Air bening mengalir gemercik. Lampu menerangi bantaran. Orang lalu lalang di trek pejalan kaki, muda mudi asyik nongkrong dan pacaran. Sulit membayangkan tempat ini dulu selokan kumuh pada tahun 1950-an dan juga jalan layang bebas hambatan pada 1970-an.
Malam telah larut. Namun, tepian Sungai Cheonggye di jantung kota Seoul, Korea Selatan, Minggu (28/8), masih ramai. Gelak tawa terdengar dari beberapa gerombolan orang. Di sisi yang lain, pengunjung duduk santai dan mengobrol di atas batu dan undakan, sambil merendam kaki telanjang di sungai bening.
Berjalan di sepanjang bantaran sungai ini seperti menyusuri ruang pameran terbuka. Ada jalur pejalan kaki yang mengapit aliran serta dinding tanggul sungai setinggi 2-3 meter menjadi tempat memajang karya.
Tak seperti siangnya yang menyengat dengan suhu 25 derajat celsius, suhu malam di akhir Agustus 2016 itu berkisar 19-20 derajat celsius, relatif bersahabat bagi pengunjung dari daerah tropis. Situasi ini menggiring sebagian warga kota keluar rumah untuk menikmati malam di pengujung musim panas.
Setiap jengkal Cheonggye menyajikan fragmen berbeda, dari air mancur, lukisan, sorotan laser, batu-batu penyeberangan, hingga penanda masa lalu sungai itu yang ”kelam”. Namun, tanpa tambahan ornamen, air bening dan ikan yang berseliweran di Cheonggye saja sudah menenteramkan hati.
Pemerintah menambahkan ornamen sebagai daya pikat. Di antara Jembatan Gwanggyo dan Samilgyo, misalnya, terdapat reproduksi Banchado of King Jeongjo (lukisan di atas keramik) yang dipasang di dinding tanggul sepanjang 192 meter. Lukisan ini menggambarkan prosesi kerajaan di era Raja Jeongjo (1752-1800), raja ke-22 dari Dinasti Joseon.
Pada segmen lain, yakni di dekat Jembatan Ogansumun, terdapat karya seniman kontemporer bertajuk ”The Way to the Future”. Tanggul sungai di bagian ini dikenal sebagai dinding kebudayaan yang menggambarkan warna-warni Korea. Pada segmen lain aliran Cheonggye ada ”Wall of Hope” yang memajang ribuan ubin berisi harapan 20.000 warga Seoul, warga Korea Utara, dan mancanegara, antara lain soal unifikasi Korea.
Di antara Jembatan Dasangyo dan Yeongdogyo, ditempatkan beberapa lempengan batu yang dipasang miring sebagai ”situs pencucian bersejarah”. Pada masa lalu, warga sisi sungai khususnya ibu rumah tangga mencuci pakaian di sungai dengan batu-batu kali sebagai alas cuci. Kini, mencuci di sungai merupakan hal terlarang.
Pada sudut lain Sungai Cheonggye, antara Jembatan Biudanggyo dan Muhakgyo, terdapat tiga pilar bekas penopang jalan layang bebas hambatan Cheonggye. Ketiganya disisakan sebagai pengingat visual bahwa sungai itu pernah ditutupi konstruksi jalan layang sebelum proyek restorasi tahun 2002-2005.
Jalan panjang restorasi
Cheonggyecheon berasal dari kata ”cheon” yang berarti sungai dan ”cheonggye” yang berarti aliran air jernih. Namun, jalan kisahnya tak sejernih namanya. Sebuah foto awal abad ke-20 dari dokumen pemerintah metropolitan Seoul memperlihatkan warga mencuci dan mandi di Sungai Cheonggye yang surut airnya. Bangunan relatif sedikit. Foto lain pada tahun 1950-an memperlihatkan pinggiran sungai dipadati hunian kumuh, sebagian berdiri di atas badan sungai dengan bambu dan kayu penopang.
Setelah Perang Korea tahun 1953, Seoul menjadi sasaran pendatang. Ibu kota Korea Selatan ini berkembang menjadi kota metropolitan. Pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat kegiatan ekonomi. Hunian bertumbuh, termasuk pinggiran kali yang disesaki warga miskin kota.
Dalam perkembangannya, pemerintah kota merobohkan bangunan kumuh di pinggiran sungai sejak tahun 1958. Lalu, pada 1967-1971, jalan layang bebas hambatan dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan transportasi, tepat di atas badan Sungai Cheonggye. Dengan segera jalan ini menyedot kendaraan. Sedikitnya 170.000 kendaraan melintasi jalur bebas hambatan itu per hari.
Dengan alasan keamanan, pemerintah menutup jalur layang untuk kendaraan berat sejak tahun 1997. Ketika itu, ongkos pemeliharaannya mencapai 50 juta dollar AS. Berikutnya, seiring dengan perubahan paradigma, yakni menjadi pembangunan yang mengutamakan keseimbangan lingkungan alam, akhirnya menggiring pada keputusan membongkar jalan layang.
