”Ombaknya menantang. Walau putus-putus, gulungannya tinggi dan benar-benar untuk peselancar profesional. Jika pemain baru, jangan coba-coba berselancar di sini, bisa digulung ombak lalu hilang terseret ke laut lepas,” kata Frank (35), asal Spanyol, pertengahan Oktober lalu, di Pantai Watu Karung, Kabupaten Pacitan.
Frank sudah dua pekan tinggal di Pantai Watu Karung, Dusun Ketro, Desa Watu Karung, Kecamatan Pringkuku. Dia bersama dua rekannya sudah beberapa kali menjajal ombak di pantai yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Pacitan, Jawa Timur, itu. Jalan ke pantai yang beraspal dan melintasi kawasan hutan memikat peselancar profesional untuk datang dan tinggal berbulan-bulan di tempat itu.
”Kami selalu rindu tempat ini karena ombaknya bisa berubah rendah atau tinggi hingga 4 meter, benar-benar menjadi tantangan. Bagi peselancar profesional, ke Watu Karung setelah dari Plengkung, Banyuwangi, dan Pantai Mentawai, Sumatera Barat,” kata Frank yang di setiap tempat tersebut biasanya tinggal 2-3 minggu.
Di Pantai Plengkung, menurut Frank, ombak justru nyaris tanpa putus dan tinggi. ”Luar biasa asyiknya,” ujarnya.
Pantai Plengkung yang berlokasi 20 kilometer dari Desa Grajagan dan masuk kawasan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi dan disebut G-Land ini memiliki ombak dengan ketinggian 6-8 meter. Gulungan ombak tak putus hingga sepanjang 2 kilometer. Ombak di Pantai Plengkung, kata Frank, bahkan memiliki 7 gulungan dengan interval sekitar 5 menit akibat tekanan air laut.
”Ombak terbaik kedua dunia di Pantai Plengkung, setelah Hawaii di Amerika Serikat. Namun, ombak di Watu Karung ini cocok untuk uji ketangkasan dalam berselancar meski ombak tak panjang. Setiap ombak itu ada karakternya, jadi tidak sekadar tinggi, tetapi juga rintangannya,” kata Frank yang juga sudah menjajal kedahsyatan ombak di Pantai Sorake, Pulau Nias, Sumatera Utara.
Menurut Asari (45), pemilik penginapan dan Warung Asih, Pantai Watu Karung sudah lama menjadi ”rumah” bagi peselancar asing dari 12 negara, paling banyak dari Australia, Amerika, Spanyol, Rusia, dan Singapura. Mereka datang dan tinggal berbaur dengan penduduk setempat.
Tidak kurang 100 peselancar biasa tinggal di kawasan ini, paling cepat pergi setelah sepekan. Bahkan, banyak yang betah tinggal hingga berbulan-bulan. Aktivitas mereka hanya menjajal ombak Watu Karung pada jam-jam tertentu yang menurut mereka menantang. Mereka menginap di rumah-rumah warga dengan sewa Rp 150.000 hingga Rp 2 juta per hari satu rumah.
Seperti diungkapkan Hans (27), peselancar dari Australia yang sudah sering ke Watu Karung. ”Jika ke tempat ini, paling cepat dua pekan, terus geser ke pantai lain di luar Jawa, lalu beberapa bulan lagi kembali ke Watu Karung karena suasananya masih alami dikelilingi hutan dan belum ramai,” ujarnya.
Memesona
Turis asing umumnya sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia karena setiap kali datang pasti lama tinggal di tempat itu dan umumnya datang lagi setelah beberapa tahun. Keistimewaan Pantai Watu Karung, selain ombaknya berkelas internasional, alamnya juga sangat memesona. Pantai pasir putih semakin indah dengan deretan batu karang di kawasan pantai. Banyaknya pohon besar membuat kawasan pantai terasa adem.
Di Pantai Watu Karung juga terdapat satu lokasi yang dikenal sebagai Putri Samudra karena batu karang ini menyerupai wajah seorang perempuan yang menghadap ke laut. Namun, jika dilihat dari sisi lain, bentuknya seperti kura-kura.
Lokasi Pantai Watu Karung masih terpencil sehingga tidak banyak wisatawan yang datang. Pantai ini satu dari puluhan pantai di Kabupaten Pacitan. Kabupaten yang berada di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur ini berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Kabupaten Trenggalek di timur, dan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di bagian barat.
Pantai Watu Karung menghadap langsung ke Samudra Hindia. Ini salah satu yang membuat ombaknya tinggi mencapai 5 meter. Gulungan ombak dengan tipe reef break dan tinggi menjadi daya pikat bagi peselancar asing untuk menaklukkan ombak Watu Karung.
Bahkan, pada 2009, peselancar top Indonesia, Rizal Tanjung, mengajak Bruce Irons, juara Rip Curl Pro Search 2008, menjajal dan membuktikan bahwa ombak Pantai Watu Karung sebagai ombak kelas dunia.
Menurut Ali (40), warga Pacitan yang sering mendampingi turis asing dan lokal yang berkunjung ke Pacitan, dari Pantai Watu Karung sudah lahir peselancar Pacitan, Salini Rengganis (15). Perempuan peselancar ini sekarang dikontrak oleh salah satu produk busana selancar internasional dan tetap rajin mengikuti berbagai lomba di dalam negeri dengan biaya sendiri.
Untuk menuju Pantai Watu Karung, dari pusat kota Pacitan membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Jalan menuju pantai berkelok-kelok dan banyak tanjakan, melintasi kawasan karst Gunung Sewu.
Penduduk terus membenahi dan melengkapi fasilitas di rumahnya karena semakin banyak turis asing mampir dan menginap di desa itu. Namun, sayang, perhatian pemerintah daerah masih minim untuk menata kawasan dan melengkapi rambu di bibir pantai. Beberapa kali kejadian peselancar hilang tergulung ombak tidak cepat diselamatkan karena tak ada fasilitas penyelamatan darurat.
Di era piknik sudah menjadi kebutuhan pokok, Watu Karung hendaknya kian dipoles agar semakin memikat turis lokal dan asing. Jangan biarkan penduduk berjibaku, sementara pemerintah daerah yang menampung retribusi justru tanpa aksi.
AGNES SWETTA PANDIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 02 Desember 2016, di halaman 23 dengan judul “PESONA NUSANTARA: Menantang Gulungan Ombak Watu Karung”