Jejak budaya Jawa ada yang terselip di antara modernitas belantara beton Bangkok, Thailand. Di kampung itu, ada Supri (60), orang Thailand keturunan Kendal, yang masih setia menjalani ritual tujuh harian, dan para cucu Ahmad Dahlan yang rindu Bengawan Solo.
Kampung Jawa di Thailand terletak di tengah-tengah pusat distrik bisnis Bangkok di Shatorn. Kampung itu mirip sekali dengan Kauman di Yogyakarta atau Solo. Jalan kampung yang sempit dengan rumah yang padat, tetapi tak terkesan kumuh. Di sepanjang jalan, orang-orang berpeci dan bersarung bersepeda lalu-lalang menembus gang-gang kecil perkampungan. Kumandang azan Ashar, membahana ketika saya tiba pada Kamis (25/8) lalu. Jika di Yogyakarta dan di Solo kampung Kauman dikelilingi kampung-kampung lain, di Bangkok, kampung itu dikelilingi gedung-gedung perkantoran tinggi distrik bisnis kota Bangkok.
Seperti namanya Kampung Jawa, perkampungan ini berisi orang-orang Thailand keturunan Jawa. Mereka rata-rata berasal dari kota-kota di Jawa Tengah, seperti Kendal dan Demak. Supri Bin Tassa (60) adalah salah satunya. Warga Kampung Jawa ini, memiliki darah Jawa dari kakek-neneknya. ”Kakek nenek saya asli Kendal, Jawa Tengah, mereka didatangkan ke Thailand pada masa raja membangun Taman Lumpini yang terinspirasi dari Kebun Raya Bogor. Akhirnya para pekerja Jawa pun tinggal dan hidup turun-temurun di sini. Kini di sinilah kami berada,” kata Supri yang bernama Thailand, Suppor.
Kampung Jawa memang berada di dekat Taman Lumpini, taman yang terinspirasi Kebun Raya Bogor. Menurut Sekretaris Pertama Bidang Penerangan, Sosial, dan Budaya Kedutaan Besar RI untuk Thailand, Ghofar Ismail, Raja Rama V Chulalongkorn sangat terkesan dengan Kebun Raya Bogor. Berdasarkan catatan dari National Archives of Thailand (NAT) Raja Rama V memang pernah datang ke Jawa untuk pelesir pada abad ke-19. Salah satu tempat yang ia datangi adalah Kebun Raya Bogor.
Di kemudian hari, Pemerintah Kerajaan Thailand pun mendatangkan pekerja dari Jawa untuk membangun Lumpini agar bisa semirip mungkin dengan Kebun Raya Bogor. Mereka membawa pula pohon asam jawa sebagai salah satu tanaman yang ditanam di kota itu. Sampai saat ini Lumpini menjadi ikon taman kota di Bangkok.
Kenduri
Saat kami bertemu, Supri dan warga Kampung Jawa sedang mempersiapkan kenduri di Masjid Jawa di Bangkok. Selayaknya di Jawa, kenduri di masjid tersebut dihadiri para warga Muslim. Para warga duduk bersimpuh di serambi masjid, dan kemudian selesai berdoa, berbagai makanan pun disuguhkan. Hidangan bernuansa Jawa berupa sayur asam, bolu kukus, dan oseng-oseng.
Meski tak mengawetkan bahasa, tetapi ada sebagian kultur Jawa yang melekat erat, di antaranya tradisi kenduri dan sungkeman. Lama tak bertemu dengan keluarga besarnya di Jawa, Pak Supri sepertinya rindu berat. ”Kira-kira apa arti nama saya ya, Supri?” tanyanya dengan bahasa Inggris.
Supri adalah generasi ketiga. Ia tak pernah punya kesempatan pulang ke kampung asal kakek- neneknya di Kendal. Kerinduannya adalah bisa pulang kampung bertemu handai tolan yang sudah berpisah sejak berabad lalu.
