Pengalaman berkunjung menjumpai suku Baduy adalah sebuah perjalanan hati di tengah dunia yang sarat dengan pesta duniawi. Di tengah hiruk pikuk kota dengan pembangunan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Dan, di tengah banyak manusia yang kian tergila-gila akan kegiuran duniawi yang fana.
Semua hal itu berbeda dengan kehidupan masyarakat suku Baduy. Mereka sangat akrab dengan alam, dengan sungai yang jernih airnya seperti hati masyarakat Baduy. Mereka akrab dengan bumi yang senantiasa menjadi pijakan mereka yang tanpa alas kaki. Mereka akrab dengan embun pagi, dengan pepohonan rindang, serta rumah-rumah bambu sederhana yang setia menaungi mereka. Namun, hidup masyarakat Baduy tetap saja mengalir, memunggungi pesta pora duniawi dalam kesederhanaan yang menyelimuti mereka…
Desa Wisata Baduy terletak di Desa Cibeo, Kabupaten Lebak, Banten. Kira-kira 40 kilometer dari Rangkasbitung. Perjalanan saya dengan kendaraan pribadi menempuh selama 5 jam dari Jakarta. Sesampainya di wilayah Desa Wisata Baduy, saya disambut dengan keramaian orang yang tengah berwisata. Biasanya wisatawan hanya mengunjungi desa wisata yang menjadi desa Suku Baduy Luar saja.
Singkat kata, Suku Baduy dapat terbagi menjadi dua, yakni Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Suku Baduy Luar lebih terbuka terhadap arus modernitas. Terlihat dari masyarakatnya yang telah banyak memakai handphone bahkan telah banyak rumahtangga yang membuat banyak kerajinan tangan untuk dijual kepada wisatawan.
Tapi tidak demikian dengan Suku Baduy Dalam. Mereka lebih tertutup dengan dunia “luar”. Desa mereka pun tidak semudah itu dimasuki oleh wisatawan. Hukum adat masih kokoh dipegang. Masyarakat Baduy Dalam tidak boleh menggunakan barang-barang buatan pabrik, atau barang dari “luar”. Katakan saja misalnya sabun, senter, sepatu, mobil, dan sebagainya. Anak-anak Baduy Dalam pun tidak diperkenankan adat untuk bersekolah. Wisatawan yang datang ke desa Baduy Dalam juga tidak boleh berfoto selama ia berada di desa tempat tinggal Baduy Dalam.
Saya bersama ayah dan ibu yang menemani perjalanan saya dipertemukan dengan teman perjalanan bersama kami, bernama Kang Epen. Ia menjadi teman seperjalanan yang akan menemani saya dan keluarga untuk menyusuri Desa Wisata Baduy. Kang Epen adalah salah satu pemuda dari Baduy Luar. Wajahnya bersih kemerah-merahan karena terpapar matahari siang kala itu. Ia mengenakan celana dan baju hitam polos khas baduy dengan tas anyam dari kulit kayu khas Baduy. Kang Epen juga mengenakan ikat kepala bermotif batik Baduy yang didominasi oleh warna biru tua dan hitam. Jika itu adalah ciri khas Baduy Luar, maka Baduy Dalam punya ciri yang berbeda. Pakaian mereka berwarna putih polos dengan ikat kepala berwarna sama dengan pakaian yang mereka kenakan.
Dari pintu masuk utama Desa Wisata Baduy, saya harus naik angkot untuk sampai di desa Cikeusik, salah satu desa tempat tinggal Baduy Dalam. Saya mendapat kesempatan untuk menginap satu malam di desa Cikeusik. Bahagia sekali rasanya. Kesempatan ini saya dapatkan karena Kang Epen memiliki orang tua angkat dari Baduy Dalam yang tinggal di Cikeusik. Rumah orang tua angkat Kang Epen akan menjadi rumah yang menaungi saya selama satu hari. Perjalanan dengan angkot menempuh waktu 1 jam untuk sampai di desa Cikeusik. Jalan yang dilalui berkelok-kelok sesekali ada banyak lubang-lubang di jalan. Di sekeliling jalan ada banyak rumah penduduk, anak-anak yang tengah berlarian, serta perkebunan penduduk sekitar.
