Menyapa Karya nan Setia dari Labirin Kota

0
796

Kota Bandung, Jawa Barat, lebih dari sekadar sajian kuliner atau pusat mode di kawasan niaga ternama. Karya kreativitas tak melulu ditampilkan di tempat elite. Justru dari labirin kampung dan gang-gang sempit, sebagian warganya menjaga api kreativitas Kota Bandung tetap menyala.

Labirin Gang Muararajeun di Kecamatan Cibeunying Kaler itu lebarnya hanya sekitar 2 meter. Namun, itu bukan kendala bagi Ibrahim Subagio (51), pemilik usaha pembuatan kaus, berkarya di sana selama 25 tahun terakhir. Dalam sebulan, dia membuat 5.000-6.000 kaus. Pasarnya paling tidak 70 distribution outlet (distro) serta toko pakaian di Indonesia hingga Australia dan Timor Leste.

Bram tidak hanya mengedepankan bisnis, dia juga membuka pintu bagi siapa saja untuk belajar. Bersama 30 perajin lain, Bram sepakat menjadikan RW 005 Muararajeun sebagai Kampung Wisata Sablon sejak dua bulan lalu. Siapa saja bisa belajar mencampur warna, menyablon, dan menjahit.

Lontong kari Gang Kebon Karet menjadi salah satu jajanan kuliner di dalam gang yang cukup ternama sejak tahun 1966 (kiri atas). Suasana permukiman warga yang memadati bawah jembatan layang Pasupati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (27/8) (kanan). Salah satu usaha sablon di dalam gang di permukiman warga yang padat di Muararajeun Lama, Bandung, Jawa Barat (bawah).  *** Local Caption *** Salah satu usaha sablon di dalam gang pemukiman warga yang padat di Muararajeun Lama, Bandung, Jawa Barat.
Lontong kari Gang Kebon Karet menjadi salah satu jajanan kuliner di dalam gang yang cukup ternama sejak tahun 1966 (kiri atas). Suasana permukiman warga yang memadati bawah jembatan layang Pasupati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (27/8) (kanan). Salah satu usaha sablon di dalam gang di permukiman warga yang padat di Muararajeun Lama, Bandung, Jawa Barat (bawah).
*** Local Caption *** Salah satu usaha sablon di dalam gang pemukiman warga yang padat di Muararajeun Lama, Bandung, Jawa Barat.

”Promosi Kampung Wisata Sablon sejak sebulan terakhir membuahkan hasil. Awal September 2016, salah satu SMK di Bandung ingin mengirimkan 80 siswa belajar membuat kaus dan sablon. Bulan September-Oktober 2016 ini kami juga akan kedatangan banyak tamu yang ingin belajar,” tuturnya.

Apabila Muararajeun baru mulai menggeliat, gang-gang di Kampung Dago Pojok sudah menarik minat banyak mata. Keinginan warganya masih setia memelihara kreativitas lewat Kampung Kreatif Dago Pojok.

”Faktor sejarah dan kemauan warga terus belajar membuat kreativitas tidak pernah mati. Kampung ini sudah menjadi bahan studi seniman hingga peneliti dari sejumlah negara, baik Asia maupun Eropa,” kata penggagas Kampung Kreatif Dago Pojok, Rahmat Jabaril (48).

Permukiman warga ini tumbuh sejak tahun 1920-an. Saat itu, warga Dago Pojok dikenal sebagai tukang bangunan yang handal. Pembangkit Listrik Dago, Gedung Sate, aula Institut Teknologi Bandung, diyakini hadir lewat tangan-tangan tukang bangunan Dago Pojok.

Kehadiran Kampung Kreatif Dago Pojok sejak 2002, menurut Jabaril, tetap memberi ruang bagi kreasi warganya. Mulai dari keterampilan melukis hingga mural, membuat wayang golek, menarikan tarian tradisi, hingga menuangkan rumus matematika menjadi motif gambar batik fraktal.

”Setiap akhir pekan, warga menyediakan pendampingan berkeliling gang-gang di Dago Pojok melihat kreasi itu,” kata Jabaril.

Tidak hanya Dago Pojok yang dikenal warga mancanegara. Penggila layang-layang punya tempat sendiri di Gang Sereh, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar. Dari enam kios penjual layang-layang ada, satu di antaranya milik Lei Fie Kiat alias Akiat (61), juara dunia layang-layang tahun 1998 dan 2004 di Perancis.

Legenda

Jago layang-layang mancanegara juga kerap bertandang ke Bandung. Ada yang ingin sekadar belajar teknik bermain atau membuat layang-layang bersama sang juara. Mereka datang dari Brasil, Singapura, Hongkong, dan Perancis.

”Layang-layang saya sudah dikenal di Perancis karena kerap mengirimkan 2.000 layang-layang ke sana,” kata Akiat, Minggu (21/8), ditemani istrinya, Fanny Wijaya (44).

