Sejumlah lagu daerah dan nasional direkam ulang dengan aransemen bercita rasa jazz oleh Sri Hanuraga Trio dengan menggandeng Dira Sugandi dan disajikan dalam album Indonesia-Volume I. Tetap kental rasa Indonesia, dengan nuansa lebih modern dan kekinian yang makin menggugah rasa keindonesiaan.
Lagu-lagu itu, yakni ”Kicir-Kicir”, ”Bungong Jeumpa”, ”Tanah Airku”, ”Manuk Dadali”, ”Rayuan Pulau Kelapa”, ”Indonesia Pusaka”, ”Bengawan Solo”, ”Bubuy Bulan”, ”Kampung Nan Jauh di Mato”, ”Cublak Cublak Suweng”, dan ”Sik Sik Sibatumanikam”. Rata-rata adalah lagu yang sudah cukup dikenal meski biasanya diperdengarkan dalam versi aslinya. Pada lagu daerah kental nuansa tradisional.
Beberapa lagu di album tersebut dibawakan Sri Hanuraga Trio (feat Dira Sugandi), Selasa (22/11) malam, di Studio Shoemaker, Cikini, Jakarta Pusat. Itu adalah penampilan kedua Sri Hanuraga Trio bersama Dira Sugandi di Studio Shoemaker, setelah Juni lalu mereka memperdengarkan lagu-lagu tersebut kepada publik melalui live streaming.
Lagu-lagu tersebut sebelumnya telah dibawakan di acara Museumsuferfest Festival di Frankfurt, Jerman, dan mendapat respons positif dari publik Frankfurt. Pulang ke Indonesia, mereka lantas merekam lagu-lagu tersebut karena tak ingin lagu-lagu yang sudah diaransemen ulang itu teronggok begitu saja.
”Sayang kalau enggak direkam,” ujar Sri Hanuraga alias Aga. Dengan merekam dan mengedarkannya dalam bentuk CD dan digital, mereka berharap akan lebih banyak orang menikmatinya.
Di tangan Sri Hanuraga Trio yang diawaki Aga (piano/Rhodes/synth), Elfa Zulham (drum/programming), dan Kevin Yosua (double bass), lagu-lagu itu bermetamorfosis menjadi lagulagu bercita rasa baru dengan balutan jazz yang tebal. Malahan tak hanya jazz, mereka juga memberikan sentuhan musik elektrik, musik klasik kontemporer, hingga minimalis di lagu-lagu tertentu.
Vokal Dira Sugandi yang biasanya ”penuh kuasa” pun kali ini terasa berbeda. Terlihat Dira menyanyi dengan cara berbeda. Tak terlalu mendominasi, tak terasa merebut perhatian, tetapi tetap mampu memberi nyawa pada setiap lagu. Indah, sudah pasti.
Di lagu ”Kampung Nan Jauh di Mato”, nuansa jazz terasa menyeruak meski tetap menyisakan nuansa tradisional dari lagu Sumatera Barat itu. Permainan piano Aga, bass Kevin, dan drum Zulham yang rancak memberi energi baru di lagu itu. Simak vokal Dira yang tenang, mengalir mengikuti irama lagu seperti rindu pada kampung halaman yang indah namun jauh.
Lagu ”Rayuan Pulau Kelapa” yang bertempo lambat pun terasa sangat berbeda dengan dentingdenting piano yang mendominasi. Iramanya membuai, melayangkan pada imajinasi tentang keindahan alam Indonesia yang permai.
Begitu juga di lagu ”Kicir-Kicir” yang berlanggam genit. Permainan solo piano Aga mendominasi di awal lagu lalu melompat-lompat dengan lincah di sepanjang lagu, mentranformasikan kegenitan langgam lagu ditingkahi suara saksofon yang dibawakan Magnus Lindgren dari Swedia.