Sesampainya di sekitar desa Cikeusik, hujan mulai turun rintik-rintik membawa keteduhan kala itu. Ternyata, saya dan Kang Epen harus berjalan selama 30 menit dulu sebelum sampai di desa Cikeusik yang sebenarnya. Saya tidak menjumpai sama sekali orang yang berlalu-lalang di jalan yang saya lewati. Sepi dan sunyi menyelubungi. Hanya ada jalanan tanah yang agak menanjak, hujan rintik yang sendu, serta rerumputan hijau yang basah dibasuh hujan. Langit kala itu kelabu tetapi tidak mengubur semangat saya untuk belajar banyak dari masyarakat Baduy Dalam yang akan saya jumpai.
Tak terasa 30 menit saya tempuh. Selama perjalanan saya sempat berfoto-foto, semakin dekat dengan desa Cikeusik, Kang Epen mulai melarang untuk berfoto sebagai cara kami untuk menghormati aturan adat Baduy Dalam. Dari kejauhan, mulai saya melihat atap-atap rumah bambu yang dibalut kabut sore bagaikan kapas yang beriringan. Mengarak menaungi rumah bambu Baduy Dalam. Saya bagaikan dibawa ke negeri awan yang tinggi yang hanya dibalut sunyi tanpa ada orang lain yang mengetahui.
Saya menyusuri bukit untuk menuju ke desa yang dibalut kabut tipis itu dan singgah beristirahat sejenak di sebuah pendopo bambu. Sejenak saya duduk di sana dan sekadar mencuci kaki di sungai yang gemericiknya terdengar sampai pendopo itu. Ketika saya tiba di bibir sungai, sungai itu terus mendaraskan syair alam yang abadi. Alirannya begitu tulus menyambut bagai pelukan ibu yang merindu. Airnya jernih sekali dan dingin, tapi saya tetap merasa hangat di hati.
Sungai itu dipeluk jajaran pohon hijau yang melambai-lambai sayu. Pemandangan ini menjadi pemandangan yang sangat manusiawi setelah saya hanya disuguhi jalanan beton kota, gedung-gedung tinggi penuh kesombongan serta lalu-lalang orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing di kota metropolitan. Saya seperti diajak pulang oleh alam yang memang menjadi Ibu dari kita sebagai manusia.
Kehangatan tidak hanya ada dalam aliran sungai Cikeusik. Kehangatan juga hadir ketika seorang bapak sebagai orang tua angkat Kang Epen menyambut kami di pendopo sore itu. Ia berpakaian serba putih dengan ikat kepala putih khas Baduy Dalam. Usianya mungkin sekitar 60 tahun dengan tatapan wajahnya yang terus berani menghadapi hidup. Beliau tidak begitu mahir berbahasa Indonesia, jadi Kang Epen lah yang lebih sering menterjemahkan kata-kata kepada saya dan keluarga.
Hari semakin sore, senja menjelma malam, menjadi gelap yang hadir ditemani gemericik sungai yang terus mengalir. Kami bersama-sama mulai menyantap makan malam. Makanan malam kami adalah telur, nasi, dan ikan asin. Telur saya bawa dari Jakarta, kemudian dimasak oleh Kang Epen di tungku pendopo. Saya dan yang lain menggunakan daun pisang selama makan bersama. Kami makan bersama Kang Epen dan juga ayah angkat Kang Epen sendiri yang sekaligus menjadi ayah saya juga satu hari ke depan.
Satu hal yang menarik di sini adalah ketika saya dan keluarga makan nasi dari beras yang disediakan ayah angkat Kang Epen. Beras yang dimasak menjadi nasi berasal dari padi gogo. Teksturnya lebih kasar daripada beras padi sawah. Berbicara tentang bercocok tanam, masyarakat Baduy Dalam tidak boleh menggunakan cangkul saat bercocok tanam sebab itu dianggap mengubah dan merusak bumi. Masyarakat Baduy Dalam berpegang teguh bahwa alam harus dibiarkan sebagaimana adanya. Tidak boleh diubah apalagi dirusak. Alam dikonstruksikan sebagai sebuah jagad yang sakral dan dihormati oleh masyarakat Baduy Dalam.
