Okinawa, Wajah Lain Jepang

43
828

Dengan sangat antusias, Ikeno Yukio (60) mengajak saya menuju bengkel gerabahnya. Suatu keramahan yang mungkin sulit ditemukan di negara-negara maju, seperti halnya di Jepang ini. Namun, di Okinawa, prefektur paling selatan Jepang, tempat Ikeno bermukim, keramahan, tradisi, dan kehidupan modern memang bisa saling berpadu.

Ikeno tak fasih berbahasa Inggris. Akan tetapi, kendala bahasa tidak menjadi penghalang. Ikeno sangat antusias dan terbuka mengajak saya mengunjungi bengkel gerabahnya yang berdampingan dengan tokonya di pusat kerajinan gerabah di Jalan Tsuboya Yachimun, Kota Naha.

Seperti mengerti dengan keinginan saya yang siap memotret bengkel gerabahnya, Ikeno pun langsung mengambil posisi di depan cakram pembuat gerabah. Tangannya yang terampil dengan sangat sabar membentuk tanah liat basah yang berputar di atas cakram.

Puas memotret aksinya membuat gerabah, saya kembali diajak Ikeno, kakek berusia sekitar 60 tahun itu, untuk melihat tungku yang sudah terisi penuh gerabah yang baru saja dibakar. Sungguh pengalaman menarik memperoleh pengetahuan kehidupan di negara lain. Sambil menunjukkan buku gerabah Okinawa, Ikeno, dengan bahasa Inggris yang patah-patah, menyampaikan bahwa tradisi gerabah di tempat tinggalnya sudah berlangsung 300 tahun lebih.

”Sudah sangat lama,” ucap Ikeno memberikan penjelasan tentang tradisi pembuatan gerabah Okinawa.

 Ikeno Yukio, perajin gerabah di kawasan Tsuboya Yachimun, Kota Naha, Okinawa, Jepang, ini menunjukkan hasil karyanya berupa pernak-pernik dari gerabah yang baru selesai dibakar dengan tungku, pada akhir Maret lalu. Tsuboya Yachimun merupakan kawasan perajin gerabah yang ada di tengah Kota Naha.Kompas/Madina Nusrat
Ikeno Yukio, perajin gerabah di kawasan Tsuboya Yachimun, Kota Naha, Okinawa, Jepang, ini menunjukkan hasil karyanya berupa pernak-pernik dari gerabah yang baru selesai dibakar dengan tungku, pada akhir Maret lalu. Tsuboya Yachimun merupakan kawasan perajin gerabah yang ada di tengah Kota Naha.Kompas/Madina Nusrat

Di pusat kerajinan gerabah Okinawa di Jalan Tsuboya Yachimun ini, kita tak hanya menemukan hasil kerajinan gerabah warga setempat, tetapi juga suasana tradisional khas Jepang. Di sepanjang Jalan Tsuboya berdiri sejumlah rumah yang masih menjaga kekhasan tradisional, yaitu berdinding kayu dengan genteng merah dan pintu-pintu kaca gaya Jepang.

Permukaan Jalan Tsuboya Yachimun juga tak dilapis aspal, melainkan batu kuning dan hitam yang ditata rapi. Sementara di kanan dan kiri jalan berdiri toko dan bengkel gerabah seperti milik Ikeno.

Patung Shi-sha, dewa penjaga warga Okinawa, merupakan patung gerabah paling banyak dibuat di pusat kerajinan keramik ini. Patung dewa ini juga banyak dijual di kawasan pertokoan kerajinan tradisional Okinawa di Jalan Kokusai Dori.

Kedua jalan yang menjadi pusat kerajinan Okinawa ini berada berdekatan sehingga dapat dijangkau dengan menumpangi monorail dan turun di Stasiun Makishi yang langsung terhubung ke Jalan Kokusai Dori. Dari Jalan Kokusai Dori, untuk menuju pusat kerajinan keramik di Jalan Tsuboya Yachimun, dapat berbelok ke jalan di samping gedung Pusat Informasi Pariwisata Tenbusu Naha.