Di lagu ”Cublak-Cublak Suweng”, nuansa kekinian terasa sangat kental. Melodi piano yang bernuansa Jawa berpadu dengan nuansa musik elektronik dan klasik kontemporer. Eksplorasi yang berani itu menghadirkan aura yang sungguh terasa berbeda.
Lagu ”Bengawan Solo” karya Gesang disuguhkan dalam dua versi berbeda, yaitu versi bahasa Polandia yang berjudul ”Kiedy Allach Szedl” disambung versi bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Dira. ”Kiedy Allach Szedl”, ditulis oleh Marek Sewen dan Roman Sadowski, dibawakan oleh penyanyi muda Polandia, Kinga Prus.
”Bengawan Solo” yang sangat populer di Tanah Air itu rupanya pernah menjadi lagu populer di Polandia pada masa depresi ekonomi dan sosial pertengahan dekade 1960-an. Liriknya mengisahkan sebuah negeri dengan alamnya yang indah dan subur, untuk menginspirasi rakyat Polandia agar terus optimistis dengan perbaikan kehidupan di Polandia kala itu.
Menceritakan ulang
Secara keseluruhan, setiap lagu memberikan aura baru yang terasa lebih modern dan kekinian yang dimaknai Aga sebagai upaya menceritakan ulang lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional yang sudah dikenal orang dari angle yang berbeda, lebih modern, dan sophisticated. Untuk mendapatkan aura yang lebih modern dan sophisticated itu, mereka tak hanya memasukkan elemen jazz, tetapi juga elemen musik klasik kontemporer, minimalis, hip hop, pop, elektronik dan lain-lain.
Secara pribadi, proyek ini juga menjadi kelangsungan upaya Aga dalam usahanya menggali bebunyian (sound) yang menjadi karakter musiknya. ”Dari album pertama, saya selalu mencari sound (bunyi) yang menjadi karakter saya sendiri. Untuk mendapatkan karakter saya sendiri, saya harus menggali latar belakang saya. Salah satunya melalui musik yang memang sejak kecil hingga gede saya dengerin. Makanya dari dulu di album saya selalu ada aransemen lagu Indonesia,” tutur Aga yang menjadi motor Sri Hanuraga Trio.
Lagu-lagu yang ditampilkan di album Indonesia-Volume 1 tersebut merupakan lagu-lagu yang dianggap terkait dengan mereka secara pribadi. Lagu-lagu yang memang mereka suka, lagu-lagu yang mereka dengarkan sejak kecil.
Untuk Indonesia-Volume 1, mereka menampilkan lagu-lagu daerah dari Indonesia barat. ”Inginnya nanti juga ada album lagi untuk lagu-lagu dari Indonesia tengah dan Indonesia timur,” tambah Dira yang diamini oleh Prajna Muradaya, pendiri Studio Shoemaker.
Secara teknis, mengaransemen ulang lagu daerah dan memberikan aura baru pada lagu-lagu ber-tone tradisional sebenarnya tidak mudah. Salah satunya dari sisi sound yang sangat berbeda dengan lagu-lagu zaman sekarang.
”Kesulitan utamanya adalah menemukan vibe yang baru untuk lagu-lagu itu. Selain itu, bagaimana menemukan cara agar melodi lagu-lagu tradisional dan nasional yang melodinya umumnya simpel itu bisa bertemu dengan harmoni lagu-lagu barat. Ini tantangan terberatnya,” tambah Aga.
Lagu ”Sik Sik Sibatumanikam” adalah salah satu lagu yang penggarapannya cukup sulit. Secara ritmis, kata Aga, lagu dari Batak tersebut cukup kompleks.
Meski begitu, baik Aga, Zulham dan Kevin, berhasil menyuguhkan warna baru yang modern pada lagu-lagu tersebut, tanpa meninggalkan rasa Indonesianya. Bahkan, bisa dikata, sentuhan musik mereka mampu menggugah rasa keindonesiaan.
Dwi As Setianingsih
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Desember 2016, di halaman 22 dengan judul “Menggugah Keindonesiaan”