Lautan, dan terutama pesona bawah laut, merupakan hal utama yang terlintas di pikiran tentang Wakatobi.Impresi itu tidak salah karena sekitar 90 persen keragaman terumbu karang di dunia berada di dalam laut Wakatobi yang merupakan gabungan suku kata depan empat pulau di wilayah kepulauan tersebut, yakni Wangiwangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Berdasarkan catatan Kompas, sekitar 750 jenis terumbu karang, dari sekitar 850 jenis di dunia, ada di Wakatobi. Karena itulah, Wakatobi termasuk salah satu dari 10 tujuan wisata yang pembangunannya menjadi prioritas pemerintah pusat.
Adapun sembilan daerah lain yang juga beroleh status prioritas tersebut adalah Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, dan Morotai. Keragaman terumbu karang di Wakatobi juga termasuk yang diperhitungkan dalam jejaring negara-negara Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs Fishery and Food Security, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor-Leste, Papua Niugini, dan Kepulauan Solomon.
Ini sekalipun sejumlah hal juga mengancam keberlangsungannya, seperti penangkapan ikan dengan metode tidak lestari dengan menggunakan bom atau sianida, pemutihan (bleaching) menyusul pemanasan iklim, sedimentasi menyusul pembangun di daratan, dan sebagainya. Namun, pesona bawah laut itu tetap mengundang sejumlah wisatawan untuk datang karena pesona bawah laut Wakatobi tetap menarik dan cenderung mudah dijangkau menyusul titik-titik penyelamannya yang relatif banyak.
Underwater nirvana. Begitulah kata Jacques Cousteau (Jacques-Yves Cousteau, oseanografer dan salah seorang penemu perangkat selam SCUBA), ihwal pesona bawah laut Wakatobi.
Akan tetapi, rupanya Wakatobi bukan melulu tentang laut. Pesona di darat, terutama yang terkait dengan aspek sosial budaya, juga tak kalah memesona.
Sebagian untuk tujuan mengenalkan sisi lain Wakatobi itulah, pada 14-20 September lalu sejumlah jurnalis dan awak media melakukan kunjungan ke Wakatobi yang statusnya pada 1996 adalah sebagai wilayah taman nasional. Kunjungan tersebut difasilitasi Swisscontact, lembaga berbentuk yayasan berorientasi bisnis pada bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Segera setelah tiba di Wangiwangi, setelah menumpang Kapal Motor Uki Raya 06 dengan volume 83 GT (gross tonnage) dari Kota Baubau yang semalaman membelah Laut Banda sejak Rabu (14/9) hingga Kamis (15/9) pagi, Kompas langsung bersiap menuju Tomia. Sebetulnya, pelayaran dari Kota Baubau menuju Wangiwangi bukanlah satu-satunya pilihan.
Penerbangan menuju Bandara Matahora, Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi, bisa saja ditempuh dari Jakarta setelah sebelumnya transit di Makassar dan Kendari. Namun, terkadang pelayaran mesti ditempuh menyusul rute udara yang kerap terlalu padat sehingga tidak memungkinkan beroleh tiket dalam waktu seketika.
Jika itu yang terjadi, penerbangan menuju Bandara Betoambari, Kota Baubau, dari Makassar menjadi pilihan untuk seterusnya disambung dengan pelayaran laut. Jalur pelayaran yang beroperasi juga ada beberapa pilihan, termasuk pelayaran dari Lasalimu di tenggara Baubau.
Pelayaran dari Lasalimu dimulai sekitar pukul 06.00 WIT dan 3 jam perjalanan darat dari Kota Baubau mesti ditempuh sebelum tiba di Lasalimu. Tentu saja pilihan ini relatif lebih melelahkan.
Menyepi di Kulati
Pelayaran selanjutnya menuju Desa Kulati, Kecamatan Tomia Timur, Pulau Tomia. Saat itu, sebagian warga tengah bersiap untuk acara peresmian desa tersebut sebagai desa wisata dengan konsep CBT (community based tourism).