Namun, keterbatasan tempat membuat tidak setiap permintaan bisa dipenuhi. Akiat hanya menyediakan layang-layang tanpa warna untuk dibawa pulang dan dihias sendiri oleh konsumen di tempat lain.

”Kami berencana punya lahan sendiri untuk pembuatan layang-layang bagi anak-anak. Membuat layang-layang jauh lebih mendidik bagi anak-anak ketimbang sibuk dengan perangkat elektronik,” kata Fanny.

Tidak hanya menyebarkan kreativitas, gang-gang di Kota Bandung juga menjadi rumah bagi kuliner legendaris. Silakan datang ke Warung Nasi Bu Eha (83) di jantung Pasar Cihapit, Kecamatan Cihapit. Di antara labirin gang pasar, Bu Eha tetap menjaga usaha yang dijalankan sejak 1947 oleh orangtuanya itu untuk tetap memanjakan lidah pelanggan.

Lontong kari Gang Kebon Karet menjadi salah satu jajanan kuliner di dalam gang yang cukup ternama sejak tahun 1966 (kiri atas). Suasana permukiman warga yang memadati bawah jembatan layang Pasupati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (27/8) (kanan). Salah satu usaha sablon di dalam gang di permukiman warga yang padat di Muararajeun Lama, Bandung, Jawa Barat (bawah).  *** Local Caption *** Lontong Kari Gang Kebon Karet, menjadi salah satu jajanan kuliner di dalam gang yang cukup ternama sejak tahun 1966.
Lontong kari Gang Kebon Karet menjadi salah satu jajanan kuliner di dalam gang yang cukup ternama sejak tahun 1966 (kiri atas). Suasana permukiman warga yang memadati bawah jembatan layang Pasupati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (27/8) (kanan). Salah satu usaha sablon di dalam gang di permukiman warga yang padat di Muararajeun Lama, Bandung, Jawa Barat (bawah).
*** Local Caption *** Lontong Kari Gang Kebon Karet, menjadi salah satu jajanan kuliner di dalam gang yang cukup ternama sejak tahun 1966.

Sambal dadak adalah andalan utamanya. Bersama lauk gepuk, aneka pepes khas Sunda, dan sayuran masakan rumah yang langsung dimasak, warung Bu Eha tak pernah kehilangan pelanggan sejak pagi hingga sore hari.

Bu Eha juga punya konsumen dari luar negeri. Kebanyakan adalah keturunan orang-orang Belanda yang tinggal di Bandung tempo dulu. Meski menu ala Eropa, seperti kentang rebus atau kacang merah, sudah tidak ada, mereka masih datang bernostalgia.

Atau, rasakan nostalgia di antara ornamen kota tua Bandung lewat Nasi Goreng Braga. Letaknya di mulut Gang Afandi yang menghadap ke Jalan Braga yang legendaris itu. Beragam varian, seperti nasi goreng sayur, kepiting, dan spesial udang, disajikan di sana.

A’i Momo (50), pemiliknya, mengatakan, usaha nasi gorengnya adalah warisan suaminya, almarhum Toha Momo. Mempunyai pengalaman selama 35 tahun sebagai koki di Braga Permai, restoran tenar tepat di depan Gang Afandi, Toha membuka usaha sendiri sejak 10 tahun lalu setelah berhenti bekerja di sana.

Racikan bawang bombai, minyak ikan, dan wijen membuat nasi goreng kaki lima itu terasa mewah dengan harga jauh lebih bersahabat. Konsumen pun tak berhenti sejak sore hari hingga menjelang subuh. Tamunya bervariasi, ada banyak dari luar negeri. Dengan bangga, A’i mengatakan mereka datang dari Bali hingga Malaysia, Belanda, dan Tiongkok.

Berjarak sekitar 1 kilometer dari Braga, di bibir Gang Kote yang berhadapan langsung dengan Jalan Jenderal Sudirman, Roti Bakar Gang Kote menawarkan racikan almarhum H Ali sejak 46 tahun lalu.

Sebagai pencuci mulut, ronde Alkateri di Gang Aljabri boleh jadi pilihan. Letaknya hanya sekitar 100 meter dari Alun-alun Kota Bandung. Pemiliknya yang biasa disapa Tante Gwat (80) berjualan sejak 32 tahun lalu.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, pengembangan kampung kreatif menjadi salah satu program unggulan wisata Kota Bandung. Keberadaannya memberikan banyak pilihan bagi wisatawan. Selain bisa mengangkat keunggulan karya, promosi kampung wisata bisa ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kreativitas ini bisa menjadi alternatif di tengah sedikitnya wisata alam di Kota Bandung.

Data Dinas Pariwisata Kota Bandung menyebutkan, saat ini ada 14 kampung kreatif di Bandung. ”Kami menargetkan ada sebanyak 30 kampung kreatif baru pada 2018,” kata Ridwan Kamil.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2016, di halaman 23 dengan judul “Menyapa Karya nan Setia dari Labirin Kota”.