Keputusan merestorasi Cheonggye lahir pada Juli 2002 di era Wali Kota Lee Myung-baak. Sesuai panjang aliran yang direstorasi, yakni 5,84 kilometer, proyek itu dinamai ”Revolusi 5,8 Km”. Sebuah proyek ambisius mengembalikan wajah sungai dari jalan layang menjadi area publik yang hijau.
Sungai Cheonggye hasil restorasi mengalir dari daerah Gwanghwamun di barat ke Dongdaemun di timur. Total ada 22 jembatan melintang di atas sungai ini dan tujuh jembatan di antaranya dikhususkan bagi pejalan kaki. Cheonggye menjadi ikon rujukan soal restorasi.
Namun, pro dan kontra selalu ada. Penolakan, misalnya, muncul karena proyek menyedot anggaran besar (386 juta dollar AS), memicu masalah sosial, serta perdebatan soal kapasitas jalan yang berkurang dan risiko gangguan terhadap sektor usaha yang mengandalkan akses jalan layang itu. Kritik juga dilontarkan lantaran Cheonggye baru tidak benar-benar alami. Sebab, air Cheonggye dipompa dan dialirkan dari Sungai Han.
Namun, sederet keuntungan kini dinikmati warga Seoul, kota seluas 605 kilometer persegi dan penduduk lebih dari 10 juta jiwa, nyaris sebanding dengan Jakarta. Selain ruang publik dan hijau, perombakan Cheonggye diklaim menurunkan suhu, rata-rata suhu di aliran Cheonggye 3,6 derajat celsius lebih rendah dibandingkan jalan raya yang 36,3 derajat celsius pada musim panas. Cheonggye juga jadi tempat rekreasi warga kota sekaligus turis mancanegara.
Ciliwung
Cerita Cheonggye ”mengalir” ke Sungai Ciliwung di Jakarta. Pada 3 Desember 2012, Menteri Lingkungan Hidup RI ketika itu, Balthasar Kambuaya, bersama Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Yeong meletakkan batu pertama di halaman Masjid Istiqlal, tanda dimulainya restorasi. Proyek di Ciliwung, sepanjang 470 meter antara Istiqlal dan Pasar Baru, diharapkan jadi contoh pemulihan sungai-sungai di Jakarta.
Selain mengeruk lumpur dan mengangkut sampah, pemulihan Ciliwung ditempuh dengan membangun instalasi pengolahan limbah dan pusat pendidikan lingkungan bagi masyarakat. Namun, jalan masih panjang. Cita-cita belum terwujud.
Upaya membenahi sungai-sungai di Jakarta yang oleh pemerintah pusat dan DKI Jakarta disebut sebagai normalisasi kini masih menuai pro dan kontra. Terutama terkait penggusuran kampung padat di bantaran demi menambah lebar sungai dan mencegah banjir. Selain penggusuran, pilihan pemerintah untuk membeton sebagian bantaran juga dikritik.
Wisata jalan kaki
Di sisi lain, masalah mendasar seperti penataan sistem drainase dan pembuangan sampah belum tersentuh. Sungai di Jakarta, termasuk Ciliwung, masih jadi tempat pembuangan berbagai limbah warga dan industri.
Pembenahan sungai yang tepat, selain membenahi seluruh sistem fasilitas publik perkotaan dan melestarikan lingkungan, juga bisa memutar perekonomian. Seoul, misalnya, memiliki jaringan jalur pejalan kaki yang menghubungkan hampir semua sudut kotanya, termasuk di sepanjang sungai. Banyak paket wisata di mana wisatawan bisa menikmati banyak obyek menarik dengan berjalan kaki.
Dari situs bersejarah, galeri dan museum, seni warisan budaya, taman, bangunan penanda kota, pusat belanja dan kuliner, hingga lokasi shooting film atau drama, semua bisa dicapai dengan berjalan kaki. ”Anda bisa mencapainya dengan jalan kaki, tetapi dengan subway juga oke, lanjut jalan kaki ratusan meter dari stasiun,” ujar Su Heon-kim (27), pemandu wisata, menjelaskan cara menjangkau Cheonggyecheon dan Dongdaemun dari Hoehyeon, Minggu (28/8).
Tak salah pemerintah metropolitan Seoul menawarkan paket-paket tur wisata dalam kota dengan berjalan kaki. Ada belasan paket ditawarkan dengan durasi perjalanan 2-3,5 jam dengan tujuan, antara lain, Istana Deoksugung, Gyeongbokgung, Museum Nasional, dan kawasan Sungai Cheonggyecheon. Selain jalan kaki, beberapa paket mengombinasikan perjalanan dengan jalan kaki dan bus kota. Warga setempat dan turis pun terbiasa berjalan kaki di kota ini. Selain menekan ongkos perjalanan, berjalan kaki tentu mendongkrak kesehatan masyarakat.
Di Jakarta, kini, dengan fasilitas yang masih jauh dibanding Seoul, jaringan bus transjakarta beserta jaringan pengumpannya dan kereta api sudah cukup terintegrasi. Sesekali mencoba berwisata dengan angkutan publik ini tentu tidak ada salahnya. Siapa tahu bisa jadi kebiasaan baru warga Ibu Kota.
MUKHAMAD KURNIAWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul “Dari Cheonggye ke Ciliwung”.