Sebagian masalah kesehatan dunia dewasa ini adalah karena konsumsi gula berlebihan dan kekurangan zat gizi mikro. Untuk itu, WHO merekomendasikan bahwa perusahaan pangan perlu ikut bertanggung jawab atas kandungan gizi yang mencukupi dengan kadar tertentu dalam setiap produknya.
Gula menjadi kebutuhan sehari-hari karena manfaat gula yang tak terelakkan, seperti untuk energi tubuh, memberi rasa manis sehingga dapat mengurangi rasa pahit, membentuk tekstur makanan, serta penting dalam proses pembentukan karamel atau karamelisasi. ”Kalau tidak ada gula, karamelisasi tidak terjadi,” kata Oliver Roger, ketua tim peneliti hidrat arang Pusat Penelitian Nestle di Lausanne, Swiss, Rabu (10/8).
Namun, dampak negatif konsumsi gula tidak kalah mematikannya. Oleh karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 2013 menyusun pedoman konsumsi gula untuk dewasa dan anak-anak. WHO merekomendasikan sedikitnya 10 persen dari kalori makanan bebas gula.
Rekomendasi itu berdasarkan dampak dari konsumsi gula berlebih terhadap risiko kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes atau penyakit kencing manis tipe 2. Jika penyakit kencing manis tipe 1 disebabkan oleh faktor keturunan, penyakit kencing manis tipe 2 disebabkan oleh pola makan yang kelebihan gula.
Di Indonesia, penyakit kencing manis dan komplikasinya menjadi penyebab kematian terbesar ketiga, yakni 6,7 persen setelah stroke (21,1 persen) dan jantung (12,9 persen). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, angka kejadian atau prevalensi penyakit kencing manis naik dari 5,7 persen pada 2007 menjadi 6,9 persen pada 2013 atau sekitar 9,1 juta orang dengan penyakit kencing manis. Tanpa intervensi, jumlah penyandang kencing manis diperkirakan naik menjadi 16,2 juta jiwa pada 2040 (Kompas, 15/8).
Sementara masyarakat cenderung memakan gula berlebihan; di sisi lain, dunia menghadapi masalah serius dalam kurangnya zat gizi mikro dalam makanan, yaitu mineral dan vitamin. Ada empat besar zat gizi mikro yang kurang dikonsumsi masyarakat, seperti zat besi, vitamin A, seng, dan yodium.
Indonesia adalah salah satu negara dengan kekurangan zat gizi mikro yang tinggi. ”Kekurangan zat gizi mikro itu disebut kelaparan tersembunyi,” ujar Galaffu Nicola, ketua tim peneliti zat gizi mikro Pusat Penelitian Nestle.
Berdasarkan data WHO, kekurangan zat besi—yang menyebabkan anemia—terjadi pada 30 persen populasi. Anemia adalah kondisi sedikitnya sel darah merah yang sehat atau rendahnya hemoglobin yang penting untuk pengangkutan oksigen dalam tubuh.
Kekurangan vitamin A—yang menyebabkan kebutaan—terjadi pada 15 persen-60 persen dari populasi anak-anak sebelum usia sekolah dan perempuan hamil. Kekurangan yodium—yang menyebabkan masalah dalam perkembangan otak—menimpa 13 persen dari populasi. Kekurangan seng—yang antara lain menyebabkan masalah dalam kekebalan tubuh—menimpa 20 persen populasi.
Upaya industri makanan
Nestle, salah satu perusahaan nutrisi dan kesehatan global yang berpusat di Swiss, tak luput dari tanggung jawab untuk ikut mengurangi kandungan gula dan meningkatkan kandungan zat gizi dalam setiap produknya. Upaya tersebut dilakukan sejak tahun 2014 dan dilanjutkan pada 2016 ini.
Apalagi, seperti dikemukakan Kepala Hubungan Media Perusahaan Nestle Robin Tickle, variasi produknya mencapai 2.000-an jenis. Perusahaan yang berusia 150 tahun pada 2016 ini memasarkan produknya di 85 negara di dunia.
Dengan penjualan pada 2015 senilai 1,5 miliar swiss franc atau setara Rp 20,5 triliun, jutaan orang di dunia telah mengonsumsi produknya yang di antaranya mengandung gula. Pada 2015 saja, perusahaan ini menggunakan 439.024 ton gula untuk produknya atau setara 21.951 truk peti kemas kapasitas 20 ton.
Beberapa cara dilakukan untuk menurunkan kandungan gula dalam produknya. Cara-cara tersebut ditunjukkan oleh para peneliti di laboratorium perusahaan itu kepada 40-an wartawan dari Eropa, Timur Tengah, dan Asia, termasuk wartawan Kompas. Cara itu adalah mengganti gula dengan pemanis alami stevia yang diekstrak dari tanaman daerah subtropis Stevia rebaudiana atau tanaman daun manis. Cara lain adalah mengganti gula dengan serat, seperti gandum.
Dengan cara itu, perusahaan itu mengklaim telah mengurangi gula 4,1 persen atau 18.000 ton pada 2015. Dalam produk es krim penurunan gula mencapai 19 persen dan 30 persen untuk produk bubuk cokelat. Pada 2016 ini perusahaan menargetkan penurunan gula 10 persen, yang setara dengan 43.902 ton.
Tantangan utama pengurangan gula ini adalah kekonsistenan rasa bagi konsumen. ”Harga bagi konsumen diupayakan tetap sama walaupun biaya naik di produsen. Kalau penerimaan di pasar tergantung kualitas produknya itu sendiri,” ujar Oliver Roger.
Sambil berupaya mengganti gula, Nestle juga menambahkan zat besi ke produk kaldunya. Oliver menunjukkan di laboratorium, perubahan warna terjadi pada cairan kaldu yang ditambah zat besi, yaitu menjadi lebih gelap. Perubahan warna itu mungkin dipersoalkan sejumlah konsumen, tetapi manfaat yang lebih besar dari penambahan zat besi lebih penting.
Produk kaldu padat itu dipasarkan di Afrika Barat dan Afrika Tengah. Di Nigeria, misalnya, kaldu berzat besi itu terjual 80 juta bungkus per hari. Di sana kaldu padat ini populer untuk membuat sup dan masakan rebus lainnya.
Selain melalui upaya di industri makanan, kata Oliver, upaya perbaikan gizi ini lebih luas lagi perlu dilakukan melalui pendidikan. Regulasi pemerintah juga diperlukan untuk mengurangi konsumsi gula dan meningkatkan kandungan zat gizi dalam makanan.
Pada 2011-2012, Pemerintah Indonesia pernah berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Gula, Garam, dan Lemak, tetapi tidak jadi dikeluarkan. Kementerian Kesehatan hanya mengeluarkan kebijakan label tentang kandungan gizi suatu produk makanan.
Peraturan itu berwujud menjadi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak, serta Pesan Kesehatan bagi Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Pesan kesehatan itu ialah ”konsumsi gula lebih dari 50 gram, natrium di atas 2.000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung”. Namun, Peraturan itu juga dibatalkan pada 1 Januari 2016 karena ditolak kementerian lain (Kompas, 15/8).
Sekarang, dengan mulai adanya kesadaran industri makanan untuk mengurangi kadar gula dan dampak kesehatan yang ditimbulkannya terhadap kesehatan, pemerintah perlu berpikir ulang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Gula, Garam, dan Lemak tersebut.