Pada masa lalu, kehidupan di negeri Barat, tepatnya Amerika Serikat, kerap digambarkan serba liar berlipat-lipat. Nyaris tak ada satu pun persoalan yang muncul tidak diselesaikan tanpa melibatkan desingan peluru dan letusan senapan.
Kondisi semacam itu digambarkan secara pas lewat kalimat ”wild wild west”, dengan dua kali pengulangan di kata ”liar” (wild) sebagai penekanan. Duel bersenjata satu lawan satu, satu lawan banyak, atau banyak melawan satu orang, menjadi pemandangan biasa dilakukan. Baik antara penegak hukum maupun pelaku kriminal, antara pemburu hadiah dan para penjahat buruannya, atau antara rakyat petani jelata dan pemilik modal besar seperti di kota kecil Rose Creek.
Dikisahkan, kota yang berada di kawasan lembah subur itu ingin dikuasai sepenuhnya oleh pengusaha tambang emas yang tak hanya rakus, tetapi juga kejam, Bartholomew Bogue (Peter Sarsgaard).
Bogue memaksa para petani menyerahkan dan menjual tanah mereka dengan harga murah demi rencana perluasan area tambangnya. Sementara keberadaan tambang emas Bogue sendiri sudah kerap dikeluhkan merusak dan meracuni tanah serta air sungai sumber kehidupan para warga petani.
Saat warga dan pendeta tengah menggelar rapat membahas masalah itu, dengan arogan Bogue beserta para anak buahnya yang bersenjata merangsek masuk ke dalam gereja tempat pertemuan digelar.
Di mimbar, Bogue dengan jemawa menyebut keberadaan para petani, warga kota, bahkan Tuhan dan gereja sekalipun telah menghalangi kapitalisme.
Sejumlah warga yang berani melawan ditembak mati dengan keji, sedangkan bangunan gereja diperintahkan Bogue untuk dibakar. Tindakan kejam macam itu berlangsung di depan mata telanjang aparat penegak hukum, yang sejak awal memang berada di bawah kekuasaan Bogue.
Puncak teror membuat sebagian warga memilih untuk menyerah, sementara sebagian lagi, termasuk janda Emma Cullen (Haley Bennet), memilih melawan. Suami Cullen tewas ditembak Bogue karena dianggap melawan. Cullen bertekad menuntut balas.
Sementara itu pada adegan berikut, seorang cowboy berkulit hitam, Sam Chisolm (Denzel Washington), digambarkan seolah muncul begitu saja dari horizon, berkuda sendiri menuju satu kota. Chisolm, belakangan diketahui berprofesi pemburu hadiah (bounty hunter), tengah mengejar salah seorang kriminal buruannya.
Suratan takdir
Suratan takdir kemudian mempertemukan Cullen dan Chisolm, serta seorang penjudi ahli sulap sekaligus penembak cepat, Josh Farraday (Chriss Pratt). Chisolm tertarik membantu Cullen menghadapi Bogue dan anak buahnya. Dia lalu merekrut Farraday dengan cara menebus kudanya, yang sempat tergadaikan.
Selain Farraday, Chisolm juga merekrut sejumlah orang ahli lainnya, seperti sahabat lamanya Goodnight Robicheaux (Ethan Hawke), yang seorang penembak jitu veteran Perang Saudara AS.
Saat ditemui, Robicheaux tidak sendiri melainkan ditemani seorang kolega orientalnya, pembunuh dan ahli senjata tajam, Billy Rocks (Byung-hun Lee).
Chisolm juga mendapat ”tambahan tenaga” dari tiga orang lagi, seorang kriminal asal Meksiko, Vasquez (Manuel Garcia-Rulfo); pejuang suku Comanche Indian, Red Harvest (Martin Sensmeier); dan seorang pencari jejak Jack Horne (Vincent D’Onofrio).
Film hasil remake dari film berjudul lama produksi 1960 kali ini disutradarai Antoine Fuqua, seorang sutradara kulit hitam yang setahun sebelumnya juga menyutradarai film drama olahraga, Southpaw.
Baik The Magnificent Seven produksi 1960 maupun versi remake-nya sekarang sama-sama adaptasi ulang film Seven Samurai (1954) karya sutradara Jepang terkenal, Akira Kurosawa. Singkat cerita, kehadiran ketujuh orang ”pasukan bayaran” itu sedikit banyak mampu membangkitkan sedikit harapan
bagi sebagian warga kota Rose Creek.
Hanya memiliki waktu beberapa hari sebelum Bogue dan pasukannya datang menyerbu kota, Chisolm dan teman-temannya bergegas melatih warga sipil Rose Creek memanggul senjata. Tak cuma itu, kota pun disulap menjadi semacam jebakan maut untuk menyambut kedatangan musuh. Sementara wanita dan anak-anak diungsikan ke tempat aman.
Pertempuran sengit antara pasukan Bogue yang terlatih dan bersenjata lengkap dengan pasukan Chisolm dan warga kota pun tak terelakkan. Apalagi, Bogue dan anak buahnya menggunakan teknologi persenjataan terbaru dan tercanggih di masa itu, senapan tembak rapat (rapid fire) Gaitling. Senapan yang juga dijuluki ”Napas Setan”, lantaran mampu memuntahkan 300-400 butir peluru per menit, itu memang sangat populer pada masa Perang Saudara AS. Lantas siapa kemudian yang keluar jadi pemenang dalam pertempuran sengit ini?
Secara keseluruhan, film digarap dengan sangat baik dan diperkuat dengan efek-efek spesial terutama ledakan-ledakan yang terbilang dahsyat untuk sebuah film koboi seperti ini.