Bumi Priangan, khususnya Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, menyimpan banyak kecantikan yang akan membuat siapa pun jatuh hati. Bukan hanya mojang dan jejakanya yang geulis lagi ramah, melainkan juga berbagai tujuan wisatanya yang sungguh geulis pisan.
Perjalanan ke bumi priangan kali ini menyasar Kota dan Kabupaten Tasikmalaya yang memiliki banyak titik menarik untuk dikunjungi. Memang, jarak Jakarta-Tasikmalaya cukup jauh. Apabila mengendarai mobil, setidaknya butuh waktu sekitar 6-7 jam. Namun, dibandingkan dengan pengalaman yang kami peroleh selama menyusur Tasikmalaya, jarak yang jauh tak akan ada artinya. Mari buktikan!
Kamis (14/4)
09.00, Sentra Batik Tasikmalaya
Rute pertama di Kota Tasikmalaya kami mulai dengan perburuan batik Tasikmalaya yang dikenal geulis dari segi motif dan warnanya. Sentranya terletak di kawasan Cipedes, Cigeureng. Di situ, kami bisa keluar-masuk dari satu toko batik ke toko lainnya sampai puas, termasuk ”nyelonong” ke bengkel-bengkel batik para produsennya. Jika di toko kami bisa menyaksikan kain-kain batik cap ataupun tulis yang sudah jadi, di bengkel batik kami menyaksikan seluruh proses pembatikan yang dilakukan para perajin batik. Ada motif merak ngibing, bulu hayam, kujang,hingga lereng dokterdan lereng eneng khas Tasikmalaya. Yuk dipilih dipilih….
11.00, Sentra Payung Geulis
Dari sentra batik di Cigeureng, kami lanjut ke sentra payung geulis yang ada di kawasan Payingkiran. Payung geulis adalah ikon Kota Tasikmalaya yang dalam sejarahnya dulu kerap digunakan oleh none-none Belanda. Dalam bahasa lokal, geulis artinya ’cantik’. Payung geulis ini rangkanya terbuat dari bambu atau kayu bermacam jenis dengan penampang payung terbuat dari kertas dan kain, seperti satin, batik, brokat, dan bordir. Warna-warnanya berani mulai dari merah menyala, kuning, biru, hijau, hingga merah jambu terang. Motifnya pun beragam seperti motif bunga, buah, dan binatang yang dibuat dengan teknik lukis, disablon dengan karakter kesukaan anak-anak, atau disesuaikan permintaan konsumen.
Apabila berkunjung ke sentra payung geulis, Anda bisa menyaksikan pembuatan payung yang kini sekaligus menjadi atraksi menarik bagi wisatawan. Meski sempat surut, kerajinan payung geulis ini kini naik daun lagi dengan banyaknya pesanan dari hotel bukan hanya dari dalam kota, melainkan juga luar kota seperti Bali. Harganya bervariasi mulai dari Rp 35.000 untuk ukuran paling kecil. Cocok sebagai buah tangan.
13.00, Sentra Kelom Geulis
Dari Payingkiran, kami bergeser ke sentra kelom geulis di kawasan Gobras. Di kawasan ini berjajar toko-toko kelom geulis yang menawarkan kelom berbagai model untuk anak hingga dewasa. Umumnya, kelom geulis terbuat dari kayu mahoni dengan berbagai aplikasi dan hiasan yang menarik menggunakan teknik lukis dan air brush dengan berbagai motif, termasuk batik. Pada masa kejayaannya sekitar 1960-1980, kelom geulis identik dengan istilahmojang geulis (gadis cantik) dari Priangan. Kecantikan kelom geulis ini bahkan tak hanya menarik minat konsumen lokal. Kelom-kelom geulis pun diekspor ke luar negeri seperti ke Asia Tenggara, Korea, Timur Tengah, dan sebagian Eropa. Salah satu produsen kelom bahkan mengirim kelom-kelomnya kepada pemilik merek Benetton. Wow, geulis pisan, kan?
