Ketika Mitos dan Genetika Bertemu di Wunga

0
2486

Wunga berasal dari kata ”kawunga”, yang dalam bahasa Sumba berarti ’asal’. Seperti namanya, Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Sumba Timur, ini dipercaya sebagai kampung asal bagi orang Sumba. Penelitian genetika ternyata menemukan data yang menguatkan kisah lisan yang dipercaya turun-temurun ini.

Sepanjang perjalanan dari Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, ke Desa Wunga, pemandangan didominasi sabana yang menghampar di kanan-kiri jalan berliku. Bongkahan karang yang putih dan sebagian menghitam terbakar mencipta kontras pada warna kuning rerumputan. Kuda, kerbau, dan sapi merajai padang luas itu. Mereka berkeliaran dan sesekali melintas di jalan, bergerombol.

Tiga jam perjalanan, kami tiba di kaki bukit kapur. Matahari terasa begitu rendah dan tepat di atas kepala. Angin berembus kencang. Kami rehat sejenak di tangga batu yang dinaungi pepohonan rapat, sebelum mulai mendaki. Desa Wunga berada di atas bukit kapur itu. Susunan batu karang memagarinya. Pintu masuknya berupa celah selebar 1 meter yang diapit dua pohon raksasa. Orang Sumba menyebut pohon itu sebagai talicuk.

Di dalam kampung, kubur batu megalitik berderet dengan berbagai menara arcanya. Hanya tersisa empat rumah di dalam kampung itu, tetapi satu di antaranya hampir roboh. Kebakaran hebat pada 2010 menghancurkan tujuh dari 12 rumah adat di kampung ini, sementara satu rumah lainnya lapuk digerogoti waktu.

Suasana kampung siang itu sepi. ”Inilah yang tersisa di Wunga, padahal ini kampung asal orang Sumba,” ujar Hurung Dandumara (55), warga Wunga, yang baru pulang dari ladang.

Megalitik. Kompas/Ahmad Arif
Megalitik. Kompas/Ahmad Arif

Dia kemudian mengajak masuk ke dalam rumah untuk menemui ayahnya, Lot Wulang (80), yang juga kepala rumah kabisu Anamaru. Lelaki tua itu sudah sakit-sakitan dan tak sanggup beranjak lagi dari tempat tidurnya, papan kayu yang dilapisi kain. Suasana di dalam rumah panggung beratap ilalang itu temaram. Tungku di tengah ruangan masih mengepulkan asap.

Bentuk rumah dan posisi tungku ini mengingatkan pada rumah-rumah tradisional lain di Indonesia, seperti rumah Karo di Sumatera Utara hingga rumah Mentawai di Sumatera Barat. Dari segi arsitekturnya, rumah tradisional ini mencirikan budaya Austronesia.

Arsitektur vernakuler ini dicirikan dengan struktur kotak yang didirikan di atas tiang kayu, biasanya ditanam ke dalam tanah atau diletakkan di fondasi batu, lantai panggung, atap miring dengan jurai yang diperpanjang dan bagian depan atap yang condong mencuat keluar (Peter JM Nas, 1998).

”Ukiran di tiang rumah ini mengisahkan perjalanan leluhur. Tujuh pahatan di tiga tiang menandakan tujuh pulau dan delapan pahatan di tiang utama menggambarkan delapan lautan yang dilalui,” kisah Wulang.

 

 Kondisi rumah adat di Desa Wunga, Sumba Timur. Kompas/Ahmad Arif
Kondisi rumah adat di Desa Wunga, Sumba Timur. Kompas/Ahmad Arif

 

Para perempuan di Sumba Tengah mengambil air dari mata air. Kompas/Ahmad Arif
Para perempuan di Sumba Tengah mengambil air dari mata air. Kompas/Ahmad Arif

Menurut dia, perjalanan ini dilakukan dari tanah Asia dengan menyeberang Selat Malaka, kemudian ke Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, hingga Sumba. Dari Flores mendarat di Tanjung Sasar dan mendirikan kampung pertama di Wunga, sebelum menyebar ke bagian barat dan timur pulau ini.

Sebelum kedatangan nenek moyang di Sumba, konon di pulau ini sudah ada penghuni lama. Menurut budayawan Sumba, Frans W Hebi, dalam kisah lisan disebutkan, penghuni awal pulau ini belum mengenal api sehingga semua makanan dimakan mentah. Mereka dikenal sebagai to marang (Kodi, Sumba Barat Daya) atau mamarung (Sumba Timur) dan sering disalahartikan sebagai suanggi.

Antropolog dari Universitas Arizona, Stephen Lansing, dan tiga peneliti genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman-Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Herawati Sudoyo Supolo, Gludhug Ariyo Purnomo, dan Isabella Apriyana, mengumpulkan kisah itu untuk melengkapi studi mereka tentang asal-usul dan diaspora orangSumba.

”Bisa jadi kisah ini bercampur aduk dengan pengetahuan baru yang datang belakangan. Migrasi nenek moyang orang Sumba sudah ribuan tahun, bagaimana mereka bisa mengingatnya?” ujar Lansing yang kini menjabat Direktur Complexity Institute, Nanyang Technological University- Singapura. ”Jika pun benar, cerita ini kemungkinan versi penutur Austronesia.”

