Yang Muda yang Bersastra

0
887

Jika sastra itu sejenis bunga, saat ini memasuki musim semi. Anak-anak muda usia belasan hingga dua puluhan tahun tengah puber-pubernya bersastra. Di berbagai kegiatan sastra bertaraf nasional dan internasional, anak-anak muda mendominasi.

Tengoklah, misalnya, Makassar International Writers Festival (MIWF) yang digelar pada Mei lalu. Dari sekitar 8.000 pengunjung dan peserta selama empat hari acara, 80 persennya anak muda usia belasan dan dua puluhan tahun tadi. Para sukarelawan dan panitia juga anak-anak muda.

Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) pun didominasi anak muda. Acara ini baru digelar pada akhir Oktober. Data panitia menunjukkan, saat ini telah masuk naskah 894 penulis dari 201 kota di 33 provinsi.

”Sebagian besar anak-anak muda dan luar biasa kualitasnya,” komentar Wayan Juniartha, Indonesian Program Manager UWRF.

Selain MIWF dan UWRF, juga ada Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang belum lama ini digelar dengan mengusung tema ”Setelah 200 Tahun Serat Centhini Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-kitab Nusantara”.

Joko Pinurbo dan Sapardi Djoko Damono saat berbincang tentang sastra di Taman Ismail Marzuki dan ditonton ratusan anak muda pada Mei 2016. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq (MHF) 06-05-2016
Joko Pinurbo dan Sapardi Djoko Damono saat berbincang tentang sastra di Taman Ismail Marzuki dan ditonton ratusan anak muda pada Mei 2016.
Kompas/Mohammad Hilmi Faiq (MHF)
06-05-2016

Di bawah payung Samana Foundation, Direktur BWCF Yoke Darmawan bahu-membahu bersama Seno Joko Suyono, Wicaksono Adi, Mudji Sutrisno, Dorothea Rosa Herliany, Sutanto Mendut, dan Imam Muhtarom menggalang dana agar BWCF bisa terus berlangsung.

BWCF, kata Seno, berkonsentrasi pada naskah-naskah tua Nusantara yang memiliki nilai kerakyatan. ”Tahun ini kita bicara Serat Centhini dan I La Galigo. Keduanya adalah naskah klasik Nusantara yang perlu terus digali nilai-nilainya,” kata Seno.

Acara-acara seperti ini selalu penuh anak muda. Bahkan, dalam skala yang berbeda, semisal ”A Rare Conversation Sapardi X Jokpin” di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menjadi bagian The 3rd ASEAN Literary Festival 2016. Dari sekitar 300 penonton, sebagian besar adalah anak muda yang mengenal puisi-puisi Sapardi dari buku dan lagu-lagu Ari-Reda. Juga akrab dengan sajak-sajak Joko Pinurbo yang menggoda.

Suasana santai

Setiap pekan terakhir bulan Oktober, Desa Ubud yang permai dan hijau pun disatroni para penulis, ”kutu buku”, sekaligus turis. Gairah akan novel, puisi, juga karya lainnya melebur dengan hasrat berlibur di Pulau Dewata.

Dari tahun ke tahun, para sastrawan dan aktivis dari belahan dunia berkisah tentang karya dan energi yang mendorong mereka menulis di kafe-kafe dan restoran yang bertebaran di Ubud. Terkadang, mereka berbagi cerita di ruang-ruang makan hotel berbintang dengan pendengarnya yang menyimak di antara sesapan kopi, anggur, atau kunyahan makanan. Kaus, celana pendek, topi piknik lebar, dan kacamata hitam yang nyaman menjadi pemandangan yang biasa berseliweran.

Setelah sesiangan puas berpindah-pindah mendengarkan puluhan cerita, malam diisi dengan adu puisi, monolog, tari-tarian, musik, atau pertunjukan lainnya. Buat mereka yang rajin bangun pagi, ada kelas yoga, memasak makanan khas Bali atau Indonesia, hingga acara jalan-jalan menyusuri desa yang dapat diikuti.

Belakangan, pengunjung hajatan itu bukan hanya turis ”pensiunan” yang tengah bertualang ke negeri timur, melainkan juga kaum muda yang menggemari karya tulisan. Mereka datang berkelompok sebagai penyimak atau menjadi sukarelawan penyelenggaraan festival dan mencari pengalaman.