15.00, Sentra Golok Galonggong
Setelah menikmati yang geulis-geulis, menjelang sore kami mampir ke sentra kerajinan golok Tasikmalaya yang usianya diperkirakan sudah mencapai satu abad. Sentranya terletak di Kampung Galonggong, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya, yang sudah dikenal sebagai sentra produksi golok sejak zaman Belanda.
Metode pembuatannya disebut balik mipih, yaitu metode melaminasi beberapa macam jenis baja berbagai ukuran dalam satu bilah. Salah satu kekhasan golok Galonggong adalah bagian gagang yang didominasi bentuk kepala burung kutilang, sementara sarungnya berbentuk cicak yang terbuat dari tanduk atau berbentuk kujang. Adapun bilah besinya sedikit melengkung dan bagian ujungnya sedikit melingkar. Gagang golok umumnya dibuat dari tanduk kerbau hitam, tanduk kerbau bule, kayu sonokeling, dan kayu kijulang. Produk asal Galonggong ini, khususnya golok, telah melanglang buana hingga Kanada, Belgia, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Dahsyat, ya?
17.00, Keliling Kota
Lelah mengunjungi sentra-sentra kerajinan khas Tasikmalaya, sore yang tersisa kami habiskan untuk berkeliling di sekitar kota sembari menikmati denyut kota Tasikmalaya menjelang malam. Salah satu pusat keramaiannya terletak di Alun-alun Kota Tasikmalaya. Kami juga sempat mampir di sebuah kedai kopi yang menyajikan berbagai jenis kopi khas Nusantara sembari menanti malam jatuh di Tasikmalaya. Sedap!
Jumat (15/4)
09.00, Batik Warisan Mataram
Pagi ini, kami bertolak ke Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya menuju Kecamatan Sukapura yang juga dikenal sebagai daerah penghasil batik. Lokasi persisnya di Kampung Pasar Kolot, Desa Sukapura, Kecamatan Sukaraja, atau berada di tepi Sungai Ciwulan yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Tasikmalaya. Kami sengaja ke Sukapura karena batik Sukapura berbeda dengan batik di kawasan Cigeureng, khususnya dari motif dan warnanya yang lebih condong kecoklatan atau soga. Diduga, batik yang berkembang di Sukapura tersebut merupakan warisan prajurit Mataram setelah menyerbu Batavia abad ke-17.
Motif legendaris batik tulis Sukapura antara lain wajik, kumeli, dan sisit naga dengan dominasi warna-warna soga. Salah seorang perajin batik Sukapura yang hingga kini masih terus memproduksi batik Sukapura adalah Enung Nurul Huda. Meski demikian, dia menuturkan, berbeda dengan 30 tahun lalu, saat ini tak setiap hari batik Sukapura diproduksi karena keterbatasan sumber daya. Duh….
13.00, Menu Khas Garut D’Anclom
Sebenarnya kami masih ingin melihat kerajinan bordir dan anyaman mendhong yang juga populer di Tasikmalaya. Sayang, waktu yang kami miliki tak cukup banyak. Tetapi, sebelum kembali ke Jakarta, kami ”melipir” ke Garut untuk mencicipi menu tradisional Garut yang disajikan dengan balutan gaya internasional di D’Anclom. Di sini, berbagai jenis menu tradisional khas Sunda disajikan dalam gaya internasional. Salah satunya dalam menu suki ala Jepang yang disajikan bersama bakso aci.
Nama sajian pun dibuat sangat lokal Sunda, mulai dari tigeujebur (terperosok), tigeulebuh (jatuh di air), titeuleum (tenggelam). Ada juga cireng yang disajikan dengan bumbu barbeque, juga frozdol, minuman kopi yang disandingkan dengan dodol Garut. Rasanya? Raos pisan euy….
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2016, di halaman 18 dengan judul “24 JAM: Tasikmalaya”