Malam semakin malam, meski saya tidak bisa banyak berbincang dengan ayah angkat Kang Epen yang mewakili masyarakat Baduy Dalam, tetapi saya tetap bisa belajar darinya. Dari kesederhanaannya. Malam pun membawa saya untuk datang ke rumah bambu milik ayah angkat Kang Epen. Kami terus mengikuti beliau berjalan sebab sekitar kami gelap gulita namun kami tidak diperkenankan memakai senter.
Ayah Kang Epen sudah hafal persis seluk beluk jalan menuju rumahnya. Rumah bambu masyarakat Baduy Dalam adalah rumah panggung. Di dalamnya hanya ada satu ruang kecil sebagai kamar sedangkan dapur bergabung dengan ruang kumpul bersama. Besar rumah bambu itu tak seberapa tetapi saya tetap merasa hangat dibalut malam dan disambut keramahan keluarga dalam rumah bambu sederhana itu. Ukuran rumah yang tidak besar justru membawa setiap anggota keluarga untuk selalu bertemu dan berkumpul. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang hangat dan terbuka menyambut.
Malam semakin malam, hening dan sunyi penuh kedamaian. Saya berbaring di ruang tengah sambil menatap langit-langit rumah. Rasa lelah terbayar karena saya mendapatkan ketenangan dalam batin saya. Suara jangkrik dan bisikan alam menina-bobokan saya layaknya pelukan seorang ibu. Jalan-jalan kecil sekitar rumah bambu sunyi sekali tak terdengar lagi orang berlalu-lalang. Kang Epen nampak berbincang dengan ayah angkatnya dengan wajah mereka yang diterangi temaram pelita.
Pagi-pagi sekitar pukul enam, saya keluar dari rumah. Udara sejuk menerpa wajah. Kabut pagi merekah. Desa Cikeusik bagai negeri kabut yang dingin dan sarat cerita. Nampak ibu-ibu sambil menggendong anaknya menuju sungai. Ternyata, sungai di desa Cikeusik terbagi jadi dua. Sungai untuk laki-laki dan perempuan. Saya dan ibu saya menuju sungai khusus perempuan. Saya duduk di bibir sungai. Anak-anak perempuan beserta ibu mereka menatap saya dengan malu-malu.
Mereka tersenyum tapi seolah ingin tahu, siapa saya. Mereka rata-rata sedang mencuci alat rumah tangga dengan abu gosok. Mereka semua cantik sekali. Kulit bersih, sebersih dan sejernih air sungai yang mengairi desa mereka. Saya tak pernah membayangkan, di tengah hiruk pikuk kota, ada sebuah desa kecil bernama Cikeusik. Masyarakatnya terus menjalani hidup setiap hari seperti ini. Membayangkan kota menjadi sesuatu yang amat jauh sekali. Senyuman ramah masyarakat Baduy Dalam mempertemukan saya dengan sebuah ketenangan yang selalu saya rindukan.
Masyarakat Baduy Dalam, dengan kesederhanaannya, dengan kerendahan hatinya, senantiasa tegak tak terbawa arus zaman yang menyesatkan. Mereka selalu tahu bahwa alam adalah rumah manusia yang sesungguhnya. Kita terlahir dan akan kembali padanya. Menjalani kehidupan dengan terus serasi terhadap alam, saya rasa itu menjadi sebuah anugerah kehidupan yang luar biasa. Mereka memaknai hidup tanpa mobil mewah, televisi, gadget, dan lainnya. Tidak, kita tidak bisa mengatakan mereka terbelakang atau ketinggalan zaman.
Sebab manusia selalu memiliki cara mereka masing-masing dalam memaknai kehidupannya sehingga kehidupan itu menjadi bermakna. Justru masyarakat Baduy sendiri telah mengajarkan pada saya jangan sampai saya tersesat di rimba kegiuran duniawi yang tanpa batas itu. Bagi saya, kebahagiaan adalah Baduy. Ketika mereka tidak terikat pada ketergantungan duniawi yang dipuja orang-orang saat ini.