Sementara di Jalan Kokusai Dori dapat ditemui beragam kerajinan dan makanan kecil khas Okinawa. Jika kita bersikap ramah dan bersahabat, beberapa pedagang di toko kerajinan di sepanjang Jalan Kokusai Dori itu tidak segan memberikan kita bonus cendera mata untuk dibawa pulang, seperti sapu tangan ataupun biskuit.

Di jalan itu juga dapat ditemukan toko bebas pajak yang menyediakan makanan Jepang dan berbagai macam barang, mulai dari elektronik, mainan anak, hingga tas dan sepatu.

Bagi pencinta barang elektronik, di beberapa toko bebas pajak tersedia barang-barang elektronik yang belum tentu ada di Indonesia dan berharga murah. Contohnya, alat pijat punggung merek Omron dijual seharga 3.000 yen atau sekitar Rp 300.000.

Setiap hari, Jalan Kokusai Dori ini ramai oleh pengunjung, baik wisatawan lokal dari Tokyo maupun wisatawan asing dari negara tetangga, seperti Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Pada akhir pekan, jalan ini juga dipenuhi para anggota militer Amerika yang bertugas di pangkalan militer di kawasan Okinawa.

 

Pernah diduduki AS

Dalam sejarahnya, seperti dikutip dari situs panduan wisata Jepang di www.jnto.or.id, Okinawa merupakan kawasan kepulauan Jepang yang pernah diduduki tentara Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II. Kawasan kepulauan itu baru dikembalikan ke pangkuan Jepang pada tahun 1972.

Untuk selanjutnya, sebagian area Okinawa tetap digunakan Amerika Serikat sebagai pangkalan militernya. Pangkalan militer itu masih beroperasi hingga saat ini. Pada akhir pekan, anggota militer itu biasanya berpelesir di Jalan Kokusai Dori untuk makan ataupun ngobrol di kafe.

Memori Perang Dunia II ini masih sangat lekat pada Benteng Shurijo yang menjadi area pertahanan dan tempat tinggal penguasa Okinawa masa lampau, Kerajaan Ryukyu. Benteng itu berdiri sejak 1372, tetapi hancur lebur akibat Perang Dunia II antara Jepang dan Amerika Serikat pada 1945.

Butuh waktu sekitar 47 tahun untuk merestorasi seluruh Benteng Shurijo yang terdiri dari bangunan Keraton Shurijo, rumah raja menjalankan bisnisnya, rumah tempat permaisuri menerima tamu, termasuk taman di sekitarnya. Tahun 1992, satu per satu bangunan pada kompleks benteng bersejarah itu dibuka untuk umum secara bertahap hingga 2014 lalu.

Sangat menarik mengunjungi Benteng Shurijo karena kita dapat menjelajahi seluruh area benteng, termasuk keraton dan rumah yang dijadikan tempat bagi raja menjalankan bisnisnya. Tiket masuknya cukup 800 yen atau sekitar Rp 80.000 per orang.

Jangan lupa memperhatikan brosur panduan wisata di Benteng Shurijo ini karena pada jam tertentu digelar pertunjukan tari tradisional Jepang yang dapat dinikmati gratis.

Sementara sisa peperangan masa Perang Dunia II ini direspons kalangan seniman Okinawa dengan menyelenggarakan Festival Film Okinawa yang sudah 7 tahun terakhir digelar rutin setiap tahun.

Festival film berangkat dari keprihatinan terhadap warga Okinawa yang menjadi korban perang dunia. Festival film yang turut didukung agen hiburan Jepang, Yoshimoto Kogyo, itu hadir untuk menghibur warga setempat. Namun, kini festival itu mulai mempertunjukkan film-film asing dari Asia dan sejumlah negara lainnya.

Okinawa adalah wajah Jepang yang tentu berbeda dengan ingar-bingar Tokyo. Dengan potensinya yang telah tergarap baik, berwisata ke Okinawa bisa jadi pilihan tepat mengisi liburan.

Madina Nusrat


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Mei 2015, di halaman 28 dengan judul “JALAN-JALAN: Okinawa, Wajah Lain Jepang”

Comments are closed.