Pada MIWF pun demikian. Peserta dan pengunjung diajak melebur dalam suasana santai meskipun mereka tetap serius menikmati sastra. Salah satunya adalah acara ”A Cup of Poetry” yang digelar setiap sore selama MIWF. Pengunjung dan peserta dipersilakan membaca puisi di ruang terbuka. Lalu, Produser Eksekutif MIWF Riri Riza menyeduh kopi serta membagikannya kepada para penyair dan penonton. Juga ada ”Singing Your Poetry” yang memberi ruang pada penyair dan penyanyi berinteraksi. ”Ini acara paling favorit,” kata pendiri sekaligus Direktur MIWF Lily Yulianti Farid.

Ari dan Reda saat melagukan puisi puisi Sapardi Djoko Damono di Taman Ismail Marzuki dan ditonton ratusan anak muda pada Mei 2016. Lewat lagu-lagu mereka ini, puisi Sapardi makin membumi. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq (MHF) 06-05-2016
Ari dan Reda saat melagukan puisi puisi Sapardi Djoko Damono di Taman Ismail Marzuki dan ditonton ratusan anak muda pada Mei 2016. Lewat lagu-lagu mereka ini, puisi Sapardi makin membumi.
Kompas/Mohammad Hilmi Faiq (MHF)
06-05-2016

Berjuang ikut ”workshop”

Anak-anak muda itu bersemangat baja meski tak selalu berduit. Laras (22) asal Tangerang Selatan, Banten, nekat mengikuti lokakarya Penulisan Kreatif Kompas di arena BWCF. Ia berangkat naik bus dari Ciputat menuju Magelang, Jawa Tengah. ”Dari terminal saya naik ojek dan pukul 05.00 pagi sudah sampai di lokasi, tetapi tidak diberi masuk oleh satpam,” kata Laras berkisah. Kebetulan Platio Restoran bagian dari Hotel Plataran Borobudur letaknya agak jauh dari permukiman penduduk.

Sesudah mengikuti lokakarya, Laras tidak tahu harus menumpang menginap di rumah siapa. ”Saya berangkat saja karena dinyatakan lolos. Soal menginap nanti ditimbang lagi sesampai di lokasi,” katanya. Ia akhirnya diberi kamar oleh salah seorang panitia yang kebetulan sudah harus check out. ”Selalu ada jalan untuk kenekatan,” kata Laras.

Rizqi Turama (24) asal Palembang juga termasuk nekat dengan dana sendiri untuk mengikuti lokakarya serupa. Ia terbang dari Palembang menuju Yogyakarta dengan pesawat. ”Kemudian dari Yogyakarta naik sepeda motor milik teman ke Borobudur,” cerita Rizqi.

Menurut Wayan, mereka adalah generasi milenial yang dicurigai meninggalkan buku dan lebih intim dengan gawai. Namun, keterlibatan dan keaktifan anak muda dalam berbagai acara sastra itu menunjukkan bahwa pemerhati sastra tidak perlu khawatir tentang regenerasi. Mereka memang aktif di dunia maya dan memiliki berbagai akun di Twitter, Instagram, Snapchat, hingga Youtube. Namun, di dunia nyata pun eksis.

Dalam pandangan Wayan, anak-anak muda itu butuh ruang ekspresi sebanyak mungkin. Salah satu yang memengaruhi mereka adalah karya-karya sastra yang begitu laris, seperti Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman el Shirazy), Supernova (Dewi Lestari), Negeri Lima Menara (Ahmad Fuadi), dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata).

Karya-karya itu membangkitkan gairah anak muda karena mempunyai nilai lokalitas, ide-ide besar, sekaligus populer. Penulisnya lalu menjadi ikon di media sosial. Selebritas para penulis itu turut memengaruhi gairah anak muda bersastra.

Dimas Pradita (8) membacakan puisi bersama ayahnya Yusef Muldiyana dalam acara peringatan ulang tahun ke-6 Majelis Sastra Bandung di Studio Jeihan, Bandung, Minggu (25/1/2015). Sastra sedang digemari para remaja, termasuk anak-anak. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq (MHF) 25-01-2015
Dimas Pradita (8) membacakan puisi bersama ayahnya Yusef Muldiyana dalam acara peringatan ulang tahun ke-6 Majelis Sastra Bandung di Studio Jeihan, Bandung, Minggu (25/1/2015). Sastra sedang digemari para remaja, termasuk anak-anak.
Kompas/Mohammad Hilmi Faiq (MHF)
25-01-2015

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2016, di halaman 24 dengan judul “Yang Muda yang Bersastra”.