Bendoro Raden Mas Mustahar, tepat menjelang fajar lahir ke dunia di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Karena ia terlahir dalam keluarga keraton, maka sudah barang tentu tradisi Jawa begitu melekat padanya. Terbukti, semenjak balita Sang ibunda Raden Ayu Mangkorowati menyerahkan Raden Mas Mustahar kepada buyutnya yakni Sultan Mangkubumi. Kala itu, Sultan meramalkan bahwa Dipenogoro akan membuat kerusakan yang besar bagi Belanda.
Akan tetapi Sultan justru mempercayakan permaisurinya, Ratu Ageng, untuk mendidik Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kini familiar disebut Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng sendiri merupakan wanita tangguh dan setia. Ia pun pernah mendampingi Sultan Hamengku Buwono I dalam Perang Giyanti melawan Belanda. Dalam kesehariannya Ratu Ageng dikenal sebagai sosok yang islami, serta menjunjung tinggi adat Jawa di lingkungan keraton.
Hal tersebut yang kemudian menular ke watak Dipenogoro, sejak kecil ia telah diajarkan agar selalu memegang teguh ajaran Islam, menjalankan budaya Jawa, dan begitu memperhatikan kesejahteraan rakyat sekitar.
Selain dibesarkan oleh Ratu Ageng, pribadi Dipenogoro pundi bentuk dalam lingkungan kiai desa. Ditambah pasca kepergian Ratu Ageng, Pangeran Diponegoro semakin intensif berkomunikasi dengan para ulama di sekitar Desa Tegalrejo. Melalui hubungan inilah Pangeran Dipenogoro mengenal Raden Ayu Retno Madubrongto, putri kedua Kiai Gede Dadapan, wanita yang akhirnya ia nikahi pada 1803
Hanya saja hubungan Diponegoro dengan Madubrongto lambat laun memburuk. Lebih lagi tatkala Pangeran Diponegoro menerima bujukan ayahanda Sultan Hamengku Buwono III untuk menikah kembali dengan wanita keturunan priayi, Putri Bupati Panolan, Raden Tumenggung Notowijoyo III. Prosesi pernikahan ini digelar secara megah, pada 27 Februari 1807 di Keraton Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro menyadari salah satu sifat yang mengganggu masa mudanya ialah mudah tergoda perempuan
Dalam buku ini, Peter Carey juga mengungkapkan sosok Pangeran Diponegoro sangat lihai dalam menaklukkan hati wanita. Meskipun tidak diimbangi dengan penampilan fisik yang rupawan. Akan tetapi kharisma Pangeran Diponegoro cukup untuk membuatnya menawan di mata kaum hawa.
Pangeran Diponegoro sendiri menyadari salah satu sifat yang mengganggu masa mudanya ialah mudah tergoda perempuan. Saat di Perang Jawa saja, sebelum pertempuran berlangsung, ia mengakui sempat berhubungan intim dengan seorang perempuan muda Cina. Perbuatan itu sangat disesali Pangeran Diponegoro. Ia menganggap hal demikian menjadi biang keladi kekalahannya. Belakangan diketahui perempuan Cina tersebut merupakan tawanan perang di Kejaren, yang kemudian menjadi tukang pijatnya.
Bahkan selama di pengasingan pun Pangeran Diponegoro mempertunjukkan kemahirannya menaklukkan hati wanita. Ketika di Manado, Pangeran Diponegoro hampir menikah dengan putri Letnan Hasan Nur Latif. Namun pernikahan itu urung terlaksana, lantaran menurut Letnan Hasan bila pernikahan itu benar terjadi, maka hanya nasib buruk yang menimpa putrinya.
Di sisi lain, sekalipun Pangeran Diponegoro sosok yang terkesan kerap mempermainkan wanita, tapi ia tetap saja tokoh yang sangat berjasa dalam membebaskan rakyatnya dari cengkraman penjajah. Keyakinan akan takdirnya sebagai pembawa kekacauan besar bagi Belanda membuat semangatnya untuk memerdekakan rakyatnya tak pernah padam.
Buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1885) karya Peter Carey menggambarkan kehidupan pribadi seorang Pangeran Diponegoro secara utuh, sosok manusia biasa yang jauh dari sempurna. Namun, buku ini mencoba menampilkan realitas sejarah Sang Pangeran Diponegoro pada awal abad ke-19, dan bukan membuat mitos.
Sayangnya, dalam buku ini banyak menggunakan diksi yang tidak populis-–memakai bahasa daerah—dan sumber yang menjadi rujukan mayoritas terjemahan naskah kuno membuat pembaca sukar untuk memahami dalam sekali membaca. Banyak pula memunculkan nama tokoh asing tanpa keterangan rinci menambah kesulitan pembaca untuk memahami isi buku.
Muhammad Ubaidillah, anggota LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta