Museum yang sudah berdiri lebih dari satu abad ini dulunya terdiri atas empat museum, yaitu Museum Wanita, Museum Kedokteran, Museum Budi Utomo, dan Museum Pers. Namun, pada 7 Februari 1984, museum-museum itu digabung dan diberi nama Museum Kebangkitan Nasional. Tidak hanya museum, di sini juga ada kegiatan mingguan untuk anak-anak muda. Selain itu, ada kelas tari dan musik yang terbuka untuk semua orang dan tidak dipungut biaya.
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) adalah institusi pendidikan kedokteran di Jawa pada era penjajahan Hindia-Belanda. STOVIA juga merupakan cikal bakal berdirinya Universitas Indonesia. Perkembangan peralatan medis tercatat di museum ini. Peralatan itu bahkan hingga pada benda-benda mistis, misalnya keris yang digunakan para dukun untuk mengobati masyarakat pada zaman sebelum ada dokter.
Kemunculan ilmu kedokteran di Indonesia berawal dari Sekolah Juru Suntik, Sekolah Kesehatan, Sekolah Dokter Djawa, hingga menjadi STOVIA. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, anak-anak pribumi diberikan beasiswa untuk mempelajari ilmu kedokteran. Setelah lulus, mereka diangkat menjadi pegawai negeri Pemerintah Belanda. Saat itu, penyakit yang timbul di wilayah tropis sangat kompleks, seperti kolera, malaria, dan cacar.
Kepala Seksi Penyajian dan Pelayanan Edukasi Museum Kebangkitan Nasional Sujiman mengatakan, Dokter Soetomo adalah salah satu dokter yang bersekolah di STOVIA. Dokter Soetomo merupakan pendiri gerakan kebangsaan Boedi Oetomo. Menurut Sujiman, Soetomo memiliki jiwa nasionalis, juga ikut terjun langsung membantu pasien sakit di Pulau Jawa.
Dokter-dokter lulusan STOVIA diterjunkan langsung ke daerah yang terjangkit wabah penyakit cacar sehingga disebut mantri cacar. ”Sepertiga penduduk Jawa pada 1800-an tewas akibat wabah penyakit kulit,” kata Sekar (24), edukator Museum Kebangkitan Nasional.
Museum Kebangkitan Nasional pun masih menyimpan beberapa peralatan medis STOVIA yang selalu berkembang dari tahun ke tahun. Salah satu contohnya seperti alat pemecah kepala digunakan untuk meneliti anatomi otak sebelum ada CT-Scan seperti sekarang.
Susanti (44), dokter di Klinik Kompas Gramedia, menyampaikan, mempelajari ilmu kedokteran saat ini sudah lebih mudah karena tersedianya buku elektronik dan alat medis yang lebih canggih.
”Ketika (mahasiswa) co-assistance operasi mata, (mahasiswa) hanya tinggal melihat video di layar tanpa perlu melihat mata pasien secara langsung,” kata Susanti. Dia lalu memperlihatkan teknologi augmented reality melalui video singkat di ponsel pintarnya. Bahkan, dokter lulusan Universitas Atma Jaya ini juga berbicara mengenai ultrasonolografi (USG) yang disambungkan melalui jaringan nirkabel ke ponsel pintar.
Cara penanganan penyakit juga lebih cepat dan akurat, seperti diabetes yang kadar gulanya diukur lewat lensa kontak per detik. Jadi, kadar gula dapat dilihat melalui air mata pasien. ”Apa yang benar menurut dokter adalah kebenaran masa ini, belum tentu benar di masa depan dan sebaliknya,” ucap Susanti.
Susanti mengatakan, keris masih relevan di zaman animisme dan dinamisme, tetapi tidak lagi di zaman kini yang semua teknologinya sudah modern. Dokter pada zaman penjajahan Hindia-Belanda sangat paternalistik dan memaksa pasien. Sementara sekarang dokter lebih terbuka dan berdiskusi dengan pasien.
Pendidikan kedokteran Indonesia masa kini sudah lebih modern daripada masa awal kedokteran Indonesia. Akan tetapi, mempelajari sejarah kedokteran tetap hal yang penting. Hal itu dilakukan sebagai perekaman pemikiran untuk memperbaiki masa depan. Maka dari itu, berkembanglah ilmu kedokteran yang canggih seperti sekarang.
Magangers Kompas Muda Batch IX
Kelompok Saptara
Reporter :
Aulia Chanifa H (SMAN 55 Jakarta)
Benediktus Tandya Pinasthika (SMA Kolese Kanisius)
Fotografer :
Matthew Trayen (SMA BPK Penabur Gading Serpong)
Desain Grafis :
Kevin Muhammad A (SMAN 1 Kota Bekasi)