Hanya berselang dua pekan, dua pasar jual-beli karya seni rupa—Art Stage Jakarta dan Bazaar Art Jakarta—sama-sama beradu jurus menjaring duit dari para penikmat seni rupa Indonesia. Namun, jurus utama mereka sama, membumikan seni kepada khalayak luas agar kecintaan kepada mahakarya seni rupa bukan cuma jadi gairah para mahakaya.
Kerumunan itu berdesakan merubung meja kecil tempat Monica Gunawan menaruh sebuah lukisan yang terbungkus berlapis-lapis plastik. ”Tolong, ya, yang ini tidak boleh difoto, janji ya…,” ujar Monica kepada para perubungnya.
Pelan, tangannya yang bersarung tangan lateks membuka plastik pembungkus lukisan tua itu, yang ternyata salah satu karya maestro Adrien-Jean le Mayeur, yang seperlima kanvasnya ”kosong” karena cat minyaknya telah mengelupas. Belasan orang yang merubung Monica ternganga, antara terpukau melihat sapuan-sapuan kuas Le Mayeur sekitar 80 tahun silam dan kecut melihat beberapa area ”kosong” di kanvas itu.
”Inilah tantangan merestorasi lukisan. Kami belum menemukan dokumen foto yang memperlihatkan kondisi awal lukisan ini. Maka, kami harus menunggu. Seorang restorator tidak boleh menafsir karena tugasnya mengembalikan sebuah karya kepada kondisi aslinya,” ujar Monica, sang galeris dari Galeri Art:1, Jakarta, itu.
Hendrico Luki, salah satu perubung Monica dalam diskusi Restorasi Karya Seni dalam perhelatan Bazaar Art Jakarta (BAJ) 2016 pada Jumat (26/8) itu, gemas, tak bisa lagi menahan pertanyaan. ”Sebentar, merestorasi karya seni itu menaikkan nilai karya seni atau justru membuat nilainya jatuh?”
”Menaikkan nilai karya. Akan tetapi, restorasi hanya boleh dilakukan orang berkeahlian khusus untuk itu. Restorasi harus didasarkan data yang sahih. Restorasi penting dilakukan secara berkala karena Indonesia memiliki suhu dan kelembaban yang bisa merusak lukisan, misalnya menimbulkan jamur. Belum lagi pernis dari lukisan tua sering kali dari damar yang menguning dimakan usia sehingga mengusamkan warna,” kata Monica.
Kerumunan itu semakin tertegun menyimak cerita Monica soal seluk-beluk restorasi benda seni. Berapa orang lain terperangah belakangan ketika tahu siapa pelukis kanvas malang itu. Salinan lukisan lain Adrien-Jean le Mayeur, ”Baliness Beauties Preparing an Offering”, tengah dipamerkan di BAJ oleh rumah lelang Sotheby’s karena bakal dilelang pada 1-5 Oktober. Taksiran harga lukisan yang akan dilelang itu 387.000 dollar AS sampai 645.000 dollar AS alias berkisar Rp 5,1 miliar hingga Rp 8,5 miliar!
Membumikan seni
Diskusi kecil yang interaktif itu menjadi perona penting bagi BAJ 2016, sebuah pasar jual-beli karya seni rupa yang tengah digelar di The Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, 25-28 Agustus ini. Ia menggenapi berbagai program BAJ untuk membumikan seni kepada publik luas—mulai dari diskusi, pameran nonkomersial, sampai kursus singkat membuat beragam karya seni rupa.
Bukan cuma BAJ yang memakai jurus ”membumikan seni” untuk menggaungkan perhelatan pasar jual-beli karya seninya. Pada 5-7 Agustus, Art Stage Singapura membuka ”lapak cabang”-nya lewat Art Stage Jakarta yang digelar di Hotel Sheraton Grand Jakarta, Gandaria City, Jakarta.
Art Stage Jakarta juga menggelar sejumlah program edukasi seni, termasuk pameran Expose yang menghadirkan koleksi enam kolektor seni rupa kontemporer asal Indonesia. Selain itu, terdapat pameran Affandi, The Human Face yang menghadirkan 17 lukisan karya Affandi milik para kolektor senior Indonesia—Alex Tedja, Caecil Papadimitriou, Deddy Kusuma, dan Rudy Akili.
Pendiri Art Stage Singapura, Lorenzo Rudolf, menyebut, Art Stage Jakarta digelar untuk menjadi jembatan bagi khalayak seni rupa internasional dalam mengenal karya seni rupa dan perupa Indonesia.
