan berdiri kalau tidak ada Pak Wanta yang menyediakan tempat ini,” ujar Anis.
Wanta lalu merelakan ruang di samping rumahnya yang sejatinya berfungsi sebagai garasi untuk disulap menjadi sanggar belajar. Meski sudah mendapatkan tempat, tak lantas kegiatan belajar ini tanpa halangan. “Menjelang hari pertama belajar bersama di sanggar, malam harinya RT setempat tiba-tiba tidak mengizinkan. Alasannya, khawatir mempengaruhi pendapatan guru yang membuka jasa les di rumah,” kisah Anis.
Namun, Wanta tetap gigih. Jiwa sosial dan motivasinya untuk beribadah melalui sanggar belajar memantapkan hatinya untuk tetap mengoperasikan sanggar meski tidak berizin. Di ruang berukuran 4 x 6,5 meter itulah, tiap Sabtu puluhan mahasiswa dari berbagai kampus di Malang membimbing anak-anak untuk menyelesaikan tugas sekolah serta mengajarkan materi yang belum mereka pahami.
Jika Sabtu sore waktu untuk menyelesaikan tugas sekolah, maka hari Minggu dimanfaatkan untuk kelas bahasa Inggris dan kreativitas. Tak melulu belajar bahasa Inggris di ruang sanggar, Wanta yang juga guru bahasa Inggris seringkali mengajak anak-anak untuk praktik langsung. “Misalnya tiap anak diberi uang dua ribu rupiah, lalu kita minta mereka berbelanja di toko di sekitar sanggar menggunakan bahasa Inggris,” terang Mochamad Yahya, alumni Universitas Islam Malang yang juga salah satu mentor di S2B.
Di kelas kreativitas, anak-anak yang rerata duduk di bangku SD ini diajak membuat beragam karya. Misalnya membuat tempat alat tulis dari bekas kaleng rokok, kura-kura dari botol minuman kemasan, atau miniatur gazebo dari stik es krim. “Misalnya juga saat peringatan hari lingkungan hidup, anak-anak kita ajak untuk membersihkan lingkungan sekitar sanggar. Sesekali, mereka juga melakukan outbond dan cooking class untuk meningkatkan jiwa kreativitasnya,” jelas Yahya.
Menjelang 3 tahun usia S2B pada 2018 ini, S2B berusaha tetap kokoh berdiri. Untuk operasional kegiatan sanggar, tak jarang Anis maupun Wanta yang merogoh kocek pribadi. Berkala, mereka juga mendapatkan donatur dari para dermawan yang peduli pendidikan. Sukses selalu, S2B!