Pahti, sesepuh warga Kampung Jawa, mengatakan, warganya saat ini adalah generasi ketiga dari pendatang Jawa. Sebagian dari mereka telah berakulturasi dengan warga lokal Thailand. Jika ayah-ibu Pahti masih bisa berbahasa Jawa, tetapi Pahti dan putra-putrinya sudah tak lagi cakap menggunakan bahasa Jawa. ”Paling kami hanya tahu beberapa kosakata atau kalimat yang mereka hafal di antaranya ora nduwe dhuwit (tidak punya uang) ha-ha-ha,” kata Pahti sambil bercanda.
Kampung Muslim
Kampung Jawa juga menjadi kampung Muslim di Bangkok. Di tempat itu, putra Ahmad Dahlan, Erfaan Dahlan, tinggal dan menetap turun-temurun. Menurut salah satu putri Erfaan, Ma’rifah Dahlan, ayahnya dulu tak sengaja menetap di Bangkok. Awalnya sang ayah hanya berlindung di Bangkok setelah belajar di Pakistan. ”Ketika hendak pulang ke Jawa, ternyata di kampung halaman ada kekacauan. Ayah saya dicari-cari keberadaannya. Karena merasa tak aman, maka Ayah pun menetap di kampung Jawa, Thailand,” kata Ma’rifah.
Keluarga Erfaan hidup turun-temurun terpisah dari keluarga besar mereka di Jawa. Di tanah itu mereka pun meneguhkan agama Islam. Erfaan menikah dengan keturunan Jawa yang juga warga Thailand dan melahirkan 10 anak yang kesemuanya tinggal di Thailand.
Di Thailand keluarga Ahmad Dahlan menjadi keluarga yang terpandang. Putra Erfaan, Winai Dahlan, bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari Raja Thailand atas dedikasinya dalam ilmu pengetahuan. Prof Winai, mendirikan pusat riset halal dan membuat sistembarcode untuk makanan halal. Penemuan itu dianggap penting oleh negara Thailand karena memungkinkan Thailand menguasai pasar ekspor makanan ke negara-negara Muslim, seperti Malaysia ataupun Indonesia.
Seperti layaknya keluarga yang terpisah sekian lama, ada kerinduan yang menggelayut di hati untuk datang ke Pulau Jawa. ”Saya pernah datang ke Yogyakarta di sana saya belajar lagi bahasa Jawa halus, karena di sini yang kami pahami adalah bahasa Jawa ngoko atau bahasa sehari-hari,” katanya.
Ma’rifah pernah ditertawakan karena penasaran ingin melihat Bengawan Solo. Sajak lagu ”Bengawan Solo” dari Gesang ternyata mengesankan Ma’rifah. Ia pun fasih mendendangkan lagu karya Gesang (almarhum) itu.
Kini di masa pensiunnya Ma’rifah memilih mengabdikan diri kepada warga sekitar dan masjid di kampungnya. Di rumahnya yang hangat dan akrab, Ma’rifah masih menyimpan potongan koran Indonesia tahun 1960-an tentang cerita anak-cucu Ahmad Dahlan di Thailand. Ia juga memajang kepingan DVD film Ahmad Dahlan karya Hanung Bramantyo beberapa tahun lalu.
Bagi Ma’rifah, dan warga Kampung Jawa lainnya, Jawa masih menjadi tanah yang dirindukan. Bahasanya, tradisinya, makanannya, bahkan lagunya masih melekat dan memikat anak-anak keturunan Jawa di ”negeri gajah putih” itu. Seperti halnya Ma’rifah yang bisa bertemu dengan keluarga besarnya di Jawa, Supri dan Pahti pun berkeinginan bisa berkumpul dan mengunjungi keluarga besarnya di Kendal dan Demak, dan mengarungi Bengawan Solo yang termasyhur namanya di negeri tempat mereka tinggal kini.
Siwi Yunita Cahyaningrum
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 September 2016, di halaman 29 dengan judul “Kenangan Jawa di Sudut Bangkok”.