Christopher Froome (31) punya cara unik untuk memacu diri dalam latihan demi memenangi perlombaan balap sepeda. Setiap kali mengayuh sepeda, ia membayangkan sedang membawa satu tas berisi uang. Uang itu harus ia bayarkan setiap kali ia memboroskan energi saat mengayuh sepeda. Imajinasi ”bocah” kelahiran Kenya itu berbuah manis.
Ambisinya untuk bisa menyandang tiga mahkota juara di lomba balap sepeda paling bergengsi di dunia, Tour de France (TdF), terpenuhi pada 2016. Sebelumnya, ia menjuarai TdF 2013 dan 2015. ”Setelah (merasakan) semua rasa sakit ini, akhirnya impian saya bisa tercapai,” kata Froome—satu-satunya pebalap sepeda Inggris yang menjuarai TdF tiga kali—seperti ditulis
cyclingnews.com.
Sejak etape kedelapan hingga terakhir (21 etape), ia berhasil mempertahankan kaus kuning—tanda untuk pebalap yang memimpin balapan— tanpa pernah terlepas hingga akhir lomba. Froome, yang dikenal sebagai pebalap jago tanjakan, melibas dengan mulus jalur pegunungan Pirenia dan Alpen yang diwarnai tanjakan-tanjakan kategori super.
Catatan waktu yang ia raih meninggalkan pesaing beratnya, Nairo Quintana (Spanyol) dan Romain Bardet (Perancis). Jarak tempuh 3.535 kilometer—melewati empat negara, yaitu Perancis, Andora, Spanyol, dan Swiss—dilahap Froome dalam waktu 89 jam, 4 menit, 48 detik. Dua lawan berat Froome melahap waktu empat menit lebih lambat.
Semua pencapaian itu berkat latihan keras dan prinsip ”tas berisi uang” yang selama ini selalu menjadi pegangan Froome. Dia selalu menggenjot disiplin diri. Setiap kali ia memboroskan energi, ia harus membayar dengan uang dari tas yang dibawanya.
”Saya harus membayar ketika saya mengayuh sepeda melawan angin. Saya juga harus membayar jika saya mendahului peloton (rombongan pebalap sepeda yang bergerak bersamaan) di tanjakan,” kata Froome saat diwawancara Joao Medeiros dari
wired.co.uk.
”Mesin besar”
Froome menjadi andalan Tim Sky demi bisa memenuhi ambisi Dave Brailsford, pehobi balap sepeda yang membentuk Tim Sky pada 2009. Saat itu, Tim Sky bernama Sky Procycling. Brailsford ingin mendorong Inggris yang tidak punya tradisi dalam balap sepeda agar bisa menyabet banyak gelar di Tour de France. Pertemuannya dengan Froome dimulai pada 2010.
Brailsford kepincut dengan
Froome saat pebalap itu masih bergabung dengan Barloworld, tim balap sepeda yang disponsori perusahaan Afrika Selatan. Sejak bergabung dengan Sky, Froome ditangani oleh Tim Kerrison, pelatih renang Australia yang dikontrak Brailsford untuk menangani Sky.
Selama latihan, Kerrison melihat Froome punya potensi luar biasa. Kerrison mengibaratkan Froome sebagai sebuah ”mesin besar”. ”Hanya saja, dia belum tahu bagaimana menggunakannya,” kata Kerrison saat itu.
Kerrison mengamati hasil tes laboratorium di Lausanne, Swiss, terkait kondisi fisiologi Froome pada 2007. Hasilnya, Froome memiliki catatan luar biasa. Ia memiliki VO2 max sangat tinggi, yaitu 80,2 mililiter oksigen per menit per kilogram berat tubuh.
VO2 max merupakan kadar maksimum oksigen yang mampu dikonsumsi saat latihan dengan kapasitas tinggi. Oksigen berguna untuk membantu otot menghasilkan energi. ”Angka ini biasa dimiliki oleh para juara Tour de France,” kata Kerrison.
