Sebanyak 104 band dari berbagai aliran musik—metal, punk, funk, blues, soul, pop, hingga dangdut—”tumplek blek” di ajang Synchronize Fest, pekan lalu. Ajang ini seperti pernyataan bersama bahwa musik tak perlu dikotak-kotakkan. Karena itu, di tengah kepungan band cadas, Soneta Group pimpinan Bang Haji Rhoma Irama mencuri perhatian anak muda dan membuat mereka tergoda untuk joget dan ”moshing” bersama.
Habis ini kami mau langsung ke Cimahi, mau manggung lagi. Jadi bisa dikira-kiralah berapa penghasilan kami ngeband sehari,” ujar Otong, vokalis Koil di hari terakhir Synchronize Fest di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, Minggu (30/10). Usai berkata-kata, Koil menggeber lagu ”Kenyataan dalam Dunia Fantasi”.
Tak sampai 1 jam setelah mereka turun panggung, rombongan Koil meninggalkan arena festival dengan menenteng aneka peralatan. Mereka masih memakai kostum panggung, hanya riasan muka yang sudah dibersihkan.
Koil main di Forest Stage, satu dari lima panggung yang ada di Synchronize Fest. Band asal Bandung ini main menjelang sore di bawah sinar matahari Kemayoran yang sedang galak. Penonton sebisa mungkin menempati ruang menonton yang ternaungi bayangan atap tenda, malas panas-panasan.
Jadwal main bagi Koil itu di luar kelaziman buat mereka. Sebagai band cadas yang banyak penggemarnya, mereka sering menjadi penutup sebuah acara atau sesaat sebelumnya. Kali ini berbeda. Mereka mesti menyanyikan lagu macam ”Kesepian Ini Abadi” dan ”Nyanyikan Lagu Perang” saat hari masih terang. Namun, dengan jadwal main sebelum sore, Koil bisa mengejar jadwal main di Cimahi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pukul 20.00.
Sebelum main di Synchronize Fest, dua malam berturut-turut Koil main di daerah Kelapa Gading dan Lebak Bulus, Jakarta. Jadi, dalam tiga hari ada empat pentas yang dijalani band yang aktif sejak 1993 ini.
DeadSquad juga sama tergesa-gesanya dengan Koil. DeadSquad tampil terakhir di hari pertama Synchronize Fest ketika hari telah berganti Sabtu. Di jadwal, mereka diberi jatah durasi tampil 1 jam, bareng dengan Sheila on 7 yang beraksi di panggung lainnya. Namun, Daniel dan kawan-kawan harus pamit kepada penontonnya ketika jam masih menunjukkan pukul 00.40 lewat lagu ”Manufaktur Replika Baptis”.
Kalau Koil harus segera beringsut ke Cimahi, DeadSquad harus bertolak ke Tokyo. Mereka memulai tur selama sepekan di ”Negeri Sakura” di acara Akasuka Death Fest pada Minggu malam.
Entah karena jadwal mainnya yang terlalu larut, cuma sedikit pengunjung festival yang menyimak aksi band death metal ini. Kata Jeff Adriano, manajernya, harga tiket di atas Rp 100.000 terlalu mahal untuk PasukanMati, sebutan bagi kelompok penggemar DeadSquad.
DeadSquad berusaha menyenangkan penggemarnya yang telah menunggu malam itu. Mereka bermain habis-habisan. Suara yang terdengar tetap prima selayaknya show mereka.
Tiga kali
Sebelum DeadSquad main, mantan gitaris mereka, Coki Bollemeyer, terlihat hilir-mudik di arena festival yang luas. Pada hari pertama itu, Coki tiga kali naik pentas. Sore harinya, ia tampil bersama grup jazz bentukannya Sunyotok. Tak lama, ia pindah panggung ke Gigs Stage untuk beraksi bersama band punk Blackteeth. Terakhir, ia tampil bersama Bagus dan Eno Gitara di trio ugal-ugalan NTRL. ”Gue bukannya kerja keras, tapi main keras. Gue seneng banget nih.”
Gigs Stage menjadi tempat main banyak band yang liar dan agak janggal. Ada The Kuda yang selaras dengan Blackteeth. Ada The Paps yang membesut reggae dengan nuansa psikadelia. Ada That’s Rockefeller yang seperti mengingatkan kesintingan The Doors era awal.
Band FSTVLST dari Yogya main di hari terakhir. Lagu ”Orang-orang di Kerumunan” dan ”Hujan Mata Pisau” dibawakan amat baik. Vokalisnya, Farid Stevy, berkali-kali meluncur di atas kepala penonton. Ia menyapa para perantau muda di Jakarta dan memuji mereka karena mengambil sikap berani bekerja demi gaji yang segera habis untuk melunasi cicilan.
Band grunge dari Bali, Navicula, sama sibuknya. Penampilan bernas dari Navicula cukup menyedot perhatian. Lagu sarat pesan gamblang macam ”Orangutan” dan ”Mafia Hukum” ditingkahi jejingkrakan penonton. Robi, vokalisnya, mengajak penonton berdialog tentang identitas bangsa. Tapi, dialog itu lebih pantas disebut monolog. Penonton tetap menggila ketika lagu terakhir, ”Metropolutan”, dibawakan.
Selain Navicula, ”perantau temporer” lainnya, Shaggydog, juga tak membuang kesempatan main di Jakarta itu. Selain mengajak pengunjung Synchronize Fest berdansa, Heru dan kawan-kawan tampil di dua acara lain untuk promosi album baru mereka, Putra Nusantara.
Di tengah kepungan band-band keras yang dimotori anak muda, band dangdut Soneta berhasil mencuri perhatian, Sabtu malam. Bermain jelang dini hari, Rhoma Irama berhasil mengajak anak-anak muda untuk bergadang yang ada gunanya.
Sebagian penonton yang sebagian besar mungkin belum lahir ketika Soneta dibentuk tahun 1970 kelojot berjoget mengikuti entakan gendang. Sebagian tergoda moshing diiringi lagu ”Santai”, ”Judi”, dan ”Mirasantika”.
Begitulah Synchronize yang berhasil meleburkan pencinta ska, grunge, punk, funk, metal, pop, dan dangdut dalam pesta bersama.
Herlambang Jaluardi
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 November 2016, di halaman 24 dengan judul ”SYNCHRONIZE FEST Pesta Musik Kaum Muda”