Jika piknik sekadar jalan-jalan, rasanya kurang lengkap. Ingin menyusuri hutan sembari belajar dari alam? Relaksasi tubuh dan pikiran dengan membiarkan sejuknya hawa pegunungan merasuki diri? Pengalaman itu bisa diperoleh di lokasi yang cukup tersembunyi di kawasan Puncak.
Tujuan wisata seru ini adalah Hutan Organik di Megamendung dan Desa Batulayang, Cisarua. Kedua lokasi ini menawarkan cara berbeda untuk belajar mengenal alam lebih dekat. Menuju dua lokasi tersebut lebih cocok menggunakan mobil berpenggerak empat roda karena medan jalan yang cukup terjal dengan jalan berbatu yang penuh lubang. Meskipun demikian, asal lihai, mobil-mobil kecil pun bisa mengatasi rintangan dan sampai ke lokasi.
Menuju Hutan Organik, susuri Jalan Raya Puncak dari pertigaan Gadog hingga sekitar 4 kilometer ke arah Cisarua kemudian berbelok ke kiri di pertigaan Megamendung dengan patokan Masjid Nurul Huda. Lalu tempuh jarak sekitar 3 kilometer untuk mencapai lokasi. Berada di ketinggian sekitar 850 meter di atas permukaan laut, Hutan Organik cukup tersembunyi di antara jalan yang sempit di antara lekukan bukit berbatu bercampur tanah lumpur.
Sebuah gazebo berbahan kayu dengan beragam informasi mengenai hutan organik dan proses pembentukannya menyambut para petualang. Hutan Organik seluas 25 hektar tersebut dirintis pasangan suami-istri Rosita-Bambang Istiawan selama 16 tahun.
Awalnya, Rosita membeli lahan seluas 3.000 meter persegi pada 2000. Setahun berselang, Rosita, Bambang, dibantu putra mereka, Yuhan, mulai menanami kembali lahan kritis sedikit demi sedikit. Kegagalan pun sudah kerap dialami, tetapi mereka tidak patah arang. Sedikit demi sedikit lahan pun meluas.
Dengan merangkum dari beragam sumber dan belajar dari pengalaman, mereka melakukan penghijauan secara bertahap. Tahun 2004-2010 adalah fase pembentukan, lalu tahun 2010-2012 fase perawatan dan sosialisasi eksternal, terakhir 2013 hingga saat ini fase perawatan dan pengembangan.
Kini, puluhan ribu pohon dari ratusan jenis ditanam di hutan ini dengan metode tumpang sari yang ramah lingkungan. Semua tanaman memakai pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan ternak ataupun serasah. ”Yang sudah jadi hutan seluas 12 hektar, sedangkan yang masih proses penanaman untuk diupayakan menjadi hutan ada 13 hektar. Jadi belum semuanya benar-benar menjadi hutan,” kata Rosita, yang memiliki dua anak dan empat cucu tersebut.
Alhasil, tanah tandus itu kini laksana hutan hujan tropis alami. Mata air yang semula mengering muncul kembali. Jika berada di hutan, terdengar bunyi gemericik air berbaur suara gesekan daun yang diterpa angin. Lahan hutan dibagi tiga zona, yakni zona konservasi 6 hektar, zona tanaman ekonomi 4 hektar, dan zona pemanfaatan 2 hektar. Di dalam zona pemanfaatan, ada gazebo dan penginapan berbahan kayu, kolam ikan, tempat parkir, serta kandang kambing.
Saat gelap tiba, suara jangkrik, kodok, dan burung pun bersahutan. ”Saya ingin hutan ini dapat dirasakan manfaatnya bukan hanya bagi anak cucu saya, melainkan juga untuk anak cucu siapa pun. Sebab, alam selalu menjaga manusia,” ujar Rosita.
Lahan 25 hektar itu tersebar di Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, seluas 12 hektar dan Desa Gunung Geulis, Kecamatan Sokaraja, 13 hektar. Dengan lahan seluas itu, Rosita hanya menjaganya bersama keluarga dengan ditemani seorang penjaga keamanan dan beberapa ekor anjing.
Sejak lima tahun terakhir atau di saat hutan organik mulai muncul, Rosita dan keluarga membuka diri bagi mereka yang ingin belajar mengenai tanaman dan cara merawatnya. Sejak itu, kawasan Hutan Organik Megamendung mulai ramai dikunjungi orang untuk belajar. Ada pengajar dan mahasiswa Institut Pertanian Bogor, unsur pemerintahan, organisasi non-pemerintah, kelompok pencinta lingkungan, petani dari daerah lain, hingga menteri dari Timor-Leste.