Hasil tes itulah yang membuat
Froome dikontrak oleh Sky. Ia kini menjadi salah seorang pebalap dengan gaji termahal, yakni 3 juta pounds atau sekitar Rp 51,8 miliar per tahun. Saat pertama kali bergabung dengan Sky, ia hanya digaji 80.000 pounds. Ketika membantu pebalap Sir Bradley Wiggins, rekan satu tim saat turun di TdF, gajinya naik menjadi 700.000 pounds.
Di Sky, Froome mendapat tempaan latihan jauh lebih besar daripada rekan-rekan satu timnya. Namun, hingga 2011, penampilan Froome di berbagai kejuaraan tampak tidak konsisten. Brailsford bahkan sempat terpikir untuk mencoret Froome dari skuad sebelum akhirnya mereka tahu bahwa inkonsistensi Froome dikarenakan ia terkena penyakit yang bersumber dari parasit.
Kemenangan Froome di TdF 2015 dan 2016 tidak pelak memunculkan rumor bahwa pebalap itu menggunakan doping. Publik memang sempat kehilangan kepercayaan pada dunia balap sepeda profesional yang beberapa kali diguncang skandal doping. Salah satu kasus doping terbesar dan paling canggih melibatkan ”dewa balap sepeda”, Lance Armstrong asal Amerika Serikat.
Setelah melalui penyelidikan panjang, pada 2012 Badan Anti Doping Amerika Serikat (USADA) berhasil membuktikan praktik doping Armstrong. Seturut pembuktian itu,
Persatuan Balap Sepeda Internasional (UCI) menjatuhkan vonis larangan berkompetisi seumur hidup bagi Armstrong dan mencabut semua gelar juara yang ia peroleh sejak 1998, termasuk tujuh gelar juara TdF dalam kurun waktu 1999-2005.
Belakangan, muncul praktik ”doping mekanik”, yakni menyelipkan motor kecil di dalam sepeda untuk meningkatkan kinerja sepeda.
Terkait tuduhan doping pada
Froome, Tim Sky berusaha menepisnya dengan menggelar serangkaian tes terhadap Froome. Tes dilakukan seusai Froome menyelesaikan etape ke-10 pada TdF 2016. Hasilnya, ia dinyatakan bersih dari doping. Tes serupa pernah dilakukan terhadap Froome pada TdF 2015.
Anak petani
Sejak kecil, Froomey, panggilan akrab Froome, menghabiskan waktu di Nairobi, Kenya, tempat ia dilahirkan. Keluarganya sebenarnya berasal dari Gloucestershire, Inggris. Namun, kedua orangtua Froome, Clive dan Jane, pindah ke Kenya untuk menjalankan bisnis pertanian. Tak ada pilihan,
Froome yang saat itu berusia 14 tahun, ikut orangtua ke Kenya.
Di negeri tersebut, bungsu dari tiga
bersaudara itu menekuni balap sepeda. ”Bersepeda itu merupakan bentuk kebebasan bagi saya,” kata Froome, seperti ditulis situs resmi teamsky.com.
Saat kedua kakaknya menekuni rugbi, Froome yang gemar bersepeda dibawa ibunya mengikuti kejuaraan di sebuah program amal di Kenya.
Di sana ia bertemu David Kinjah, pebalap profesional Kenya yang kemudian menjadi mentor dan teman berlatih Froome selanjutnya.
Ia sempat kuliah di jurusan ekonomi di University of Johannesburg. Namun, ia meninggalkan bangku kuliah yang telah dijalaninya dua tahun pada 2007 demi bergabung dengan The Super C Cycling Academy di Afrika Selatan.
Ketika Afrika Selatan mulai berpartisipasi mengikuti lomba balap
sepeda dunia untuk jalan raya, ia bergabung dengan tim profesional negara itu, Konica Minolta. Kariernya semakin melejit hingga akhirnya ia bisa ”pulang” ke Inggris di bawah bendera Sky.
”Saya mungkin saja menjadi seorang pekerja di belakang meja jika tidak menuruti kata hati saya (berhenti kuliah dan menekuni balap
sepeda),” kenang Froome.
Lusiana Indriasari
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2016, di halaman 16 dengan judul “Kayuhan Juara ”Si Mesin Besar””.