Cakrawala biru teduh menaungi pulau-pulau kecil di hamparan Teluk Matsushima. Ribuan camar riuh berkejaran, menembus udara hangat di akhir musim semi. Itulah waktu terbaik bagi kaum burung-burung migran singgah mencari makanan, pasangan, dan bertelur.
Pemandangan seperti itu cukup lama dinanti Haruo Kidii (78) dan Kuriko (69). Setelah 10 tahun absen berkunjung, pasangan lanjut usia asal Osaka ini akhirnya mencapai teluk yang terletak di pesisir kota Sendai, Prefektur Miyagi, Jepang, Jumat (13/5).
Dari atas dermaga, keduanya terlihat takjub. Kuriko terharu menyaksikan betapa semarak suasana teluk. Ratusan pulau nan permai terbentang luas di hadapannya. Dari kejauhan, kapal-kapal wisata menembus perairan untuk kembali pulang. Di tepi pantai, burung-burung bertengger di atas bangunan, tiang, ataupun lantai dermaga.
Tempat itu bagai tak berubah, pun setelah luluh lantak tersapu gelombang besar pada Maret 2011. Gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter disusul tsunami dahsyat telah menelan korban 15.269 orang tewas dan 8.526 orang lainnya hilang di 6 prefektur wilayah Tohoku.
Kota Sendai di pantai timur mengalami kerusakan terparah, tak terkecuali pulau-pulau di Matsushima. Tingginya gelombang hingga 10 meter dengan ganas menyapu bangunan-bangunan sepanjang pantai. Keadaan berubah dalam sekejap. Keelokan teluk lenyap dengan hanya menyisakan puing-puing berserak di mana-mana.
Lima tahun berlalu pasca bencana. Haruo dan Kuriko sempat ragu untuk kembali mengunjungi Matsushima. Namun, agen perjalanan yang mereka hubungi mengusulkan pasangan ini mengunjungi teluk itu. Matsushima memang populer sebagai salah satu dari tiga lokasi wisata kepulauan terindah di Jepang, selain daratan panjang berpasir Amanohashidate di Prefektur Kyoto dan kepulauan Miyazima di Hiroshima.
Keraguan mereka akhirnya pupus. Keduanya membuktikan Matsushima sudah benar-benar pulih. Tidak ada lagi puing-puing dan sampah berserakan di sekitar pantai. Tak tampak pula bangunan hancur dan tangisan warga yang ditinggal keluarganya.
”Sungguh lega mengetahui segalanya telah kembali normal. Kehancuran akibat tsunami bagai tak berbekas di tempat ini. Matsushima masih seindah yang kami harapkan,” ujar Kuriko.
Keduanya menjelajahi pulau-pulau di sekitar teluk selama satu jam dalam sebuah kapal wisata. Ada lebih dari 260 pulau di kawasan ini, tetapi hanya empat yang berpenghuni. Sebagian besar pulau menjadi tempat persinggahan burung-burung migran untuk singgah dan bertelur. Kehadiran mereka jadi salah satu tujuan wisatawan berkunjung.
Tempat itu terlihat lebih indah di musim semi saat bunga-bunga sakura bermekaran, di antara tanaman pinus. Pada kedatangan Kompas bersama tiga media dalam negeri, yang didukung oleh Japan National Tourism Organization (JNTO) dan maskapai All Nippon Airlines (ANA), masih tampak sakura-sakura mekar meskipun warna merah jambunya mulai memucat seiring berakhirnya musim semi.
Direktur usaha kapal wisata Matsushima Shimameguri Kankousen, Nagamasa Abe, mengatakan, bencana tsunami 2011 memang sempat melumpuhkan pariwisata di Teluk Matsushima. Selain kapal-kapal rusak diterjang gelombang, tak satu pun wisatawan berkunjung setelah melihat kehancuran di kawasan tersebut.
Namun, banyak relawan kemudian datang untuk membantu penduduk lokal mengumpulkan puing-puing dan sampah. Dalam beberapa bulan saja pulau-pulau itu kembali bersih. Bangunan-bangunan yang rusak diperbaharui dan dibangun kembali. Sejumlah pulau bahkan dibuatkan tanggul.
Bencana tsunami 2011 tidak akan mudah lepas dari ingatan masyarakat Sendai. Pemerintah daerah secara khusus membangun monumen dan lokasi-lokasi peringatan sebagai tanda penghormatan bagi para korban.
Di kompleks Bandara Sendai yang habis tersapu tsunami, tidak hanya bangunan rusak. Banyak pesawat ringan ikut terbawa gelombang. Tayangan televisi NHK sempat memperlihatkan bagaimana tsunami menyapu bangunan dan kendaraan hingga sejauh 1,5 kilometer di daratan. Pemerintah butuh lebih dari satu bulan untuk menata kembali kondisi hancur tersebut.
Kawasan itu kini kembali cantik. Gedung terminal bandara diperbaharui. Di perjalanan kami menuju terminal keberangkatan di bandara tampak sejumlah hamparan lahan kosong. Sasaki, pengemudi usaha perjalanan wisata yang menemani perjalanan kami, menceritakan hamparan luas itu sebelumnya berdiri bangunan-bangunan usaha yang juga hancur oleh tsunami. Hamparan itu kemudian dimanfaatkan menumpuk puing dan reruntuhan bangunan.
Kini, seluruhnya telah bersih. Tak tampak lagi sampah, kecuali sejumlah bekas puing yang sengaja diletakkan di antara ilalang di pesisir pantai. ”Ini menjadi tanda peringatan bagaimana hancurnya wilayah ini lima tahun silam,” ujar Sasaki. Tak jauh dari situ terdapat makam para korban.
Monumen alam dan sisa puing kini menjadi tempat wisata sejarah. Para pendatang dapat merasakan dahsyatnya bencana di kawasan itu. Pada dua bukit di dekat bandara dibangun gardu pengamatan. Tempat itu berjarak hanya 400-500 meter dari bibir pantai. Dari tempat ketinggian, pengunjung bisa melihat langsung suasana sekelilingnya. Ribuan bibit cemara ditanami kembali untuk mengganti pepohonan yang rebah tersapu gelombang.
Jumlah wisatawan berkunjung di Prefektur Miyagi meningkat signifikan setiap tahunnya. Pada 2014 kunjungan wisatawan dunia ke Prefektur Miyagi 102.550 orang, naik menjadi 155.770 pada 2015. Melonjaknya jumlah wisatawan merupakan buah dari tekad kuat Jepang untuk bangkit dari kehancuran. Mereka beradaptasi dengan alam sekaligus berjuang memulihkan yang rusak, menata yang terserak. Pengalaman itu selayaknya menjadi inspirasi bagi pembangunan pariwisata di negeri kita.
IRMA TAMBUNAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 08 Juni 2016, di halaman 26 dengan judul “Keindahan Sendai Tak Pudar Tersapu Gelombang”.