Konsep tersebut pada sebagian praktiknya adalah dipergunakannya rumah-rumah sebagian penduduk untuk tempat menginap wisatawan. Salah satu yang dipergunakan adalah rumah Supiani, yang hari itu ditinggali bersama anaknya, Vika. ”Kita minum apa, kopi ya,” kata Supiani menawari Kompas yang menginap di rumah itu sebagai tamunya.
Kata ”kita” dipergunakan untuk menyapa tamunya, sembari menceritakan sebelumnya sudah dua kali ia menerima wisatawan untuk menginap di rumahnya. Pengunjung pertama dari Yogyakarta, sekitar setahun lalu, dan yang kedua berasal dari Jakarta.
Desa wisata dengan konsep CBT dikenalkan Swisscontact dalam bingkai keseluruhan. Field Office Manager Swisscontact-Wisata, Wakatobi, Asri Kasim menyebutkan setidaknya ada 10 desa terkait dengan konsep CBT. Ini menyusul konsep pariwisata berkelanjutan yang senantiasa terkait dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya, serta membuat peranan desa-desa lainnya relatif tidak bisa dikesampingkan. Konsep CBT juga diharapkan berperan sebagai instrumen untuk mempertahankan berbagai aspek lingkungan dan masyarakat di Wakatobi sebagai entitas budaya secara keseluruhan.
Project Manager Swisscontact Rudi Nuetzi, dalam sambutannya pada peresmian Desa Kulati sebagai desa wisata, mengatakan, pesona wisata Wakatobi yang mengundang banyak wisatawan berkunjung mestilah diwaspadai. Kunjungan terlalu banyak orang dalam satu waktu tertentu dapat menimbulkan semacam ancaman bagi ketahanan budaya penduduk lokal, dan oleh karena itulah penting disadari serta direspons.
Selain inisiasi dari luar, seperti oleh lembaga Swisscontact, penduduk setempat rupanya juga telah memiliki inisiatif sendiri tentang bagaimana membangun kampungnya. Salah satunya adalah Forum Pota Paki yang diadakan setiap tiga tahun sekali.
Forum itu adalah ajang pulang kampung bagi diaspora orang Tomia di mana pun mereka berada. Terakhir diselenggarakan pada 2015 lalu, yang merupakan penyelenggaraan keempat, dengan dihadiri lebih dari 700 orang.
Fokusnya terutama adalah pembangunan Desa Kulati dengan program terakhir berupa menara masjid yang dibangun hanya dalam tempo tiga bulan. ”Kebanyakan orang Tomia merantau sebagai pedagang di Maluku, Jawa, Papua,” kata La Ode Marwan, warga Desa Kulati yang juga seorang guru SD setempat.
Hal lain yang juga menjadi catatan dari desa tersebut ialah kesadaran yang relatif tinggi pada pendidikan. Nyaris di setiap rumah warga, pada dinding bagian dalam rumah mereka terpajang foto wisuda salah seorang anggota keluarga atau keturunan mereka. Kesadaran relatif tinggi pada pendidikan ini menjadi indikator lain dari kecenderungan sifat keterbukaan sebagian besar warga, selain kesediaan untuk menerima orang asing untuk menginap sebagai wisatawan.
Dua hari di Kaledupa
Perjalanan lalu dilanjutkan ke Pulau Kaledupa. Kunjungan ke daratan Kaledupa ini dilakukan selain menemui Orang Bajo di kawasan Sampela yang berada di muka Pulau Kaledupa dan berseberangan dengan Pulau Hoga, di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Adalah tradisi Karia yang dalam kesempatan itu hendak dilihat. Tradisi ini hidup di sebagian masyarakat Sulawesi Tenggara dan pada 17-18 September lalu diadakan di Pulau Kaledupa.