”Dengan Art Stage Jakarta, saya mencoba membawa khalayak seni rupa dunia untuk datang ke Jakarta. Namun, Art Stage Jakarta juga akan menjadi ajang bertukar pengetahuan tentang seni rupa Indonesia. Diskusi seni rupa dan pameran nonkomersial menjadi bagian penting dari perhelatan kami,” kata Lorenzo Rudolf soal program edukasi seni dalam Art Stage Jakarta lalu.
Pameran nonkomersial Art Stage Jakarta boleh jadi mengurangi keangkeran pasar seni yang dihadiri 49 galeri dalam dan luar negeri itu. Galeri internasional, seperti Galerie Perrotin dan Pearl Lam Galleries (Hongkong), Shonandai Gallery (Tokyo), Villa del Arte (Barcelona), dan Schuebbe Inc (Dusseldorf), jelas menjual karya-karya berharga selangit. Pameran nonkomersial jelas menjadi ruang ramah buat siapa pun untuk menikmati karya-karya seni rupa terbaik dan dengan jurus itu, Art Stage Jakarta menaut 15.000 lebih pengunjung.
Pengalaman pertama
BAJ 2016 yang masih berlangsung hingga Minggu (28/8) ini belum selesai menghitung penonton, tetapi boleh jadi menyalip pengunjung Art Stage Jakarta. BAJ bisa unggul karena menjanjikan pengalaman pertama mengoleksi karya seni bagi lebih banyak orang. Itu karena BAJ 2016 getol merangsang galeri-galeri peserta pamerannya membuka ”lapak kedua”, yang menawarkan karya seni rupa bermutu, tetapi berharga miring.
Edwin’s Gallery, salah satu galeri seni rupa tertua di Jakarta, misalnya, menawarkan karya-karya terbaik dari perupa dalam dan luar negeri di anjungan yang ada di ”jantung” area BAJ. Karya-karya Agapetus AK, Jumaldi Alfi, Kemalezedine, M Irfan, Nasirun, ataupun karya Yi Hwan Kwon tentu saja ditawarkan seharga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Namun, Edwin’s Gallery juga membuka lapak kedua, Kecil Itu Indah 14, menawarkan karya pelukis senior dan yunior berukuran kecil dengan kisaran harga Rp 2,7 juta sampai Rp 29 juta.
”Galeri kami sejak 1989 memiliki program pameran Kecil Itu Indah, yang memang digelar untuk membuat khalayak luas bisa ikut mengoleksi karya seni bermutu tanpa terbebani harga. Namun, memang baru kali ini Kecil Itu Indah hadir di Bazaar Art Jakarta,” kata Edwin yang juga Ketua Asosiasi Galeri Seni Indonesia.
Art:1 juga membuka ”lapak kedua” yang menawarkan karya-karya perupa, seperti Ruth Marbun, Erizal AS, dan Dolorosa Sinaga—mulai dari harga Rp 2 juta hingga Rp 60 juta. Galeri Srisasanti juga membuka ”lapak kedua” dengan anjungan Nasi Goreng Diplomacy dengan berbagai barang sehari-hari, yang menjadi langka karena dihiasi karya para perupa muda terpilih. Totebag berhias karya Roby Dwi Antono, misalnya, ditawarkan dengan harga Rp 169.000. Sementara sepatu berkulit lukisan khas Roby dijual dengan harga Rp 3,5 juta.
”Buang jauh-jauh anggapan orang bahwa kita harus kaya raya untuk bisa mengoleksi karya seni. Setiap orang bisa menjadi kolektor karya seni rupa dan minat mengoleksi itu akan berkembang dengan sendirinya. Jangan salah, galeri yang berani bertarung dalam art fairtidak akan menyajikan karya seni murahan. Karya seni yang bisa diduplikasi memang punya peluang dibuat dalam jumlah terbatas sehingga harga jualnya lebih murah ketimbang lukisan yang hanya sebuah, misalnya. Itulah karya seni yang harganya bisa dijangkau lebih banyak orang,” kata St Eddy Prakoso dari Galeri Srisasanti.
Akankah gairah mengapresiasi seni, khususnya seni rupa, menjadi keseharian kita? Dua perhelatan pasar jual-beli itu mungkin baru sebatas medium untuk meneruskan seni rupa (modern) dalam keseharian kita. Selebihnya, seberapa tahan ajang ini akan berlanjut….
Aryo Wisanggeni G
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2016, di halaman 17 dengan judul “Berlomba Bumikan Seni Rupa”.