Memang bukan hal yang mudah membuat film dokumenter yang bersifat kritikan di Papua. Butuh banyak keberanian untuk membuat film ini. Seperti yang dilakukan komunitas Yoikatra yang berasal dari Kabupaten Timika. Mereka mempresentasikan karyanya berupa film-film dokumenter di acara Arkipel, di Jakarta, Sabtu (19/8).
Yoikatra merupakan komunitas yang didirikan oleh mahasiswa asal Timika. Yoikatra yang terdiri dari 13 anggota bertujuan untuk membantu masyarakat Papua dalam segi kemanusiaan.
Papua adalah salah satu negeri yang masih alami dengan kekayaan hayatinya. Namun, pembangunan yang merajalela membuat Yoikatra tergerak. Seperti dalam salah satu karyanya “Di Balik Taman Eden” yang menceritakan tentang Suku Komoro yang saat ini terancam tempat tinggalnya.
Dalam film perdana Yoikatra, “Cinta dari Karaka” yang dibuat tahun 2014, menggambarkan proses seorang ibu yang melahirkan di Papua. Film dokumenter itu menekankan kurangnya tenaga bidan yang membantu ibu melahirkan di wilayah Papua.
Sontak film tersebut membuat Dinas Kesehatan Papua ikut beranggapan hal tersebut dikarenakan kekurangan dana dari pemerintah pusat. “Saat kita presentasi di depan Dinas Kesehatan Papua, mereka mengiyakan hal tersebut,” ujar Ketua Yoikatra, Yonri Revolt (25) saat ditemui di acara Arkipel, Sabtu (19/8).
Berusaha bertahan
Yoikarta bisa bertahan karena adanya dukungan dari masyarakat yang kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat. Berbeda dengan komunitas lainnya yang hanya satu tahun bubar (Sebar), Yoikatra masih tetap paling populer di kalangan masyarakat Papua.
Yoikatra adalah kelompok yang terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda. Mulai dari sosial, jurnalistik, pendidikan, politik, kesehatan dan hukum menjadikan Yoikatra terus eksis. Karena konten yang di garapnya berbeda-beda dan untuk kepentingan dari masyarakat.
“Kami dari latar belakang yang berbeda, oleh karena itu konten yang dimiliki tidak monoton,” ujarnya.
Tidak jarang, apabila film yang dibuatnya menyinggung beberapa pihak dan beberapa kali di ancam oleh pihak terkait. Di balik itu, komunitas Yoikatra menginspirasi kota lainnya di wilayah timur. Seperti misalnya Silo dari Kendari mendengar perjalanan Yoikatra sangat sulit, membuat ia harus menguatkan tekadnya untuk tetap di dunia perfilman.
Suntikan dana
Berbicara tentang produksi film pastinya memerlukan banyak dana, seperti kamera dan transportasi. Mengingat untuk harga bahan bakar Premium di Timika untuk eceran mencapai Rp 20.000. Oleh karena itu, Yoikatra sangatlah membutuhkan dana untuk menutupi kebutuhan tersebut.
Walaupun Yoikatra tidak dapat donatur atau sponsor. Yoikatra tetap bertahan dan tetap eksis di dunia komunitas Film. Seperti halnya di festival Arkipel 2017, Yonri menjadi narasumber di Panel III untuk Platform Kolektif Film Sebagai Agenda Katalis.
Untuk menutupi kebutuhan komunitasnya, Yoikatra membuka les dan sekolah privat. hasil dari les tersebut digunakan sebagai kepentingan komunitas untuk membantu masyarakat lewat jurnalistik.
“Untuk menutupi kebutuhan dana kami membuka les di basecamp kami. Dan, hasil dari bayarannya digunakan untuk kepentingan komunitas,” ujar Yonri.
Yonri berpesan kepada seluruh komunitas yang ada di Indonesia untuk bisa berdiri sendiri. Karena belum tentu semua kegiatan kita akan dibiayai oleh sponsor. Serta untuk menjunjung tinggi keadilan karena dengan begitu kita akan mempunyai rasa tanggung jawab yang kuat.