Tradisi ini dilangsungkan sebagai bagian Festival Barata Kaledupa yang digelar 17-24 September. Penyelenggara festival ini termasuk Kaledupa Island Tourism Group yang diinisiasi lembaga Swisscontact, Kementerian Pariwisata, dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi.
Dalam dua hari itu, remaja dan anak-anak perempuan serta laki-laki mengikuti sejumlah prosesi. Pada Sabtu (17/9), peserta laki-laki mengikuti ritual tersebut, dan bergantian untuk peserta perempuan pada esok harinya.
Banyak makna dan tafsir terkandung dalam ritual ini, tetapi yang digambarkan secara umum adalah proses menjelang kedewasaan seseorang sebagai manusia. Bagi peserta laki-laki, mereka diarak sembari berjalan kaki sekitar 3 kilometer dari pelataran Masjid Bente di Desa Ollo Selatan menuju Lapangan Ambewa dalam prosesi bernama henauka nu mo’ane.
Adapun peserta perempuan, yang sehari sebelumnya menunggu di rumah untuk menjalani sombo atau pingitan, pada Minggu (18/9) diarak dari rumah masing-masing menuju Lapangan Ambewa dengan sejumlah tandu dalam prosesi henauka nu wowine.
Leggo paka koada. Kalimat ”lenggang (kami melenggang, berjalan) dan kami tidak meminjam (pakaian dan seluruh yang dikenakan atau dipergunakan),” yang dapat ditafsirkan sebagai sebuah kebanggaan personal diteriakkan sepanjang jalan.
Wisata budaya
Perjalanan kami lalu berlanjut lagi ke Desa Liya Togo di Kecamatan Wangiwangi Selatan. Ini artinya kami harus berlayar lagi dari Pulau Kaledupa ke Pulau Wangiwangi. Namun, Liya Togo memang layak disambangi. Keberadaan sejumlah situs cagar budaya, seperti Benteng Liya dengan fisik berupa tumpukan batu karang yang direkatkan dengan campuran kapur dan putih telur, menjadi daya tariknya.
Selain itu, terdapat Masjid Mubarok. Muhamad Riadi, yang merupakan Sekretaris Kepo’oli atau kelompok Pengelola Pariwisata Liya Togo, mengatakan, masjid tersebut dibangun pada 1546 dan merupakan yang pertama di Wakatobi.
Sebuah struktur panggung seperti rumah berdiri di sisi timur, melengkapi benteng yang berada di sisi selatan dan masjid di sisi barat. Itu adalah tempat musyawarah adat (baruga).
Di desa ini kita bisa mendengar kisah tentang pemimpin masyarakat (miantu) yang dipilih bukan atas dasar garis keturunan. Syaratnya yang terutama adalah kekuatan fisik dan kecerdasan dalam berstrategi guna menghadapi ancaman.
Salah satu cara untuk menyaring orang-orang dengan kualifikasi seperti itu ada pada permainan poseppa yang merupakan aktivitas baku sepak. Praktiknya, para pemain berpasangan dan saling beradu sepak satu sama lain.
Kesan sebagai daerah yang relatif kering dan gersang tidak terelakkan menyusul bebatuan karang yang meliputi desa tersebut. Perkebunan warga yang ditanami delima, singkong, srikaya, mangga, dan nangka juga berada di lahan bebatuan tersebut. Untuk menanaminya, warga perlu mencari celah-celah kecil di antara bebatuan sebagai tempat tumbuhnya bibit tanaman.
Meski demikian, kesan tersebut pupus manakala sejumlah penganan, makanan, dan minuman tradisional dihidangkan di tengah-tengah desa yang ditumbuhi sejumlah pepohonan rimbun. Salah satu yang tak bisa dilupakan adalah jus asam (tamarind) yang dicampur dengan susu kental manis dan lantas diblender lagi bersamaan denngan es. Inilah keseimbangan yang mewujud dalam surga kecil di dunia.
Ingki Rinaldi
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Oktober 2016, di halaman 29 dengan judul “Wakatobi, Keseimbangan Daratan dan Lautan”.