Jika ingin menjelajah Hutan Organik, Yuhan atau petani setempat dengan senang hati memandu, tetapi tetap perlu mengenakan sepatu trekking atau boots. Nikmatilah hutan dengan beragam jenis tanaman yang selama ini terasa asing bentuk batang, buah, akar, ataupun bunganya. Sebut saja, kapulaga, lada, akar wangi, rasamala, puspa, dan saninten. Bahkan, ada juga pohon ulin dari Borneo ataupun pohon dari Afrika.
Jika ingin ikut menanam, keluarga Rosita menyediakan bibit beserta polybag. Pengunjung juga dapat belajar membuat pupuk organik dari pelepah pisang ataupun kotoran hewan ternak. Selain itu, ada peragaan pembuatan pompa hidran, yakni pompa air tanpa tenaga listrik atau bahan bakar untuk menyedot air di bawah tanah.
Jika hanya masuk dan menjelajah hutan organik, pengunjung tidak dikenakan biaya. Namun, pengelola hutan organik menarik biaya Rp 25.000 hingga Rp 150.000 per orang jika pengunjung ingin belajar menanam, membuat pupuk, membuat pompa hidran, dan makan siang dari sayuran organik. Ada biaya tambahan Rp 200.000 per malam, termasuk makan dan kudapan, jika menginap di rumah kayu atau Rp 50.000 per orang jika menginap di tenda.
Uang diserahkan kepada petani yang memandu dan menyiapkan bibit pohon, warga yang membuatkan makan minum pengunjung, serta sewa tenda.
”Outbound”
Pilihan wisata alam asyik lain jatuh pada Desa Wisata Batulayang. Dari arah Jakarta dapat melalui Jalan Raya Puncak, kemudian berbelok ke kiri di pertigaan Agrikon yang berada sekitar 10 meter setelah Pasar Cisarua. Sekitar 4 kilometer dari pertigaan, desa wisata berada. Jika menggunakan kendaraan pribadi, waspadai truk tronton kepolisian yang melintas mengangkut wisatawan. Bisa terjadi kemacetan karena jalanan terlalu sempit.
Di Desa Wisata Batulayang, kita dapat menjajal wisata outbound sekaligus trekking ke air terjun Curug Kembar dan perkebunan. Terdapat sejumlah lokasi outbound dan penginapan yang tersedia, mulai dari D’Jungle yang berada di atas lahan seluas 4 hektar, kemudian Imah Mang Iding di lahan 2 hektar, ataupun menginap di rumah warga setempat yang ditunjuk pengelola desa wisata.
Ade Rusmana, Ketua Pengelola Desa Wisata Batulayang, menuturkan, terdapat lima perusahaan operator outbound dengan 20 instruktur yang digerakkan para pemuda Batulayang. Hanya D’Jungle yang dimiliki oleh investor dari luar Batulayang, tetapi tetap mempekerjakan warga setempat.
Di desa wisata ini terdapat paket wisata outbound mulai dari Rp 350.000 per orang, termasuk menginap satu malam. Pengunjung dapat menginap di 15 rumah penduduk dan lima unit penginapan di Imah Mang Iding. D’Jungle menyediakan 35 unit penginapan dan puluhan tenda. Tentu harganya lebih tinggi dibandingkan dengan menginap di rumah penduduk.
Untuk berkunjung ke air terjun, pengunjung dikenakan biaya Rp 10.000 per orang. Wisatawan juga dapat berfoto di atas pohon yang diberi lantai papan dengan latar belakang pemandangan Puncak dengan tarif Rp 5.000-Rp 10.000 per orang.
Arya Sukarya, pengelola program Eco Village di Batulayang, mengemukakan, Desa Wisata Batulayang dirintis sejak 10 tahun silam. Namun, alih keterampilan sumber daya manusia yang mulai memberdayakan penduduk setempat baru lima tahun terakhir.
”Awalnya orang datang hanya untuk menginap, tetapi jasa operator outbound dari luar desa. Setelah pemuda sini belajar, sekarang sudah bisa jadi instruktur,” ucap Arya.
Eco Village merupakan program berkesinambungan mengembangkan Batulayang sebagai desa wisata. Ada program konservasi yang ditanamkan kepada anak-anak dan pemuda setempat sejak dini dengan tujuan pelestarian lingkungan untuk menunjang wisata alam.
Dengan dikelola secara ramah lingkungan, destinasi liburan seperti Hutan Organik Megamendung dan Desa Wisata Batulayang tidak hanya menghadirkan pundi-pundi ekonomi bagi warga setempat. Lebih penting lagi, lingkungan pun tetap terjaga lestari.
harry susilo & ratih p sudarsono
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul “WISATA ALAM Relaksasi dalam Dekapan Hutan Hijau”.