Belitung memang tak punya perkebunan kopi, tetapi budaya menyesap kopi di pulau ini sudah berusia puluhan tahun. Jauh lebih tua ketimbang budaya minum kopi di kedai kopi modern di kota-kota besar di Tanah Air. Cita rasa kopi hitam dan kopi susu andalan mereka sungguh melekat di lidah, sulit dilupakan.
Senin (7/3) siang lalu, kota Tanjung Pandan, Belitung, seperti tengah dibakar matahari. Panasnya luar biasa menyengat, membuat keringat tak henti-hentinya meleleh, mengalir membasahi tubuh.
Segelas besar es kopi susu di Warung Kopi Ake ibarat air yang mengguyur kerongkongan yang kerontang. Segar, dengan cita rasa kopi yang tajam meski terasa tak terlalu pekat dan ada cita rasa susu yang manis di dalamnya. Pada setiap sesapannya, jejak kopi terasa mencuri dan mendominasi lidah.
Es kopi susu Warung Kopi Ake adalah salah satu jenis minuman kopi yang menjadi favorit pelanggan di warung kopi yang berusia hampir satu abad itu. Warung kopi ini didirikan tahun 1922 oleh warga keturunan bernama Abok seiring munculnya tambang timah di Belitung. Kebiasaan minum kopi di Belitung dibawa oleh pekerja tambang yang banyak didatangkan dari Tiongkok daratan.
Saat ini, warung kopi yang terletak di pusat kota Tanjung Pandan itu dikelola oleh A Kiong (61), cucu pertama Abok. Warung ini terletak di Taman Jajanan yang disebut Kafe Senang, tak jauh dari patung batu satam yang menjadi landmark kota Tanjung Pandan. Kawasan Kafe Senang merupakan kawasan peninggalan Belanda sejak tahun 1898 yang dipugar Pemerintah Kota Belitung pada 2012.
Kedai Ake buka setiap hari mulai pukul 06.00 hingga tengah malam. Warga yang asyik menyesap kopi sembari mengobrol menjadi pemandangan khas di warung itu, termasuk kesibukan A Kiong meracik kopi. Selain es kopi susu, ada juga es kopi hitam serta kopi susu dan kopi hitam yang disajikan panas-panas.
Menurut A Kiong, kopi yang disajikan di warungnya, termasuk es kopi susu yang kami cicipi, diracik dari bubuk kopi yang didatangkan dari Sumatera, khususnya Lampung dan Palembang. Dalam sejarahnya, Belitung (juga Bangka), Lampung, dan Palembang memang pernah berada di wilayah administratif yang sama, yaitu Provinsi Sumatera Selatan. Kini, Bangka-Belitung menjadi provinsi sendiri seperti halnya Lampung.
Pada awal berdirinya, kopi yang disajikan di warung Ake dipilih khusus oleh sang kakek yang memiliki langganan pemasok biji kopi asal Lampung dan Palembang. Biji kopi itu kemudian digiling sendiri di Belitung. Oleh sang kakek, bubuk kopi itu kemudian disimpan di dalam kaleng besar yang selalu ditutup rapat. Untuk menambah kenikmatan kopi yang disajikan, air untuk menyeduh kopi juga dimasak menggunakan arang.
A Kiong sebenarnya berupaya untuk meneruskan tradisi yang telah dilakukan sang kakek. Namun, sejak kawasan Kafe Senang dipugar, dia tidak bisa lagi menggunakan arang karena alasan tempat yang tak mendukung. Bubuk kopi yang dia gunakan pun kini berupa bubuk kopi siap pakai yang banyak beredar di pasaran.
Satu yang tak berubah adalah cara menyeduh bubuk kopi yang diajarkan sang kakek. ”Menyeduhnya harus dengan air yang mendidih benar agar sari kopinya keluar dengan baik,” kata A Kiong yang hingga kini masih menggunakan ketel tembaga merah berusia ratusan tahun.
Kopi Kong Djie
Di urutan kedua dari segi usia ada Warung Kopi Kong Djie yang didirikan pada tahun 1943 oleh seorang warga asli Bangka bernama Kong Djie. Warung pertama Kong Djie itu hingga kini masih berdiri di Jalan Siburik Barat, Tanjung Pandan.
Berbeda dengan Warung Kopi Ake yang hanya memiliki satu warung, Warung Kopi Kong Djie memiliki banyak cabang. Di Tanjung Pandan, selain warung pertama mereka, terdapat enam warung Kong Djie. Warung serupa juga terdapat di Surabaya, Jawa Timur.
Meski begitu, warung Kong Djie yang pertama tetap ramai karena memiliki banyak pelanggan setia. Banyak pelanggan yang menyesap kopi sambil bermain catur. Sementara anak-anak muda biasa nongkrong sembari menikmati layanan Wi-Fi gratis.
Di Warung Kopi Kong Djie, es kopi susu yang disajikan memiliki cita rasa kopi yang lebih pekat. Hingga sesapan terakhir, jejak kopi masih terasa begitu kental di antara cita rasa susu yang manis. Penikmat kopi tulen mungkin akan cocok dengan kekentalan kopi yang disajikan di sini. Setiap sesapan, paduan kental kopi dan susu terasa pas.
Menurut Iskak Holidi (52), anak kedua Kong Djie yang turut mengelola Warung Kopi Kong Djie, kopi yang mereka gunakan memiliki takaran khusus. Tapi, yang jelas, kopi mereka harus kental. Jika dirasa tidak pas, pelanggan bisa meminta tambahan susu sesuai selera mereka.
”Kami menggunakan kopi arabika dan robusta dari Sumatera dan Jawa yang kami campur sendiri, ditambah sedikit resep rahasia dari Papa yang hingga kini masih kami pertahankan,” kata Iskak.
Selain itu, air yang digunakan untuk menyeduh kopi juga masih dimasak menggunakan tungku arang. Mungkin ini yang membuat kopi Kong Djie terasa sedap. Ada aroma dari asap pembakaran.
Hingga kini, mereka juga masih menggunakan ceret berleher tinggi untuk membuat biang kopi yang akan disajikan. ”Kami mainnya seduh, ya, enggak main rebus kopi. Biang kopi juga harus menggunakan air mendidih. Ini ajaran orangtua saya. Kalau seduh kopi, airnya harus sampainggolak, mendidih. Baru setelah biangnya jadi, setiap ada yang pesan tinggal dicampur air panas,” papar Iskak.
Cara menyeduh kopi yang salah, menurut dia, akan membuat kopi terasa apek. Karena itu, dia memastikan air yang dipakai selalu dalam keadaan mendidih. ”Jadi, benar-benar matengkopinya,” katanya serius.
Rupanya, itulah rahasia warung kopi tradisional seperti Ake dan Kong Djie. Meski cara penyajian kopi mereka sederhana, cita rasa kopi yang dihasilkan terasa luar biasa. Karena lekat di lidah, sulit dilupa sedapnya….