Alunan musik folk, yang biasanya diiringi oleh gitar akustik saja, mungkin terdengar sederhana. Kekuatannya ada pada jalinan kata-kata. Dalam perhelatan ”Cikini Folk Festival” pada Sabtu (17/12) lalu, 12 penampil berkisah tentang apa saja: kegundahan hati, hujan yang merundung, sampai nasib petani.
Maaf, terlalu banyak kata-kata di kepala. Sampai mana tadi?” tanya Bagus Dwi Danto kepada 100-an penonton yang terpaku di dalam ruangan Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, saat hampir senja itu. Danto, menyandang nama panggung Sisir Tanah, lantas melanjutkan lagu ”Pidato Retak” yang terputus itu.
Lagu itu menumpukkan berbagai macam isu sosial-politik. Danto menyanyikan liriknya seperti orang berorasi dalam rangkaian kalimat panjang nyaris tak terputus. Petikan gitar akustiknya mengalun lirih saja.
”Telepon genggam diaktifkan, doa diaktifkan, harapan diaktifkan, janji palsu diaktifkan. Wartawan dibunuh, aktivis dibunuh, seorang dibunuh, belasan orang dibunuh, puluhan orang dibunuh, ratusan orang dibunuh, ribuan orang dibunuh, puluhan ribu orang dibunuh, ratusan ribu orang dibunuh, jutaan orang dibunuh,” begitu cerocosnya.
Nada suaranya meninggi saat melantunkan larik ”tuan dan nyonya belajar logika sudah sampai mana” berulang kali. Penonton duduk di kursi empuk terdiam, beberapa menyunggingkan senyum. Danto tak bisa melihat ekspresi penonton karena hanya ada satu lampu yang menyala di gedung itu, yaitu lampu sorot yang menerpa sosok jangkungnya.
Ia juga menyanyikan ”Lagu Hidup”, yang saat itu diiringi petikan gitar Iksan Skuter, penampil lainnya—yang ia sebut sebagai idolanya. Tembang itu pernah masuk dalam album kompilasi Papua Itu Kita keluaran 2015 lalu. Namun, tak ada kata yang identik dengan Papua di lagu itu.
Salah satu lariknya berbunyi, ”Jika orang-orang serakah datang, harus dihadang”. Danto bercerita, lagu itu untuk menggugah keberanian orang-orang atas penindasan. Karena itu, ia bisa menyanyikannya di pentas mana pun, seperti acara diskusi mahasiswa, aktivis lingkungan, atau acara hiburan belaka.
Sisir Tanah yang sehari-hari tinggal di Bantul, Yogyakarta, dapat jatah durasi sepanjang 50 menit, sedikit lebih panjang dibandingkan penampil lainnya. Iksan Skuter, misalnya, bernyanyi sekitar 30 menit, juga di panggung yang sama dengan Sisir Tanah.
Iksan adalah penyanyi dan pencipta lagu asal Malang, Jawa Timur. Tanpa banyak sorotan publikasi, Iksan telah mengeluarkan lima album. Salah satu lagu yang ia bawakan malam itu adalah ”Lagu Petani”, yang termaktub di album kelimanya, Benderang Terang, produksi 2016.
Pada lagu itu, ia bercerita tentang alam Indonesia yang indah, ”surga” bagi petani. Namun, nasib petani tak seindah alam Nusantara. ”Ketika pabrik tiba, petani dipenjara,” kata Iksan dengan suara lantang dan artikulasi yang jelas.
Kisah petani masih berlanjut pada lagu berikutnya, ”Kukira Jakarta”. Di lagu itu, dikisahkan petani kapok bertani karena harga jual hasil panennya anjlok, sementara biaya produksi melambung tinggi. Sang petani lantas beralih jadi buruh bangunan di Jakarta.
”Aku kira Jakarta adalah ladang emas yang memberi jawaban atas mimpiku…. Ternyata aku salah, ternyata aku rindu desaku,” begitu kira-kira petikan liriknya.
Sentilan bernuansa politis tetap menggaung di dalam gedung pertunjukan berakustik bagus itu. Band punk Marjinal menjadi penampil terakhir. Marjinal membawakan lagu-lagu mereka, seperti ”Rencong-Marencong” dan ”Hukum Rimba”, dalam balutan instrumen musik akustik. Lagu rancak bernuansa punk mengalir kencang lewat dua gitar bolong, jimbe, dan akordion.
Sentilan jenaka
Tak semua penampil menyanyikan lagu-lagu protes yang ”keras”. Banyak artis lain yang membawa cerita soal fenomena sehari-hari. Tak sedikit yang menyuguhkan cerita itu dalam nuansa jenaka.
Harlan Boer, mantan vokalis band indie pop C’mon Lennon, tampil di selasar Teater Kecil ketika hari masih terang. Ia membawakan lagu andalan ”Jajan Rock”, tentang fenomena mengonsumsi benda-benda yang berhubungan dengan musik. ”Bekerja demi sesuap nasi dan piring-piring hitam,” begitu petikannya.
Jason Ranti, penyanyi muda asal Tangerang, Banten, main santai di panggung selasar itu. Salah satu lagunya bercerita tentang ”hantu-hantu” yang bergentayangan, termasuk ”hantu komunisme” yang belakangan muncul lagi. Penonton banyak yang tertawa ketika ia menyanyi, ”Aku baca (buku) dari kiri ke kanan, dari kiri ke kanan. Aku baru sadar ini pasti buku kiri.”
Selain mereka, tampil pula AriReda yang sore itu banyak melagukan puisi bertema hujan, merespons hujan yang mengguyur Jakarta sejak siang. Ada juga Vira Talisa, Bin Idris, Gabriel Mayo, Sir Dandy, Junior Soemantri, dan Adrian Yunan.
Cikini Folk Festival adalah acara yang digarap Seri Bermain di Cikini, yang digagas Felix Dass, seorang penyiar radio dan penulis lepas artikel bertema musik. Felix mencatat, dalam beberapa tahun belakangan, makin banyak pemusik yang membuat karya bernuansa akustik balada, dan ia menyukainya.
”Musik folk sedang bergeliat enggak cuma ada di Jakarta atau Bandung saja. Dari Samarinda ada Manjakani. Ada juga Pygmy Marmoset dari Bali, dan Wake Up Iris dari Malang. Sebenarnya ingin mengundang mereka, tetapi dananya terbatas,” kata Felix, yang menjalankan acara dibantu 15 saudara dan kawannya ini.
Walau bekerja swadaya—festival ini tanpa didanai sponsor besar—Felix berencana membuat tujuh seri pentas di 2017 nanti. Jika terlaksana, maka akan semakin banyak kisah absurd, satir, atau protes yang bisa dilantangkan.
HERLAMBANG JALUARDI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 2016, di halaman 25 dengan judul “MUSIK Lagu yang Bertutur tentang Apa Saja”