Sekalipun bersikap skeptis, Lansing tetap menghormati pengetahuan lokal orang Sumba ini. Apalagi riset genetika semakin memberikan titik terang tentang teka-teki asal-usul orang Sumba.

 

Pembauran genetika

”Tahun 2007 kami telah mengambil sampel genetika dan memetakan diaspora bahasa masyarakat di Pulau Sumba,” ujar Herawati. Penelitian menggunakan marka Y-kromosom (penanda genetika lelaki) itu menemukan, genetika orang Sumba memiliki haplogrup (kelompok motif genetik) C, K, M, dan O.

Motif C selama ini banyak ditemukan di Indonesia bagian timur dan menjadi penanda genetika orang Papua yang merupakan kelompok migrasi pertama dari Afrika dan diperkirakan tiba di Nusantara sekitar 50.000 tahun lalu. Motif O dimiliki penutur Austronesia yang datang dari Formosa, Taiwan, dan tiba paling belakangan di Nusantara, yaitu 5.000-4.000 tahun lalu.

Sementara motif K dan M kerap diasosiasikan dengan migran dari Asia daratan, yang datang sesudah migrasi pertama dari Afrika hingga Papua, tetapi sebelum kedatangan penutur Austronesia. Motif K dan M ini masih belum jelas rute migrasinya, tetapi kemungkinan juga lewat jalur darat dari Semenanjung Malaysia melalui Sumatera, Jawa, hingga ke Sumba.

”Temuan ini menunjukkan bahwa orang Sumba saat ini terbentuk dari pembauran genetika tiga populasi berbeda,” ujar Herawati. ”Artinya, sebelum kedatangan orang Austronesia, telah ada penduduk di Sumba dan kemudian terjadi percampuran.”

Menariknya, menurut Lansing, Desa Wunga, yang berada di sisi utara pulau ini, memiliki unsur haplogrup Austronesia paling lengkap dibandingkan dengan desa lain di Sumba. Ini menunjukkan bahwa Wunga memang merupakan desa pertama dari penutur Austronesia di Sumba. ”Semua tipe genetik Austronesia yang ada di desa lain ada di Wunga,” ujarnya.

Dengan mencermati pola genetikanya, menurut Herawati, bisa digambarkan perjalanan migrasi nenek moyang penutur Austronesia di Sumba. Dari Wunga sebagian kemudian berjalan ke selatan. Begitu tiba di tengah pulau ini, mereka memisahkan diri dalam dua kelompok besar, satu ke arah timur dan lainnya ke arah barat. Dalam setiap migrasi ini terjadi percampuran dengan non-Austronesia yang telah lebih dulu tinggal di pulau itu.

Pembauran genetik ini juga terlihat dengan adanya penggunaan bahasa Austronesia dan non-Austronesia di Sumba. Contoh kata di Sumba yang berakar pada bahasa Austronesia, misalnya kata ”bulu” yang dilafalkan sebagai ”wulu” di Mamboru (Sumba Tengah) dan juga di Kodi (Sumba Barat Daya). Kata ”mata” juga dilafalkan sebagai ”mata”, baik di Mamboru maupun Kodi.

Sementara beberapa contoh bahasa non-Austronesia yang bisa dijumpai di Sumba, misalnya kata ”daging” yang dilafalkan sebagai ”tolu” di Mamboru dan ”kabi” di Kodi. Kata ”rambut” di Mamboru dilafalkan sebagai ”longgi”, sedangkan di Kodi disebut ”longge”.

Analisis genetika lebih lanjut menggunakan autosomal SNPs oleh Murray Cox dari Institute of Fundamental Sciences, Messey University, Selandia Baru (2015) menemukan dugaan terjadinya percampuran genetika Austronesia dan non-Austronesia yang pertama di Sumba sekitar 4.085 tahun lalu. Seperti analisis marka Y-kromosom, penelitian Cox ini juga menemukan keberagaman genetika Austronesia tertinggi berada di Wunga.

Dengan bekal penjelasan inilah kami kemudian menelusuri Pulau Sumba. Kami dikejutkan dengan kenyataan bahwa sekalipun memiliki nenek moyang yang sama, pulau ini menyimpan keberagaman bahasa dan kebudayaan. Sumba bagian timur, misalnya, hingga saat ini masih sangat kuat menerapkan kasta dan praktik perhambaan. Adapun di Sumba bagian barat, praktik ini hampir tiada lagi.

Genetika jelas tidak mengenal pembagian berdasarkan kasta. Bahkan, pembedaan ciri fisik tak lebih lelucon genetik. Namun, menurut Steve Olson dalam bukunya, Mapping Human History: Discovering the Past Through Our Genes (2003), kecenderungan kita untuk membedakan manusia ke dalam kategori fisik ataupun asal-usul keturunannya adalah sumber tragedi dan konflik dalam peradaban manusia.

Saat menemui kenyataan ini, kami jadi teringat penjelasan Wulang dari Wunga. ”Saat baru tiba di Wunga, semuanya sebenarnya masih sama, posisinya adalah teman seperjalanan. Kasta tuan dan hamba terbentuk karena perang dan penjajahan,” ujarnya.

Orang Sumba, khususnya Sumba Timur, yang masih ketat menerapkan praktik perhambaan, sebaiknya kembali melakukan ziarah ke Wunga….

Ahmad Arif


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2016, di halaman 30 dengan judul “Ketika Mitos dan Genetika Bertemu di Wunga”